Social Bar

Popunder

Showing posts with label Sejarah Nusantara. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Nusantara. Show all posts

Thursday, September 4, 2025

JAZĀ’IR AL-JĀWI : JEJAK NUSANTARA DI MATA DUNIA LAMA

 JAZĀ’IR AL-JĀWI : 

JEJAK NUSANTARA DI MATA DUNIA LAMA





Dalam naskah-naskah Arab klasik, kita menemukan satu nama yang merangkum seluruh kepulauan ini : Jazā’ir al-Jāwi (Kepulauan Jawa).

Nama ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan refleksi dari bagaimana dunia Arab memandang bangsa kita: satu kesatuan budaya maritim yang besar dan terpandang.

Mereka menyebut kita Banī Jāwi  (anak-anak Jawi) tak peduli apakah kita berasal dari Jawa, Sumatra, Bugis, Makassar, atau bahkan Kepulauan Maluku.

Nama “Jawi” menjadi payung identitas yang menaungi keberagaman kita. Bahkan hingga hari ini, jemaah haji Indonesia masih dipanggil Banī Jāwi di tanah Hijaz.

Lebih dari sekadar nama, istilah ini menandakan relasi panjang sejarah dan perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara.

Contohnya, dalam perdagangan kemenyan: bangsa Arab menyebutnya lubān Jāwi (kemenyan Jawa), meski pohonnya tumbuh di Sumatra.

Dari sinilah istilah Latin benzoe berasal bukti bagaimana dunia mengambil penamaan dari cara Arab melihat wilayah kita.


Dalam kitab al-Kāmil fī at-Tārīkh karya Ibnu al-Atsīr, disebutkan bahwa Banī Jāwi adalah keturunan Nabi Ibrahim AS.

Sebuah klaim yang tentu menarik, namun bukan tanpa dukungan. Sebab dalam studi genetika modern, seorang profesor dari Universiti Kebangsaan Malaysia menemukan bahwa DNA masyarakat Jawi mengandung 27% varian Mediterranean , varian genetik yang juga ditemukan pada bangsa Arab dan Bani Israil, keturunan Ibrahim.


Ini bukan sekadar fakta biologis. Ini adalah narasi antropologis, bahwa jejak Ibrahimiyah bisa jadi telah mengalir jauh, melintasi gurun dan samudera, lalu berlabuh di tanah basah nan hijau ini, bernama Nusantara.

Sejak dahulu, para pelaut kita dikenal tak hanya membawa rempah, tapi juga pengetahuan, akhlak, dan hikmah. Mereka bukan sekadar pedagang, tapi penyambung nadi peradaban.

Maka jangan heran, jika hingga kini, para pemimpin dari kawasan Jazā’ir al-Jāwi  siapapun mereka, apapun sukunya, masih berasal dari akar-akar tua yang dulu disebut Banī Jāwi.

Karena sejarah tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menyamar dalam nama, dalam darah, dan dalam cara kita berdiri menatap dunia.


Maka, menyebut diri sebagai “Jawa” bukan sekadar menyatakan asal, tetapi mengakui warisan : warisan Ibrahim, warisan samudera, warisan bangsa yang tak pernah tunduk kecuali pada hikmah.



Sunday, July 27, 2025

Kalender Jawa mPu Hubayun

 Kalender Jawa mPu Hubayun




Artikel ini adalah ringkasan super singkat dari buku buku karya santosaba yang membongkar "Fakta Sejarah" Nusantara yang di "Sembunyikan". Jadi akan sia sia saja jika "Dipadankan" dengan sumber sumber "Mainstream" yang kini ada ...karena catatan sejarah kita telah di "Kamuflase" juga di "Seragamkan" bahwa kita  adalah bangsa "Lemah". Pengimpor budaya lain, semua terpublikasi dari india juga tidak mempunyai catatan sejarah pernah "Ber Jaya" di masa lalu, sebelum tahun 78 Masehi


Sudah waktunya "Ilmu Pengetahuan" saat ini "Merevisi" catatan sejarah,Mengklarifikasi terhadap catatan masa lalunya yang di tulis atas kepentingan "Subjektif" suatu bangsa terhadap bangsa lain..yang faktanya ingin menguasai nya..."Hilangkan sejarahnya lalu kuasai"...ini fakta nya


Hal yang "Terburuk" dalam pencatatan masa lalu leluhur kita adalah : Penghitungan awal angka tahun "Saka" di seluruh prasasti yang di hitung mulai tahun 78 Masehi....sehingga "Hilang" semua fakta nyata sejarah nenek moyang kita sebelum tahun itu


Kalender Jawa diciptakan oleh "mPu Hubayun", dibuat berdasarkan ‘Sangkan Paraning Bawana‘, asal usul isi semesta pada tahun 911 SM mengikuti peredaran matahari, Tahun 1625 ,Sultan Agung atas dasar kesinambungan,aneh nya mengeluarkan dekrit  tahun 1547 Çaka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa,Beliau memakai kalender Saka india 1547+78 = Tahun 1.625 Masehi, Jika di hitung berdasar awal tahun  Jawa "mPu Hubayun" 911 SM (1547 - 911 + 1) Seharus nya 635 Masehi


Sumber lain tentang, Kalender Saka yang di pakai saat ini, berawal pada tahun 78 M juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana/Sâlivâhana, Kalender śaka berdasar pada perputaran matahari dan berasal dari kelahiran śālivāhana,Ini dimulai pada tanggal 1 vaiśākha 3179 dari kaliyuga, atau pada hari Senin 14 Maret 78 M 


Viracharita (abad ke-12 M) menyebut Shalivahana sebagai saingan raja Vikramaditya dari Ujjain. Menurutnya, Shalivahana mengalahkan dan membunuh Vikramaditya, dan kemudian memerintah dari Pratishthana. Shudraka adalah rekan dekat Shalivahana dan putranya Shakti Kumara. Kemudian, Shudraka bersekutu dengan penerus Vikramaditya dan mengalahkan Shakti Kumara,Legenda ini penuh dengan cerita "Mitologis"


Era Śaka yang populer adalah digunakan pada penanggalan prasasti kuno abad pertengahan dan sastra di India,Nepal, Burma, Camobdia, dan Jawa (Indonesia). Secara umum diyakini bahwa era Śaka dimulai pada 78 M,Studi kritis dan komprehensif referensi epigrafi dan sastra dari era Śaka tampaknya membawa kita pada kesimpulan bahwa era Śaka dan era Śakānta tidak identik


