Kisah Kadilangu dan Sadyakala ning Majapahit (Bhre Lasem)
Lasem mempunyai dua pelabuhan, regol di timur dan kairingan di barat. Penguasa (Bhre) Lasem adalah adik Hayam Wuruk yaitu Rajasa Duhita Indudewi bersuamikan Bhre Metahun Pangeran Sumana yang bergelar Rajasawardhana. Babad Lasem menyebut keduanya berputra Pangeran Badrawardhana berputra Pangeran Wijayabadra berputra Pangeran Badranala berputra Wirabaja dan Santi Badra. Santi Badra berputra Santi Kusuma atau Pangeran Sahid. Nama terakhir yang dikenal dengan sebutan Panembahan Kadilangu atau Sunan Kalijaga ini adalah keturunan langsung dari Bhre Lasem.
Kenapa Sunan Kalijaga sering dipahami berasal dari Tuban? Masalah berpangkal dari ayah Sunan Kalijaga, Santi Badra yang dikenal dengan sebutan Tumenggung Wilwatikta menikah dengan Putri Sukati, anak perempuan Arya Adikara dari Tuban yang tidak lain adalah Syekh Bejagung asal Champa. Adik putri Sukati yaitu Raden Ayu Teja yang menikah dengan Syekh Abdurahman atau Arya Teja kemungkinan menguasai pelabuhan Lasem timur yaitu pelabuhan regol yang otomatis dipegang pihak Tuban. Adapun Adipati Lasem dipegang oleh kakak dari ayah Sunan Kalijaga yaitu Pangeran Wirabraja sedangkan Santi Badra menjadi Syahbandar atau Dhang Puhawang pelabuhan Lasem barat di Kairingan.
Adipati Lasem Pangeran Wirabraja menikah dengan Nyai Maloka putri Sunan Ampel menurunkan Pangeran Wiranegara yang menggantikannya sebagai Adipati Lasem. Nyai Solikhah putri Pangeran Wiranegara dijodohkan dengan Jin Bun yang dikenal sebagai bajak laut dari Teluk Menco yang banyak ditumbuhi tanaman glagah yang berbau langu. Santi Kusuma berhasil menaklukan sang bajak laut Jin Bun dan menjadikanya seorang bintara. Santi Kusuma selanjutnya dikenal dengan sebutan Panembahan Glagah Langu. Kelak Glagah Langu mengalami penghalusan kata menjadi Glagah Wangi sedangkan Panembahan Glagah Langu menjadi Kadilangu (Apakah terkait dg jabatannya sebagai Kadi atau penghulu masjid Demak?)
Ketika Pangeran Wiranagara (ayah mertua Jin Bun) wafat jabatan Adipati Lasem digantikan oleh istrinya, Nyai Malokah yang mengangkat adiknya, Raden Makdum Ibrahim untuk membantu memimpin Lasem sambil menyebarkan islam di Bonang Binangun yang kelak dikenal dengan Sunan Bonang yang terhitung sebagai paman dari Jin Bun.
Ketika Pangeran Santibadra dipanggil ke Keraton Majapahit untuk menjalankan tugas negara selama 10 tahun lamanya, jabatan Dhang Puhawang di Lasem diserahkan kepada putra sulungnya, yaitu Pangeran Santi Puspa, kakak dari Santi Kusuma (Sunan Kalijaga). Walaupun jabatan Adipati Lasem dipegang oleh Nyai Malokah, namun dalam praktiknya Pangeran Santi Puspa yang memiliki pengaruh kuat dalam menjalankan roda pemerintahan di Lasem.
Ketika Nyai Malokah wafat, maka jabatan Adipati Lasem secara otomatis diambil alih oleh kakak Kalihaga yaitu Pangeran Santi Puspa. Setelah Pangeran Santi Puspa menjabat sebagai Adipati Lasem, Sunan Bonang kembali ke Tuban. Sementara Santi Kusuma belajar agama islam kepada kakek dari ibu di Tuban yaitu Sunan Bejagung yang memberinya nama islam Pangeran Sahid.
Sepertinya Demak membangun kekerabatan dengan keluarga Lasem (Pangeran Wiranegara) dan Tuban (Arya Adikara) selain tentunya dengan Tidunan (Pate Orub) dan Jepara (Pate Onus) serta berbagi kekuasaan bersama dengan tetap membangun relasi positif dengan Gresik (Sunan Giri) dan Ampel (Sunan Ampel) di Surabaya. Sedikit demi sedikit kelompok muslim ini melakukan penetrasi budaya pesisir-egaliter ke pedalaman yang mengalami involusi dan pembusukan budaya dari dalam.
