Social Bar

Popunder

Friday, October 10, 2025

Kisah Rasulullah Titip Salam Kepada Kiai Khozin Buduran Sidoarjo Jawa Timur

 Kisah Rasulullah Titip Salam Kepada Kiai Khozin Buduran Sidoarjo Jawa Timur 





Salah seorang waliyullah yg terkenal keramat, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan-Madura, suatu kali menunaikan ibadah haji. Beberapa saat ketika beliau singgah di Madinah hendak berziarah kemakam Rosulullah di Ar-Roudhoh, beliau berjumpa dengan Nabi SAW. Ketika itu beliau terlihat mesra sekali bercengkrama dengan Nabi, hingga sebelum berpisah, Nabi mengatakan kepada Syaikhona Kholil Bangkalan bahwasannya kalau Syaikhona kembali ketanah air supaya menyampaikan salamnya Nabi kepada Khozin dari Buduran-Sidoarjo.


Begitulah, selepas kapal yang ditumpangi Kyai Kholil sandar di pelabuhan Kota Surabaya ( sekarang Tanjung Perak), beliau tidak langsung menuju Bangkalan-Madura, akan tetapi langsung menuju Buduran-Sidoarjo mencari orang yang bernama Khozin sebagaimana yang disarankan Nabi SAW kepadanya. Begitu sampai di Buduran, beliau menanyai beberapa orang yang dijumpainya, menanyakan rumah Khozin.


Setiap jawaban yg beliau peroleh berfariasi, mulai Khozin tukang cukur rambut, tukang sepatu sampai profesi yang disebutkan, dan semuanya tidak cocok dengan sosok yg beliau bayangkan. Hingga suatu saat kemudian dipagi hari beliau bertemu dengan bapak tua berpakaian kaos oblong, dengan memakai sarung yang agak dicincingnya sedang menyapu halaman sebuah rumah yang mirip sebuah pesantren dengan beberapa gothaan (bilik-bilik bambu para santri), Kyai Kholil lalu menghampiri bapak tersebut yg tengah sibuk dengan aktifitasnya tersebut. Setelah mengucapkan salam dan dijawab oleh bapak tersebut, beliau bertanya;


” Pak, dimanakah rumah Khozin ?”


” Kalau nama Khozin, banyak disini “. Jawab orang tersebut.


” Tapi kalau Kyai hendak mencari Khozin yang dimaksud Rosulullah sewaktu sampean di Madinah, ya saya ini Khozin yang beliau maksud “. Lanjut bapak tersebut.


Syaikhona Kholil tersentak kaget setelah mendengar jawaban spontan tersebut. Serta merta beliau menjatuhkan koper perbekalan yang dibawanya dan mencium tangan bapak tersebut berulang kali.


Ya, itulah Kyai Khozin Khoiruddin pengasuh pondok Siwalan Panji Buduran sekaligus perintis tradisi khotaman Tafsir Jalalain, yg diera Kyai Ya’kub Hamdani terkenal sebagai pondoknya para wali. Hadrotussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari adalah alumni ponpes ini, dimana beliau sempat diambil menantu oleh Kyai Ya’qub dengan mempersunting puterinya yang bernama Khodijah, dari perkawinan beliau lahir seorang putra bernama Abdullah.


Tapi sayang keduanya (Nyai Khodijah dan Abdulloh putranya) wafat di Makkah pada tahun 1930, dipondok ini gothaan kyai Hasyim ketika masih nyantri sampai sekarang diabadikan, dan diantara alumni yg lain adalah seperti Mbah Hamid Abdullah Pasuruan, Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Mbah Ud Pagerwojo, Mbah Jaelani Tulangan ( konon menurut penuturan cucunya kepada saya, disuatu musim kemarau waktu itu banyak para petani yang kehausan karena sumur disawah maupun rumah kering kerontang, ditengah kehausan itu tiba-tiba mereka melihat Mbah Jaelani melayang-layang diudara sambil membawa timba-timba berisi air beserta pikulannya), ada juga wali kendil (kakak beradik yang meninggal ketika masih menjadi santri.