Zaman era Śaka dimulai pada 583 SM sedangkan zaman era Śakānta dimulai pada 78 M. Sejarah kronologis India kuno telah diajukan sejak 661 tahun karena dua zaman yang berbeda ini secara keliru dianggap identik,Sejatinya Saliwahana,adalah Raja dari India bagian selatan,yang di kalahkan oleh kaum "Çaka" dan tahun yg di gunakan adalah tahun yang di pakai bangsa kaum "Pemenang",Di mulai saat di "Taklukan" nya thn 78 M


Tony Joseph penulis buku Early Indians: The Story of Our Ancestors and Where We Came From, diterbitkan oleh Juggernaut....menulis :


Bahwa Arya bukanlah penghuni pertama India dan peradaban Harappa "Dravida" ada jauh sebelum kedatangan mereka,Ini berarti bahwa bangsa Arya atau budaya Veda bukanlah sumber tunggal peradaban di India dan sumbernya yang paling awal  berasal dari tempat lain,Mereka telah berkampanye untuk mengubah kurikulum sekolah dan menghapus setiap kata yg menyebutkan "imigrasi Arya" dari buku sejarah india,Studi genetik lain telah membuktikan bahwa ada banyak bangsa yang migrasi ke India,berasal dari Asia Tenggara di perkuat oleh banyaknya penutur bahasa Austro-Asia ....ini yang ditulis Tony Joseph


Çaka adalah kaum leluhur Nusantara,tertulis pada relief dasar Vhwãnã Çakã Phãlã/Borobudur dengan teks literasi kata  Māhéçãkyã ,Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka,Aryān yg Agung,Kaum "Çaka" adalah leluhur bangsa Nusantara,sudah ada lebih dahulu jauh dari 78 M dari saat menaklukan Raja india,yaitu setelah tahun 2000 SM,datang imigran (Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Arya) ,Mereka membawa bahasa Sansekerta awal atau dasar dari Sanskret


Berbagai praktik budaya baru seperti ritual pengorbanan yang semuanya membentuk dasar budaya "Hindu/Veda" awal,dasar nya adalah Ajaran leluhur kita "Dharma"  terekam pada literasi kata Kųsãlädhãrmãbæjănā di figura relief


Di Sangharamā Mahæ Thupa Vhwãnã Çakã Phãlã kini terpublikasi menjadi "Borobudur",ada 160 panel relief di dasar nya yang tidak di "Expose",ada 12 kata "Şvãrggã" tertera di figura relief dasar bukan tertulis kata "Nirvana" dan literasi teks kata yang lainnya

.......Mãhéçãkhya....yang jika di ungkap maka kita akan faham siapa sebenar nya leluhur kita ....


● Mãhéçãkhya (Pigura Panil 43 )

Kata "Mahe" berarti besar atau bangsa yang besar dan kata "SAkya" adalah Kaum Çaka Nusantara,Maheshakhya adalah salah satu kata yang terserap ke bahasa Sansekerta yang juga digunakan dalam kitab - kitab seperti Upanishad ,Veda


Transliterasi yang berbeda yang membuktikan bahasa dalam teks di relief bukan Sansekerta,Tapi bahasa ini yang mendasari Sansekerta,sehingga di mungkinkan ada kemiripan,Bangsa jerman mengambil symbol "Su Astika" dari bangsa yang lebih maju di masa terdahulu,Bangsa itu adalah leluhur Nusantara


Dalam kamus,Petersburg Dictionary "Otto Böhtlingk dan Rudolph Roth, 1879-1889 & Saint Petersburg Great St Dictionary 1855-1875, disebut : Maheshakhya,Mahendranagari,Mahendrayajin,Maheshabandhu,Kata-kata mirip nya adalah:Maheshakhya,Maheshvarasiddhanta,Mahibhrit,Mahidhra,Maheshakhya,Mahahava,Mahavanij,Maheshudhi


Harvard-Kyoto transliterasi "maheçãkhya" menjadi "mahezAkhya" di Velthuis kata Transkripsi "mahe" mendapat imbuhan "saakhya ", versi Itrans modern adalah " maheshAkhya ", "maheSAKya", dalam font IPA"məɦeːɕɑːkʱjə


Maheshakhya versi Devanagari adalah महेशाख्य ditulis dalam IAST transliterasi dengan tanda diakritik kata ini ditulis "maheśākhya" berarti : Seorang pria besar gagah agung,dalam kata Sanskerta dengan terjemahan menjadi seorang pria yang "Agung Mulia"


Kata-kata yang memiliki makna yang mirip dengan Maheshakhya, baik dari bahasa Sanskerta atau dari bahasa Jerman berarti seorang bangsawan pria yang agung,Pria agung bijaksana itu adalah pemimpin bangsa pada peradaban maju Nusantara Indonesia terdahulu Kaum Çaka...di buktikan dengan ratusan "Prasasti" ber angka tahun "Saka"


Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka,Aryān yang Agung adalah leluhur bangsa Nusantara sub ras ke 4 yang berasal dari bangsa "Jawi " bangsa yg menurun kan kaum Çaka yaitu :

1.Jawi (Bukan suku )

2.Madayu

3.Cambyses

4.Scythia,Sakkas,Çaka,Aryān


Çaka adalah kaum leluhur Nusantara,tertulis pada relief dasar Vhwãnã Çakã Phãlã dengan teks literasi kata Māhéçãkyã ,Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka,Aryān yang Agung,Kaum "Çaka" menggunakan penanggalan lebih dahulu jauh dari 78 M dari saat menaklukan Raja india.....



Catatan : 

Diantara buku buku karya Santosaba diskusikan di DAV College (Aff. Punjab University) Sector 10,Chandigarh, Punjab India




Kerajaan Galuh Purba Adalah Sebuah Kerajaan di Lereng Gunung Slamet

 Kerajaan Galuh Purba Adalah Sebuah Kerajaan di Lereng Gunung Slamet





Dari kisah-kisah legendaris hingga catatan sejarah yang menggetarkan, wilayah lereng Gunung Slamet ternyata menyimpan sebuah misteri besar: Kerajaan Galuh Purba. Sebuah kerajaan kuno yang menjadi induk bagi berbagai kerajaan di Nusantara, memberikan sorotan baru pada warisan kejayaan masa lalu.