Babad Lasem menceritakan keadaan Majapahit sebelum kehancurannya :
"Pelangi Majapahit berubah suram, keterkenalan, kharisma para pejabat dan wibawa raja berangsung berkurang, pemerintahan semrawut ruwet, gonjang-ganjing, pejabat pemerintahan tidak ada yang hatinya tentram, saling memfitnah. Rakyat kecil semua prihatin, mengalami kekurangan pangan, kesusahan karena maling, begal, pembunuhan merajalela pada malam hari, sangat menghawatirkan. Banyak pejabat yang tidak mau memikirkan penderitaa rakyat, yang ada hanyalah mengumbarkan kemurkaan, kesenangan, main, madat, main perempuan, makan enak sambil bebas membangun rumah megah sehingga menebang pohon-pohon besar yang berakibat pada banjir besar dan bobolnya tanggul sungai berantas yang memenuhi tegalan, sawah dan tanah pedesaan dengan air bah yang tidak mudah dipulihkan"
Labad Lasem menceritakan secara detail serangan Girindrawardhana yang menganut ajaran Hindu Trantayana ke Majapahit. Patih Kertadinaya yang menganut agama Rasul dan Tumenggung Warak Jabon yang menganut Tatrayana tidak sanggup menahan serbuan Girindrawardhana. Bhre Kertabumi meloloskan diri dengan menyamar sebagai sramana budha, berkepala gundul, mengenakan jubah kuning meninggalkan Majapahit diam-diam tetapi tidak disebutkan kemana arah tujuan kepergiannya. Adapun Santi Badra pulang kembali ke Lasem dengan menyamar sebagai santri islam. Dari uraian ini diketahui bahwa para tokoh agama Majapahit dilindungi dari hukum perang sehingga bebas meninggalkan medan laga yang merupakan wilayah para ksatria.
Babad Lasem menyebutkan dua tokoh pembesar agama Budha yaitu Dang Hyang Asthapaka yang berasal dari Champa dan tinggal di Taman Banjar Mlathi Lasem yang telah meramalkan akan kejatuhan Majapahit akibat merosotnya moral pejabat Majapahit. Bersama koleganya Dang Hyang Nirartha kedua pendeta ini dikenal sebagai pembaharu moralitas masyarakat Majapahit, tetapi realitas kehidupan politik berjalan sebaliiknya. Babad Dalem mengisahkan pasca prahara di Majapahit Dang Hyang Nirartha berlayar ke Bali mendarat di desa Kapurancak pada 1489 di era pemerintahan Dyah Ranawijaya.
Babad Lasem mengsahkan serangan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang menyebabkan banyak penduduk yang disiksa dan dibunuh, mereka mencari persembunyian dan perlindungan di pusat-pusat pendidikan islam. Serangan ke Mahapahit ini titi balik sejarah perkembangan pondok-pondok pesantren yang tumbuh pesat menggantikan wanasrama-mandala, kedewaguruan dan keresiyan yang telah eksis sebelumnya.
Babad Lasem juga mengisahkan banyaknya penduduk Majapahit yang memeluk agama islam secara sukareka karena agama "pesisir" ini dianggap lebih simpel dan tidak memberatkan pelakunya.
"Sebab pranatan lan sipate agama anyar sing lagi sumebar kuwi: "ora kakehan ragad, ora kakegan sajen, ora kakegan puja mantra sing nglantur dawa, ora kakehan leladi bekti marang dewa-dewa, ora ana tata cara sing ngrekasakake raga, mbrasta kasta lan nyuwak panglengkara, sayuk rukun nglungguhi tata krama."
Dikisahkan sesampainya di Lasem, Santi Badra menjadi Brahmana sampai akhir hidupnya mengajarkan ilmu Indriya Pra Asta kepada para pendeta Kanung dengan menciptakan buku pegangan "Pustaka Sabda Badrasy" yang mengajarkan kedamaian hidup. Beliau menghabiskan sisa usianya dengan bertapa di gunung Argopura sampai wafatnya pada 1449 Saka atau 1527 M. Dan Sunan Kalijaga menjadi saksi peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak dengan menjaga keselarasan ajaran lama dan ajaran baru, sesuai namanya yang menjaga dua arus sungai.






%20(1)-min-min.jpg)


0 comments:
Post a Comment