Si adik ahli mutholaah kitab sedangkan si kakak ahli tirakat, hingga pada suatu hari kakaknya marah melihat adiknya menanak nasi karena tidak menghormati kakaknya yg sedang berpuasa. Ditendangnya kendil buat menanak nasi itu hingga pecah berantakan. Melihat itu si adik diam sambil mengambil serpihan-serpihan kendil yang pecah berantakan itu ditempelkannya lagi potongan serpihan itu dengan ludahnya hingga kembali utuh seperti sedia kala. Hingga ketika keduanya meninggal, makam adiknya tidak mau berjejer berdampingan dengan kakaknya, setiap hari makam adiknya bergeser maju bahkan konon sampai menembus pagar batas makam, dan pada akhirnya oleh Kyai Ya’kub makam santrinya itu diperingatkan agar cukup sampai disitu saja. Hingga sampai sekarang makam keduanya yang awalnya berjejer sudah tidak lagi seperti pertama kali dimakamkan, makam adiknya lebih maju kedepan melewati batas nisan kakaknya ), dan Kyai Kholil Bangkalan sendiri termasuk alumni Siwalan Panji.


Pondok Siwalan Panji ini berdiri sekitar tahun 1787 oleh Kyai Hamdani. Menurut Gus Rokhim (alm) pemangku pondok Khamdaniyah yang juga generasi ke tujuh dari Mbah Khamdani, ketika tanah siwalanpanji masih berupa tanah rawa, Mbah Hamdani meminta kepada Allah agar tanah rawah ini diangkat kepermukaan untuk dijadikan sebagai kawasan syiar Islam waktu itu.


“Ketika itu Mbah Hamdani meminta pertolongan kepada Allah, tidak berselang lama, tanah yang sebelumnya rawa, tiba² terangkat dan menjadi daratan,”. Tidak hanya itu, pada awal awal pengerjaan pondok, kayu bangunan pondok yang didatangkan dari cepu melalui jalur laut tiba² pecah dan terserak dan berpencar. Namun karena pertolongan Allah, kayu-kayu yang semula berpencar ini, bergerak sendiri melalui sungai menuju sungai di seberang kawasan pondok.


“Ada satu kayu yang tersangkut di kawasan Kediri, dan sekarang disebut menjadi kayu cagak Panji,” cerita Gus Rokhim.


Dijuluki pondoknya para wali karena setiap tahun alumni yang keluar bbeberapa diantaranya sudah mempunyai karomah-karomah luar biasa ketika masih menjadi santri.


Konon dari beberapa riwayat yang saya kumpulkan, di pondok Panji atau Siwalan Panji inilah kitab Tafsir Jalalain pertama kalinya dibaca secara klasikal pada tahun 1789 M. Sistem penddikin ala madrosah Diniyyah juga sudah ada pada waktu itu, hanya saja formatnya tidak seperti sekarang yang tersusun sistematis dan terencana.


Semenjak itu Syaikhona Kholil selalu mewanti wanti agar santri beliau yang boyong agar tabarrukan dulu di pondok Panji yang diasuh Kyai Khozin ketika itu, sebagai bentuk ketakdzhiman Syaikhona Kholil kepada Kyai Khozin.


Mungkin inilah salah satu alasan mengapa sampai sekarang pondok Panji, terutama pondok Al Khozini banyak dipenuhi santri dari Madura, sebagai bentuk ketakdzhiman mereka pada dawuh Syaikhona Kholil Bangkalan.




Demikian Kisah Rasulullah Titip Salam Kepada Kiai Khozin Buduran Sidoarjo, semoga manfaat.


Wallohu a’lamu bis showab.






Sejarah Pesantren Al-Khoziny Buduran Sidoarjo Jawa Timur 


Kompleks Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran, Sidoarjo. 


Pondok Pesantren Al Khoziny yang terletak di Jalan KHR Moh Abbas I/18, Desa Buduran, Kecamatan Buduran, Sidoarjo ini, menjadi salah satu pesantren tertua di Jawa Timur. Pasalnya, nama Pesantren yang diambil dari nama pendirinya yaitu KH Raden Khozin Khoiruddin ini, lebih dikenal sebagai Pesantren Buduran karena terletak di Desa Buduran.