Menurut catatan sejarawan Belanda W.J. van der Meulen, Kerajaan Galuh Purba di Lereng Gunung Slamet memiliki asal-usul yang mencengangkan. Dibentuk pada abad ke-1 Masehi oleh para pendatang dari Kutai, Kalimantan Timur, kerajaan ini memperluas pengaruhnya dari Indramayu hingga Purwodadi, mencakup sebagian besar wilayah Jawa. 


Kerajaan Galuh Purba memiliki wilayah kekuasaannya yang cukup luas, meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo, dan Purwodadi. Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Galuh Purba sangat berpengaruh di wilayah Jawa.


🔳 Pendirian Kerajaan Galuh Purba


Pendirian kerajaan ini tidaklah terjadi begitu saja. Para pendatang dari Kutai memasuki Pulau Jawa melalui Cirebon, kemudian menetap di antara lereng Gunung Ciremai, Gunung Slamet, dan lembah Sungai Serayu. Di sinilah peradaban mereka berkembang pesat, dengan mereka yang menetap di Lereng Gunung Slamet membangun Kerajaan Galuh Purba, sementara yang lain mengembangkan peradaban Sunda di sekitar Gunung Ciremai.


🔳 Penurunan Kerajaan Galuh Purba


Kerajaan Galuh Purba mengalami penurunan saat Syailendra menunjukkan eksistensi wangsanya. Namun, Kerajaan Galuh Purba kemudian berpindah ke Kawali (dekat Garut) dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali. Pada saat yang sama, muncul juga kerajaan-kerajaan yang cukup besar, di timur ada Kerajaan Kalingga sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara. 

Galuh Purba menjadi Kerajaan kadipaten yang sebanarnya masih kerabat. Semua menggunakan nama Galuh. DI brebes ada Kerajaan galuh rahyang dan galuh kalangon dengan ibu kota medang pangramean. Di cilacap ada Kerajaan Galuh lalean dengan ibu kota medang kamulan, di tegal ada Kerajaan galuh kumara dengan ibu kota medang kamulyan.


🔳 Informasi penting disajikan secara kronologis


Di pananjung ada kerajaan galuh tanduran dengan ibu kota bagolo. Di nanggalacah ada Kerajaan galuh pataka dengan ibu kota pataka. Di ceneam ada Kerajaan galuh nagara Tengah dengan ibu kota bojong lopang, di barunay (pabuaran) ada Kerajaan galuh imbanagara dengan ibu kota imbanagara, di bojong ada Kerajaan kalingga dengan ibu kota karangkamulyan.  


Atas berbagai sebab, Kerajaan galuh purba kemudian pindah ke kawali (dekat garut) berganti menjadi Galuh Kawali. Kemudian muncul Kerajaan yang cukup besar di timur ada Kerajaan kalingga sedangkan di barat ada Kerajaan Tarumanegara yang merupakan lanjutan dari Kerajaan Salakanagara.


🔳 Perkawinan dan Dinasti Sanjaya


Namun saat purnawarman (taruma negara) lengser diganti candrawarman pamor galuh kawali Kembali menanjak. Raja Galuh kawali menyatakan kemerdekaanya dari taruma negara dan mendapat dukungan dari kalingga. Lalu Kerajaan ini mengubah Namanya menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang kelak berkembang menjadi Kerajaan pajajaran.


Kerajaan Galuh, Kalingga, dan Tarumanegara kemudian saling kawin sehingga memunculkan dinasti Sanjaya. Hasil perkawinan itulah yang melahirkan raja-raja di tanah Jawa. Oleh karena itu, Kerajaan Galuh Purba dari lereng Gunung Slamet inilah induk dari kerajaan-kerajaan di Nusantara.


Kerajaan Galuh Purba merupakan bagian dari sejarah yang menarik di Nusantara, yang memiliki berbagai kabar dan misteri yang belum terungkap hingga sekarang.


Dari kejayaan yang tak terlupakan hingga kejatuhan yang mengguncang, Kerajaan Galuh Purba tetap menjadi salah satu bagian paling menarik dari sejarah Nusantara. Dibalut dengan misteri yang belum terpecahkan, warisan mereka terus menginspirasi dan menantang pemikiran para sejarawan hingga hari ini. 


Sesungguhnya, lereng Gunung Slamet menyimpan lebih dari sekadar pemandangan alam yang memesona; ia menyimpan jejak-jejak peradaban yang menakjubkan, membingkai kisah yang tak terlupakan dalam sejarah bangsa terutama bagi warga banyumas.


Peradaban dan bahasa Ngapak Banyumasan juga diduga sebagai bahasa jawa asli mengingat tulisan huruf jawa juga ketika dibaca sesuai bunyi aslinya tulisannya yaitu Ha Na Ca Ra Ka...tidak dirubah menjadi Ho No Co Ro Ko.




Monday, June 9, 2025

Kita Terlahir Dari 262.144 Para Leluhur Dari 500 Tahun Yang Lalu

 Kita Terlahir Dari 262.144 Para Leluhur Dari 500 Tahun Yang Lalu





Sebagai Renungan Kita  serta anak cucu kita

Juga sambil belajar mengenal budaya kita.

Untuk kelahiran kita , dibutuhkan :


2 orang tua

4 eyang

8 eyang buyut

16 eyang canggah

32 eyang wareng

64 eyang udhêg-udhêg

128 eyang gantung siwur

256 eyang gropak senthe

512 eyang debog bosok

1.024 eyang galih asêm

2.048 eyang gropak waton

4.096 eyang cendheng

8.192 eyang giyêng

16.384 eyang cumplêng

32.768 eyang amplêng

65.536 eyang  mênyaman

131.072 eyang menya menya

262.144 eyang trah tumêrah



Kita yg terlahir dari 262.144 para eyang dari 500 tahun yang lalu.

Renungkan lah

Berapa banyak kisah cinta, asmara, suka, cita, kebahagiaan, duka lara, kesedihan nestapa, perjuangan, air mata, kesenangan, kesempatan, kesempitan.

Untuk kelahiran kita melibatkan ratusan ribu eyang-eyang.

Kita adalah doa, harapan dan masa depan mereka yg terlahir di zaman ini, Buatlah Leluhur kita bangga sebagai Penerus aliran darah yang mereka wariskan 

Mikul duwur mendem jero


Salam Budaya.

