Social Bar

Popunder

Thursday, November 20, 2025

Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram





Kisah Ki Ageng Suryomentaram yaitu Sang Pangeran yang Menanggalkan Tahta Demi Menjadi Manusia Seutuhnya.


Bayangkan seorang pangeran dari jantung Kesultanan Yogyakarta, cucu seorang patih besar, dan putra dari Sultan Hamengkubuwono VII yang justru memilih meninggalkan kemewahan istana demi memahami makna sejati kehidupan.

Itulah Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf Jawa yang tak hanya berpikir, tapi mengalami langsung hidup sebagai rakyat jelata. Dari kegelisahan batin hingga pencarian makna, perjalanan hidupnya menjadi legenda tentang kejujuran rasa dan kesederhanaan jiwa.


Dari Pangeran Menjadi Ki Ageng

Sebelum dikenal sebagai Ki Ageng Suryomentaram, ia bergelar Pangeran Surya Mataram. Namun, suatu hari ia melihat kenyataan hidup petani yang bekerja keras di bawah terik matahari dan hatinya terguncang.

Ia lalu memutuskan meninggalkan gelar kepangeranan, turun dari singgasana, dan memilih menjadi “orang biasa.”

Ia berkelana ke berbagai tempat yaitu Kroya, Purworejo, Parangtritis, Gua Langse, hingga Gua Semin. Di perjalanan itu, ia bekerja sebagai pedagang batik, petani, bahkan kuli penggali sumur.


Ketika utusan kraton menemukannya, ia tengah menggali sumur di Kroya. Mereka memintanya pulang ke istana. Ia menurut, tapi hatinya tetap gelisah.

Apalagi ketika kakeknya, Patih Danurejo VI, dicopot dari jabatan dan ibunya dipulangkan. Tak lama kemudian, istrinya meninggal dunia.

Sejak saat itu, ia benar-benar memilih meninggalkan istana kali ini untuk selamanya.


Menjadi Petani, Menjadi Guru Jiwa

Di daerah Bringin, Salatiga, ia hidup sederhana sebagai petani. Tapi dari sanalah lahir ajaran kebatinan yang kelak dikenal sebagai “Kawruh Begja” yaitu ilmu kebahagiaan sejati.

Ki Ageng Suryomentaram tidak mencari kebenaran dari kitab atau guru, melainkan dari dirinya sendiri. Ia menjadikan rasa sebagai laboratorium, dan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan.

Hasil renungannya ia tuangkan dalam tulisan, ceramah, dan dialog, sering kali hanya di hadapan orang-orang yang datang mencarinya.

Ia tampil apa adanya, bercelana pendek, bersarung, berkaos lusuh. Tapi dari kesederhanaan itu, keluar kebijaksanaan yang dalam.


Filsafat Rasa: Manusia dan Keinginan

Menurutnya, manusia hanya bisa memahami orang lain jika terlebih dahulu memahami dirinya sendiri. Dari pengamatannya, ia menemukan bahwa rasa setiap manusia sejatinya sama, semua ingin hidup dan lestari.

Namun yang membuat manusia menderita adalah keinginan. Ia membaginya menjadi tiga wujud:

1. Semat — harta, kecantikan, kesenangan, kemewahan.

2. Drajat — kemuliaan, kehormatan, status sosial.

3. Kramat — kekuasaan, pangkat, dan jabatan.


Ketiganya adalah jebakan yang membuat manusia lupa pada hakekat dirinya.


Sebagai gantinya, ia menawarkan falsafah hidup yang terkenal hingga kini: NEMSA (6-SA), yakni:


Sakepenake (senyaman-nyamannya),

Sabutuhe (secukupnya),

Sacukupe (seperlunya),

Samesthine (sewajarnya),

Sabenere (sebenarnya).



Ajaran “Aja Dumeh”

Dari segala kebijaksanaannya, satu ajaran paling abadi ialah “Aja Dumeh” yaitu jangan sombong, jangan merendahkan orang lain karena jabatan atau kekuasaan.

Bagi Ki Ageng, semua manusia setara di hadapan kehidupan. Tidak ada raja, tidak ada rakyat, yang ada hanyalah manusia dengan rasa yang sama.



Sang Raja Tanpa Tahta

Ki Ageng Suryomentaram mungkin menanggalkan gelar pangeran, tapi justru di situlah ia menjadi “raja yang sesungguhnya.”

Raja yang memerintah bukan dengan kuasa, melainkan dengan kebijaksanaan rasa.

Sang Real Raja Jawa yang menemukan kemuliaan bukan di istana, tapi di ladang, di peluh, dan di hati manusia.



0 comments:

Post a Comment