Kiai Khozin sepuh demikian masyarakat menyebutnya merupakan menantu KH Ya’qub dan pengasuh Pesantren Silawanpanji di periode ketiga (dikutip dalam jurnal, Peranan KH Abdul Mujib Abbas dalam Mengembangkan Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo 1964-2010, hal. 45)


Tercatat, sejumlah ulama besar pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Siwalanpanji ini, seperti KH M Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang), KH Nasir (Bangkalan), KH Abd Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH Umar (Jember), KH Nawawi (Pendiri Pesantren Ma'had Arriyadl Ringin Agung Kediri), KH Usman Al Ishaqi (Alfitrah Kedinding, Surabaya), KH Abdul Majid (Bata-bata Pamekasan), KH Dimyati (Banten), KH Ali Mas’ud (Sidoarjo), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), dan masih banyak yang lainnya.


Menurut beberapa data yang ditemukan penulis di beberapa artikel atau jurnal penelitian yang menyebutkan bahwa Pesantren Al Khoziny berdiri di antara tahun 1926 atau 1927 belum bisa dibenarkan. Hal itu disampaikan KHR Abdus Salam Mujib, Pengasuh Pesantren Al Khoziny pada saat Haul Masyayikh dan Haflah Rajabiyah ke-80 Pesantren Al Khoziny 2024. Kiai Salam Mujib mengatakan bahwa pesantren ini ada sekitar tahun 1920.


Data itu baru diketahui setelah Kiai Salam Mujib menerima rombongan satu bus dari Yogyakarta beberapa tahun lalu. Menurut cerita tutur yang disampaikan Kiai Salam Mujib, ketua rombongan sowan ke Pesantren Buduran Sidoarjo ini untuk ngalab berkah, sebab orang tuanya santri pertama KHR Moh Abbas bin KHR Khozin Khoiruddin di Pesantren Buduran.


Ketua rombongan yang berusia sekitar 70-an ini, menceritakan bahwa orang tuanya nyantri terakhir di Pesantren Buduran, selepas nyantri di beberapa pesantren di Pulau Jawa. Di antaranya pesantren Buntet dan beberapa pesantren di Jawa Tengah.


Menurut Kiai Salam Mujib, orang tua dari ketua rombongan ini nyantri di Buduran sekitar lima tahun pada tahun 1920, yang waktu itu pesantren ini diasuh oleh Kiai Abbas Buduran. Namun, Kiai Salam Mujib menyayangkan peristiwa itu tidak didokumentasikan dengan baik.


Meski begitu, Kiai Salam Mujib yang juga Rais PCNU Sidoarjo ini, berkeyakinan bahwa Pesantren Buduran ini ada sebelum 1920. Karena orang tua dari ketua rombongan ini belum begitu jelas, pada tahun 1920 apakah masuk mondoknya atau di tahun itu keluar dari Pesantren Buduran.


Kalau ditarik pada titik tahun 1920, santri pertama Kiai Abbas (orang tua ketua rombongan dari Yogyakarta) yang nyantri 5 tahun itu, berarti Pesantren Buduran ini ada pada tahun 1915 – 1920 M. Jika Pesantren Al Khoziny ini ada, dengan ditandai adanya santri pertama Kiai Abbas Khozin pada tahun 1920, maka pesantren asuhan Kiai Salam Mujib generasi ketiga ini sudah berusia satu abad lebih empat tahun.

 

Untuk menyakini cerita yang disampaikan Kiai Salam Mujib ini, penulis mencoba mengkonfirmasi kepada Dr Wasid Mansyur MFil (Penulis Buku Biografi KH Abdul Mujib Abbas, Teladan Pecinta Ilmu yang Konsisten, 2012). Dr Wasid mengiyakan apa yang disampaikan Kiai Salam Mujib. Dirinya juga pernah mendengar cerita itu dari Kiai Salam Mujib secara langsung dan dari beberapa alumni sepuh.


 

0 comments:

Post a Comment