Rahayu Rahayu Rahayu 



Monday, May 12, 2025

Panembahan Notokusumo II atau Panembahan Moh. Saleh adalah raja kerajaan Sumenep (1854-1879)

Panembahan Notokusumo II atau Panembahan Moh. Saleh adalah raja kerajaan Sumenep (1854-1879)





Potret Panembahan Notokusumo II (duduk di kursi) beserta jajaran kerajaan dan penasehatnya sekitar tahun 1865.


Panembahan Notokusumo II atau Panembahan Moh. Saleh adalah raja kerajaan Sumenep  yang memerintah  pada tahun 1854-1879, yang merupakan putra dari raja sebelumnya yaitu Abdurrahman Pakunataningrat.



Monday, April 21, 2025

KERAJAAN SALAKANAGARA

 KERAJAAN SALAKANAGARA





Kerajaan Salakanagara atau Kerajaan Rajatapura atau (Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta buatan tahun 1800 M ,sebagai kota tertua di Pulau Jawa. 

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. 

Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang (Pada masa kini ia terletak di bagian barat propinsi Banten). 

Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).


Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Di kemudian hari setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.


Salakanagara tidak meninggalkan arca, prasasti, maupun Candi-candi sebagaimana juga Kerajaan Sunda-Pajajaran. 

Sangat kontroversial karena berbeda dengan tulisan-tulisan buku sejarah resmi, karya tulis ilmiah, artikel, opini publik yang menyatakan bahwa Sunda-Pajajaran beraliran Hindu.


Kontroversial


Tidak didukung bukti fisik temuan artefak berupa arca dan Candi abad 2 hingga awal 4 masehi zaman Salakanagara, juga pada abad 12 - 17 masehi masa Kerajaan Sunda Pajajaran tidak ada Candi yang dibangun. 

Maka tulisan sejarah yang beredar selama ini menjadi sangat kontroversial.

Sehingga penulisan dari dalam Indonesia (Tatar Sunda) tentang Salakanagara bahkan Pajajaran pun dianggap sebagai cerita tanpa bukti, fiksi, mitos, atau hanya sebatas legenda.


Keterbatasan literasi para penulis serta minimnya kunjungan ke berbagai perpustakaan pada masa orde lama hingga awal Orde baru, karena faktor ketidakamanan dalam negeri, pendidikan masih terbatas, transportasi belum merata, perseteruan politik bernuansa SARA, hegemoni budaya, feodalisme cenderung fasisme, hingga kemampuan ekonomi dalam ambang batas minimum berefek pada kesimpulan singkat tersebut.


Salakanagara


Kerajaan Salakanagara adalah kerajaan di Nusantara yang berdiri antara 130-362 masehi. Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, karena wilayah peradaban keduanya sama persis, Jika benar, hal ini membuat adanya kemungkinan bahwa suku sunda merupakan suku pertama di pulau jawa yang membangun peradaban besar.


Pendiri dan raja Kerajaan Salakanagara bernama Dewawarman I, yang memerintah antara 130-168 masehi dengan gelar Prabu Darmalokapala Haji Raksa Gapura Sagara. 

Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa bagian barat, termasuk pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa dan laut yang membentang sampai Pulau Sumatera.

Setelah berkuasa selama 232 tahun, Kerajaan Salakanagara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.


Sumber sejarah utamanya adalah Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Menurut naskah tersebut, Kerajaan Salakanagara diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara yang berdiri antara 130-362 M, sebelum Kerajaan Kutai (400-1635 M).


Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (PPBJ) adalah salah satu naskah yang disusun oleh satu tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta. Beliau adalah salah seorang dari tiga putra Panembahan Ratu Carbon dari istrinya yang berasal dari Mataram.


Kelompok naskah PPJB yang sudah ditemukan hingga saat ini terdiri dari empat buah, semuanya dari parwa pertama. Tiga naskah pertama (sarga 1-3) merupakan kisah atau uraian mengenai sejumlah negara yang perneh berperan terutama di Pulau Jawa, sedangkan sarga keempat merupakan naskah panyangkep (pelengkap) dan isinya berupa keterangan mengenai sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun kisah itu.


Secara umum, seluruh naskah karya tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta dituliskan pada jenis kertas yang sama. 

Dari puluhan naskah yang telah terkumpul, hingga saat ini baru sebuah naskah yang telah diuji fisiknya secara kimiawi.

Pengujian yang dilakukan di Arsip Nasional itu menyimpulkan bahwa kertas yang digunakan untuk menuliskan naskah umurnya sekitar 100 tahun (laporan tahun 1988). Mengingat bahwa titimangsa naskah-naskah itu berkisar antara 1677 - 1698 Masehi, maka hampir dapat dipastikan bahwa naskah-naskah yang sudah terkumpul itu merupakan salinan dari naskah lain yang lebih tua.


Seperti halnya naskah-naskah Pangeran Wangsakerta lainnya, naskah PPJB 1.1 ini ditulis dengan menggunakan aksara Jawa yang jenis aksaranya mirip dengan yang disebut oleh Drewes (1969:3) quadrat script. 

Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang banyak mengandung kosakata bahasa Jawa kuna dan bahasa Cirebon.


Karangannya berbentuk prosa, campuran antara paparan dan kisah. Cara penyajiannya memiliki ciri-ciri karangan ilmiah, yakni berupa keteranga secara tersurat mengenai sumber karangan yang digunakan dan dikemukakan apabila di antara sumber-sumber yang digunakan terdapat perbedaan informasi.


Salakanagara minim meninggalkan bukti fisik karena bencana perang untuk memperebutkan Tanah Sunda. Demikian juga bencana alam yang tidak mustahil menghilangkan peninggalan kerajaan awal di Pulau Jawa tersebut.

Sehingga dalam artikel, tulisan ilmiah maupun buku sejarah formal lebih banyak menulis Kerajaan Kutai sebagai kerajaan pertama di nusantara.


Dengan adanya naskah Wangsakerta, generasi sesudah sangat tertolong untuk mendeskripsikan dan menarasikan abad-abad awal masehi Nusantara dan persentuhan budaya dengan berbagai bangsa besar dunia.


Karena satu naskah Wangsakerta berjudul Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 menuturkan peristiwa sejarah masa lampau tentang raja dan kerajaan yang terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.


