MITOLOGI NAGA LIMAN DAN SIMBOL KEKUASAAN DI TATAR SUNDA
(CIREBON - SUMEDANG - TALAGA MANGGUNG)
Mitologi Naga Liman menjadi simbol kebesaran yang tersebar di beberapa wilayah Tatar Sunda, seperti Cirebon, Sumedang, dan Talaga Manggung. Bentuk representasinya pun beragam, mulai dari kereta kebesaran hingga pataka yang menjadi lambang pemerintahan. Namun, inti dari makna simboliknya tetap sama yaitu menggambarkan keseimbangan dan kekuatan dari berbagai unsur yang menyatu dalam harmoni.
A. Kereta Paksi Naga Liman – Kesultanan Cirebon
Kereta Paksi Naga Liman adalah salah satu mahakarya warisan Kesultanan Cirebon yang dibuat sekitar tahun 1640-an. Kereta ini dihiasi dengan ukiran tiga makhluk mitologi, yaitu Paksi (burung), Naga, dan Liman (gajah).
Gabungan dari ketiga makhluk ini bukan sekadar ornamen, melainkan memiliki makna filosofis mendalam :
• Paksi (burung) melambangkan kedaulatan alam atas (langit).
• Naga melambangkan kekuatan alam bawah (air).
• Liman (gajah) melambangkan kestabilan alam tengah (bumi).
Selain itu, Kereta Paksi Naga Liman juga mencerminkan percampuran tiga budaya besar yang mempengaruhi Nusantara, yaitu :
• Arab (melalui simbol Paksi yang menyerupai Buraq dalam mitologi Islam).
• Tiongkok (dengan wujud Naga yang melambangkan keberanian dan kekuatan).
• India (melalui elemen Gajah, simbol kebijaksanaan dan keteguhan)
Kereta ini tidak hanya menjadi kendaraan kebesaran kesultanan, tetapi juga merupakan wujud komunikasi budaya yang menggambarkan sejarah dan perjalanan akulturasi di tanah Cirebon.
B. Kereta Naga Paksi – Sumedang Larang
Di Sumedang, konsep serupa dapat ditemukan dalam Kereta Naga Paksi, yang mulai digunakan pada masa pemerintahan Pangeran Koesoemah Dinata atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Kornel sekitar tahun 1820-an. Penggunaannya berlanjut hingga era Pangeran Suria Kusumah Adinata (1836–1882).
Kereta ini difungsikan sebagai kendaraan resmi dalam berbagai acara penting, termasuk perjalanan dalam kota dan prosesi pernikahan. Secara bentuk dan filosofi, Kereta Naga Paksi memiliki banyak kesamaan dengan Kereta Paksi Naga Liman di Cirebon. Hal ini tidak terlepas dari keterkaitan silsilah para penguasa Sumedang dengan Kesultanan Cirebon, di mana leluhur mereka, Pangeran Santri, berasal dari Cirebon.
Seperti pendahulunya di Cirebon, Kereta Naga Paksi juga menggambarkan keseimbangan antara unsur langit (Paksi), air (Naga), dan bumi (Liman), menjadikannya lebih dari sekadar kendaraan, tetapi juga simbol spiritual dan kekuasaan.
C. Pataka Naga Liman Trisula Manunggal – Talaga Manggung
Berbeda dengan Cirebon dan Sumedang yang mengadaptasi mitologi Naga Liman dalam bentuk kereta, di Talaga Manggung, simbol ini diwujudkan dalam bentuk pataka, sebuah benda pusaka yang menjadi lambang kebesaran pemerintahan.
Pataka Naga Liman Trisula Manunggal, yang dibuat sekitar tahun 1400-an, bukan sekadar benda seni, tetapi memiliki makna mendalam dalam sistem pemerintahan Tri Tangtu di Kerajaan Talaga. Pataka ini merupakan simbol dari Karesian, yaitu bagian dari sistem pemerintahan tradisional yang berfokus pada aturan hukum dan keilmuan.
Menurut penelusuran budayawan Tatang M. Amirin, Naga Liman dalam Pataka ini melambangkan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan kekuatan. Hal ini diperkuat oleh keterangan dari Sesepuh Bhumi Ageung Talaga, yang menjelaskan bahwa Talaga memiliki tiga pataka utama :
1. Pataka Karatuan – Lambang pemerintahan kerajaan.
2. Pataka Karesian – Lambang hukum dan keilmuan.
3. Pataka Karamaan – Lambang sosial dan masyarakat.
Sebagai bagian dari sistem Tri Tangtu di Buana, Pataka Naga Liman Trisula Manunggal menjadi simbol keseimbangan antara spiritualitas, hukum, dan pemerintahan, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari sejarah Talaga Manggung.
Kesimpulan :
Mitologi Naga Liman bukan sekadar legenda, tetapi juga menjadi bagian penting dari identitas budaya dan sistem pemerintahan di Tatar Sunda. Baik dalam bentuk kereta kebesaran seperti di Cirebon dan Sumedang maupun dalam bentuk pataka sakral seperti di Talaga Manggung, mitos ini terus hidup dan diwariskan sebagai simbol kekuasaan, keseimbangan, serta perpaduan budaya yang harmonis.
0 comments:
Post a Comment