Uraiannya banyak tertumpu pada karya mahakawi (pujangga besar) Mpu Khanakamuni dari Majapahit, beliau menjabat sbagai dharmadhyaksa (pejabat tinggi keagamaan) urusan agama Buddha. Selain itu kitab ini mencontoh beberapa karya pujangga besar yang telah menggubah kisah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.


Selain itu dilengkapi pula uraian tentang kerajaan Mataram, Banten, raja-raja daerah Parahyangan, serta para penguasa daerah lainnya. Penyusun kitab ini terdiri dari 12 orang, yaitu tujuh orang menteri (jaksa pepitu) kerajaan Carbon, seorang pujangga dari Banten, Sunda, Arab, dan seorang lagi.


Mereka semua dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta.

Kitab ini mulai dikerjakan pada tahun Saka sruti-sirna-ewahing-bhumi (1604 Saka = 1682 Masehi), ditulis di keraton Carbon oleh Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Carbon Tohpati bergelar Abdul Kamil Mohammad Nasarudin.


Menurut Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, sejarah berdirinya Kerajaan Salakanagara bermula ketika seorang pedagang dari India yang bernama Dewawarman menetap di Jawa, lebih tepatnya di Teluk Lada, Pandeglang.


Dewawarman kemudian menikahi putri dari Aki Tirem, kepala daerah setempat. Pada 130 masehi, Dewawarman mendirikan Kerajaan Salakanagara dengan ibu kota di Rajatapura. 

Setelah menjadi raja dengan gelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara, ia melakukan ekspansi untuk memperluas daerah kekuasaan.


Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa bagian barat, termasuk pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa dan laut yang membentang sampai Pulau Sumatera. 

Letaknya yang strategis, membuat perahu yang melintas terpaksa harus singgah dan memberi upeti kepada Dewawarman.

Raja Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun, antara 130-168 masehi. 

Setelah itu, takhta kerajaan diteruskan oleh putranya, Dewawarman II yang bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman.


Rajatapura


Teluk Lada Rajatapura disebutkan dalam Naskah Wangsakerta sebagai pusat pemerintahan Salakanagara yang terletak di Teluk Lada (Pandeglang, Banten). 

Dalam naskah tersebut, Rajatapura disebut sebagai kota.


Dari sinilah kedelapan Raja Dewawarman memerintah dan menguasai perdagangan di seluruh Jawa. 

Condet Condet terletak di Jakarta Timur, yang berjarak 30 kilometer dari pelabuhan Sunda Kelapa.


Daerah ini dipercaya sebagai ibu kota Kerajaan Salakanagara karena memiliki aliran sungai bernama Sungai Tiram. 

Kata "Tiram" berasal dari nama Aki Tirem, mertua Dewawarman I, pendiri Salakanagara.


Gunung Salak 


Gunung Salak di Bogor adalah gunung yang ketika siang berwarna keperak-perakan karena tersinari oleh terangnya matahari. 

Dalam Bahasa Sunda, Salakanagara berarti Kerajaan Perak.

Selain itu, pendapat ini juga dilandasi oleh kemiripan nama antara Salaka dan Salak.


Salakanagara Selama 232 tahun berdiri, diyakini ada 11 raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara.

Berikut nama raja-raja yang pernah berkuasa :


1. Dewawarman I atau Prabu Darmalokapala Haji Raksa Gapura Sagara (130-168 M)


2. Dewawarman II atau Prabu Digwijayaksa Dewawarmanputra (168-195 M)


3. Dewawarman III atau Prabu Singasagara Bimayasawirya (195-238 M)


4. Dewawarman IV (238-252 M)


5. Dewawarman V (252-276 M) Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289 M)


6. Dewawarman VI (289-308 M)


7.  Dewawarman VII (308-340 M) Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M)


8. Dewawarman VIII (348-362 M)


9. Dewawarman IX (362 M)


Setelah pemerintahan Dewawarman VIII, Kerajaan Salakanagara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.

Raja Jayasinghawarman, pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu dari Raja Dewawarman VIII.

Meski hanya berdiri selama dua abad, garis turunan penguasa Salakanagara dipercaya melahirkan raja-raja Pajajaran, Sriwijaya, dan Majapahit.  


Dengan rinci Teks naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 memulai uraiannya dengan keadaan di Pulau Jawa sejak sudah adanya pemukiman manusia. Dikemukakan pula tentang kesuburan tanah dan kemakmuran di Pulau Jawa, disusul uraian mengenai kedatangan orang-orang dari luar Nusantara yang kemudian menyebar dan menetap di Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara.


Para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi Bharatanagari. Mereka datang menaiki beberapa puluh perahu yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa.


Sang Dewawarman sudah bersahabat dengan penduduk daerah pesisir Jawa Barat, Nusa Apuy, dan Pulau Sumatra bagian selatan. Sang Dewawarman bersahabat pula dengan penghulu penduduk setempat, akhirnya bermukim di sini dan lamakelamaan menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat.


Sang Dewawarman kemudian beristrikan anak penghulu penduduk wilayah desa itu. Sang penghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepada menantunya. Pada tahun 52 Saka ( = 130 Masehi) Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja. Kerajaannya diberi nama Salakanagara, ibukotanya diberi nama Rajatapura.

Ia bergelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarma Haji Raksagapurasagara, dan menjadi raja sampai dengan tahun 90 Saka ( = 168 Masehi). Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Sang Prabhu Dhigwijayakasa Dewawarmanputra, yang menjadi Dewawarman II. Ia menjadi raja Salakanagara pada tahun 90 – 117 Saka (168 – 195 Masehi).

Dewawarman II beristrikan seorang putri dari keluarga Maharaja Singhalanagari. Dari pernikahannya ini lahir di antaranya seorang yuwaraja. Ia menggantikan ayahnya menjadi raja di Salakanagara pada tahun 117 Saka ( = 195 Masehi), dengan gelar Prabhu Singhanagara Bhimayasawirya dan menjadi Dewawarman III. Ia menjadi raja sampai dengan tahun 160 Saka ( = 238 Masehi).


Pada masa pemerintahannya Salakanagara diserang perompak, namun dapat dibinasakan olehnya. Dewawarman III kemudian digantikan oleh menantunya ialah Sang Prabhu Dharmastyanagara yang menjadi Dewawarman IV. Ia memerintah pada tahun 160 – 174 Saka ( = 238-252 Masehi). Dewawarman IV digantikan oleh anak perempuannya , yaitu Rani Mahisasuramardini Warmandewi. Ia memerintah bersama suaminya, Sang Prabhu Amatyasarwajala Dharmasatyajaya Warunadewa.

Sang Rani memerintah pada tahun 174 – 211 Saka ( = 252-289 Masehi), tetapi suaminya hanya memerintah selama 24 tahun, karena gugur di tengah laut ketika berperang melawan perompak. Kemudian yang menjadi raja di Salakanagara adalah putranya, Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabhumi yang menjadi Dewawarman VI. Ia memerintah pada tahun 211 – 230 Saka ( = 289-308 Masehi).


Ia menikah denga putri dari Bharatanagari. Dari perkawinannya itu lahir beberapa orang anak, di antaranya yang tertua ialah Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati yang menjadi Dewawarman VII. Ia memerintah pada tahun 230 – 262 Saka ( = 308 – 340 Masehi). Dewawarman VII gugur pada tahun 262 Saka karena serangan balatentara yang dipimpin oleh seorang panglima bernama Khrodamaruta, yang masih bersaudara dengan Sang Prabhu.


Kemudian Sang Khrodamaruta menjadi raja di Salakanagara. Ia tidak disukai oleh penduduk dan keluarga keraton. Ia tidak lama menjadi raja, hanya tiga bulan, karena ketika ia berburu di tengah hutan, ia tertimpa batu dari puncak gunung. Sang Prabhu Khrodamaruta tewas. Kemudian permaisuri Dewawarman VII, Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi raja Salakanagara. Ia memerintah selama tujuh tahun sampai dengan tahun 270 Saka ( = 348 Msehi).

Pada tahun 270 Saka itu, Sang Rani menikah dengan Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Sang Rani dan suaminya adalah saudara sepupu satu kakek. Selanjutnya Sang Prabhu Dharmawirya menjadi raja Salakanagara, menjadi Dewawarman VIII. Ia memerintah tahun 270 – 285 Saka ( = 348- 363 Masehi). Selanjutnya teks naskah ini menguraikan pula keadaan politik di Bharatanagari dan peperangan antara wangsa Maurya dengan wangsa Pallawa dan Salankayana.


Akhirnya kerajaan wangsa Pallawa dan Salankayana dikalahkan oleh kerajaan wangsa Maurya. Banyak penduduk dan keluarga raja dari kerajaan mengungsi menyeberangi lautan. Salah satu kelompok wangsa Pallawa yang mengungsi ke Pulau Jawa dipimpin oleh seorang yang kemudian menjadi Dewawarman VIII, yaitu Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Diceritakan pula bahwa pada tahun 270 Saka ( = 348 Masehi), ada seorang Maharesi dari Salankayana disertai para pengikutnya, penduduk dan balatentara, datang mengungsi ke Nusantara dan sampailah di Jawa Barat.


Ia bersama pengikutnya berjumlah beberapa ratus orang. Kedatangannya disambut oleh penduduk pribumidengan senang hati, karena Sang Maharesi adalah seorang dang accarya (guru) dan seorang mahapurusa (orang penting). Selanjutnya, mereka semuanya bermukim di tepi sungai dan membuat desa.


Karena ia disetujui oleh para penghulu dari desa-desa di sekitarnya, kemudian ia mendirikan sebuah kerajaan di situ dan diberi nama Tarumanagara. Desa yang didirikan Sang Maharesi itu kemudian menjadi sebuah kota yang besar dan diberi nama Jayasinghapura. Sang Maharesi kemudian terkenal dengan nama Sang Jayasinghawarman Ghurudharmapurusa dan Rajadhirajaghuru, yaitu raja Tarumanagara dan guru agama.


Ia kemudian menikah dengan putri Dewawarman VIII, yaitu Sang Parameswari Iswari Tunggalprethiwi Warmandewi atau Dewi Minawati namanya. Selanjutnya diceritakan pula anak Dewawarman yang lainnya yang menjadi putra mahkota. Setelah Sang Dewarman mangkat, putra mahkota menggantikannya menjadi raja. Tetapi desa-desa wilayahnya ada di bawah perintah kerajaan Tarumanagara.

Ada pula anak Dewawarman yang lainnya lagi, seorang laki-laki yang bermukim di Bakulapura. Ia terkenal dengan nama Aswawarman. Ia menikah dengan anak sang penghulu penduduk Bakulapura, yaitu Sang Kudungga namanya.

Masa pemerintahan Sang Maharesi Rajadhirajaghuru lamanya 24 tahun, dari tahun 280 Saka ( =358 Masehi) sampai dengan tahun 304 Saka ( =382 Masehi). Ia mangkat pada usia 60 tahun. Ia terkenal sebagai Sang Lumah ri Ghomati. Selanjutnya ia digantikan oleh putranya yang terkenal dengan nama Rajaresi Dharmayawarmanghuru.


Referensi:

Ayatrohaedi. (2017). Sundakala: Cuplikan Sejaraj Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya

Transliterasi Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (PPBJ), Museum Sri Baduga. Bandung


Informasi tambahan, Kerajaan di Jawa

1. 0-600 (Hindu-Buddha Pra Mataram): Salakanagara, Tarumanagara, Sunda-Galuh, Kalingga, Kanjuruhan.


2. 600-1500 (Hindu-Buddha): Mataram Kuno, Medang, Kahuripan, Janggala, Kadiri, Singhasari, Majapahit, Pajajaran, Blambangan.


3. 1500-sekarang (Kerajaan Islam): Demak, Pajang, Banten, Cirebon, Sumedang Larang, Mataram Islam, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunagaran, Paku Alaman.



Saturday, April 5, 2025

Pangeran Giolo, putra Raja Moangis atau Gilolo

Pangeran Giolo, putra Raja Moangis atau Gilolo





Giolo, Lelaki Bertato asal Maluku yang Kulitnya Dipamerkan di Inggris

Pangeran Giolo, putra Raja Moangis atau Gilolo: terletak di bawah garis Khatulistiwa pada garis bujur 152 derajat. Inilah seorang pangeran pribumi yang dihiasi dengan bintik-bintik kaya dan pola yang menakjubkan, yang belum pernah dilihat dunia Eropa sebelumnya: dibawa dari Hindia Timur pada tahun 1691, dan diperlihatkan kepada Yang Mulia serta banyak bangsawan dan kalangan terhormat di kerajaan. Ia lahir di Pulau Meangis, salah satu dari Kepulauan Filipina, dan oleh orang-orang pribumi disebut sebagai Pangeran Bergambar; penuh variasi, sehingga membuat para seniman terbaik pun terkagum-kagum. Negeri asalnya kaya akan emas dan rempah-rempah, dan penduduknya menganggap bahwa dihiasi seperti ini merupakan keindahan besar; ia ditato dan dihias dengan cara yang luar biasa ini sejak usia 2 hingga 12 tahun, dengan cara ditusuk dengan jarum-jarum tajam, lalu digosok dengan ramuan herbal atau campuran pewarna. Ini dianggap sebagai hiasan besar dan tanda kebesaran di antara mereka. Tato ini bertahan seumur hidup dan biasanya dilakukan oleh seniman terbaik. Ibunya sendiri yang melakukannya, dengan menusuk dan mewarnainya secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak itu menahan rasa sakit. Ia ditangkap oleh kapal Eropa, yang setelah melihat banyak penduduk asli bertato, memilih dia karena dianggap paling menarik dan dihiasi dengan sangat baik, lalu membawanya sebagai tontonan. Ia bertubuh tinggi, sekitar 6 kaki (sekitar 180 cm), memiliki tubuh proporsional dan kuat, aktif, dan tahan banting, tanpa pendidikan formal; namun secara alami ia diketahui memiliki pemahaman cepat dan kecerdasan tinggi. Ia meninggal di London karena penyakit cacar, tak lama setelah kedatangannya, yang disesalkan oleh banyak orang yang ingin mengenalnya lebih jauh sebagai subjek keingintahuan.


Thursday, March 27, 2025

Silat Beksi

Silat Beksi

Silat Beksi adalah salah satu aliran silat yang bertumpu pada teknik pukulan (Betawi: maen pukulan). Aliran ini awalnya dikembangkan oleh masyarakat dari daerah Kampung Dadap, Kecamatan Kosambi, Tangerang dan Penemu aliran ini adalah Lie Tjeng Hok (1854-1951), seorang keturunan Tionghoa dari keluarga petani. Nenek moyangnya diperkirakan berasal dari Amoy (Xiamen), Tiongkok. Ia menggabungkan ilmu bela diri keluarganya dengan ilmu dari guru-guru Betawi, dan mengajarkannya kepada para murid Betawi pesisir dan orang Tionghoa Benteng di sekitar Kampung Dadap. Di kemudian hari, aliran silat ini juga menyebar ke daerah Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, dan daerah Batujaya, Batuceper, Tangerang.




Wednesday, March 26, 2025

Dokumen Foto Londo (Belanda) merayakan kemerdekaan Israel di surabaya, 1948

 Dokumen Foto Londo (Belanda) merayakan kemerdekaan Israel di surabaya, 1948




PASANG SURUT BATAK

 PASANG SURUT BATAK




Mengapa pejelajah dan penjajah menyebut Karo sebagai Batak? Ratusan tahun sebelum ditulis pertama kali sebagai Karau-Karau oleh William Marsden thn 1783, dilanjutkan oleh John Anderson 1823. Sebelum itu praktis semua disebut Batak saja. Itu berlangsung berabad-abad lamanya. Dunia ini berkembang peradaban manusia juga tak ketinggalan. Populasi meningkat, pengetahuan bertambah, migrasi manusia semakin jauh, dan perbedaan semakin melebar. 


Batak sedia-kala dipahami hanya satu, kemudian berkembang menjadi Karo, Toba, Pakpak, Simalungun dan Mandailing/Angkola. Awalnya Kluet, Singkel, Gayo sempat digolongkan sebagai Batak, namun sultan Aceh yg dominan mempengaruhi budaya di sana dan merga-merga disana tidak berkembang spt di wilayah Batak lainnya


Kian jauh perjalanan waktu, Batak yg lima kemudian satu-satu malah ingin keluar dengan nada 'sedikit' kecewa karena dewasa ini Batak identik dengan Toba dan Toba tenggelam ditelan oleh Batak. Orang Toba lebih familiar menyebut diri sebagai Batak ketimbang Toba, sehingga yg lain merasa 'dikacangin' sehingga mundur satu-satu. Awalnya dilakukan Mandailing thn 1922 karena persoalan tanah kuburan. Karo juga mulai merasa diusik soal budayanya. Di acara Berpacu Dalam Melodi Koes Hendratmo dibilang lagu Oh Turang lagu Batak. Banyak yg protes itu lagu Karo. Di tambah lagi tahura di Tongkeh mau diberi nama Tahura SM Raja, makin ramai Karo yang protes. Akhirnya muncul semacam gerakan Karo Bukan lagi Batak di awal tahun 2000-an.


Pak-pak juga demikian merasa terasing di Tanah ulayat sendiri. Kasus pelecehan suku baru-baru ini meluas menjadi demo. Stiker di salah satu minimarket juga dicopoti merasa tidak susuai dengan kearifan lokal. Entah di Simalungun, namun segelintir org di media sosial memang sdh lantang menyatakan diri bukan Batak. Barangkali sengketa Tanah Ulayat di kabupaten Simalungun sempat mencuat hingga petinggi tokoh masyarakat Simalungun berkomentar, tidak ada tanah Ulayat di Simalungun, semua milik raja, katanya.


Tinggal Toba sendiri yg dengan nada 'bangga' senantiasa memperkenalkan diri sebagai Batak. Sehingga lagu Batak, bahasa Batak, adat Batak, aksara batak, ulos Batak, Tano Batak semua mengacu ke Toba. Malah Toba hilang ditelan Batak. 


Padahal dedengkot Jong Batak Bond adalah orang-orang dari Mandailing, gereja terbesar di Karo masih terdaftar di Depdagri dan Depag masih menggunakan kata Batak. Gereja Simalungun dan Pakpak merupakan mekar dari HKBP. Namun pelan-pelan rumpun di Batak merasa tak satu rasa lagi. Aku begini engkau begitu, biarkanlah... Au ah gelap....


Karo Batakman 

Koleksi perpustakaan KITLV, Leiden.

Tuesday, March 25, 2025

BAHASA NUSANTARA KUNO ADALAH IBU DARI BAHASA SANSEKERTA DAN SANSEKERTA BUKAN DARI INDIA

 BAHASA NUSANTARA KUNO ADALAH IBU DARI BAHASA SANSEKERTA DAN SANSEKERTA BUKAN DARI INDIA





Kajian tentang Ibu bahasa dunia akhirnya merujuk pada akar bahasa yang masih digunakan disebagian daerah di Indonesia Nusantara.


Mari kita simak dengan membacanya hingga tuntas.


Bahasa "Sansekerta" adalah bahasa bangsa Nusantara, Indonesia maju terdahulu, bukan bahasa dan berasal dari "lndia" saat ini...


Salah kaprah dan propaganda "Kolonialis", telah menjadikan bangsa ini seolah hanya menjadi bangsa pengimport "Budaya" dan "Bahasa" bangsa lain 


Saat menjajah....negri ini dinamai "Hindia Belanda" ...hanya dengan satu huruf..."H" hilang...sempurnalah... kata "india"...itu menjadi anggapan sumber budaya dan bahasa bangsa Nusantara..dan kita #HANYA diam.


Perhatikan :


Bahasa "Sansekerta" telah lama ada di Nusantara sejak ribuan tahun lalu di pergunakan leluhur kita, literasi kata "bahasa" (bhāṣa) itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta berarti "logat bicara" ini asli bahasa kita


Penelitian bahasa Sanskerta oleh bangsa Eropa dimulai oleh Heinrich Roth(1620–1668), Johann Ernst Hanxleden(1681–1731)


Sir William Jones, berceramah kepada Asiatick Society of Bengal di Calcutta, 2 Februari 1786, berkata:


“..Bahasa Sanskerta, bagaimanapun kekunaannya, memiliki struktur yang menakjubkan...lebih sempurna daripada bahasa Yunani, lebih luas daripada bahasa Latin, lebih halus dan berbudaya daripada keduanya, namun memiliki keterkaitan yang lebih erat pada keduanya...baik dalam bentuk akar kata-kata kerja maupun bentuk tata bahasa...yang tak mungkin terjadi hanya secara kebetulan, sangat eratlah keterkaitan, sehingga tak ada seorang ahli bahasa yang bisa meneliti ketiganya...tanpa percaya bahwa mereka muncul dari sumber yang sama, yang kemungkinan sudah tidak ada.."


...muncul dari sumber yang sama, yang kemungkinan sudah tidak ada.."..kata kata terakhir William Jones ini membuktikan sumber "Sansekerta" itu bukan berada di tempat ia berceramah saat itu, yaitu India.


Dalam bahasa Indonesia saat ini ada sekitar 800 kata-kata dari bahasa Sanskerta antara lain :(cintā):cinta, agama (āgama), antariksa (antarikṣa), (arcā) patung, bahaya (bhaya), bejana (bhājana), bidadari (vidyādharī), Buddha (buddha) seseorang yang telah sadar, dsb...


Kata-kata ini ada yang diserap langsung dari bahasa aslinya,yang terserap dari bahasa Jawa dipakai sebagai pembentukan kata-kata baru disebut "Neologisme"...


...ing bausastrané Jawa Kuna kurang dari 50% dari itu,bauwarnané, asalé saka basa Sangskreta...


Catatan "Mainstream" saat ini tentang Sansekerta adalah terpublikasi nama "Panini" kemudian Devanagari, Bahasa Brahmin lebih tua lagi "Aramik"..itulah sumber sansekerta...benarkah..?


● Pāṇini, orang Pakistan pertama kali menulis tentang tata bahasa Sanskerta yang berjudul Aṣṭādhyāyī, buku tata bahasa Sanskerta karyanya ini memuat 3.959 hukum bahasa Sanskerta ditulis abad ke-5 SM


● Aksara Devanāgarī/dari bahasa Sanskerta "Kota Dewa" Aksara ini muncul dari aksara "Brahmi" dan mulai dipergunakan pada abad ke-11


● Aksara Brahmi, Aksara ini ditulis dari kiri ke kanan,menurut hipotesis aksara ini berdasarkan huruf "Aramea" digunakan Raja Asoka 270 SM - 232 SM


● Abjad/Bahasa Aramaik adalah yang dipakai masyarakat Aram, yang tinggal di daerah sekitar Mesopotamia/Siria, sekitar abad ke-10 SM, Kekaisaran Akhemenid 331 SM, Aram Kuno 500 SM, berubah menjadi Aram Imperial/bahasa kekaisaran


Perhatikan : 

Semua yang di anggap sumber abjad/bahasa paling tua adalah thn 500 SM, Sementara di Nusantara jauh sebelum tahun itu telah berdiri tempat belajar ilmu pengetahuan, setingkat Pusat Universitas di antaranya ilmu bahasa ...."Sansekerta"


Tempat belajar setingkat Pusat Universitas bernama "Dharma Phala" di svarnadvipa di bangun sebelum "Nalanda" di Bihar India thn 427 M


Tokoh Dharmapala 670-580 SM lahir di Svarnadvipa adalah murid Dharmadasa, guru Dharmakirti dan guru-guru lainnya pelopor ajaran "Dharma/Dhamma" di tanah india


Jadi...Bahasa "Sansekerta" adalah bahasa asli Nusantara, di pelajari dan di pakai oleh leluhur kita menyebar ke 3/4 muka bumi bersamaan dengan penyebaran falsafah ajaran "Dharma/Dhamma", yang mendasari tumbuhnya 3 Agama besar di India...


Kita lah yang mewarnai India, dan #BUKAN sebaliknya, di tandai dengan bahasa "Sansekerta" dan falsafah dasar utama.."Dharma/Dhamma"...


Sementara kajian lainnya menyebut, bahwa Sansekerta adalah bahasa turunan dari bahasa Nusantara Kuno yang terjadi karena perkembangan budaya di Indonesia Nusantara Kuno masa itu.


Shyama Rao (1999) menulis buku-elektronik berjudul “The Anti-Sanskrit Scripture” dan dipajang di perpustakaan maya Ambedkar– yang sekarang sudah dihapus. Rao mengkritisi anggapan akademis bahwa bahasa Sansekerta adalah induk semua bahasa di Asia Selatan bahkan sampai Eropa Barat, demikian juga aksara Deva Nagari yang diakukan berasal dari negeri para dewa.

Rao menjelaskan banyak kelemahan bahasa Sansekerta dan aksara Deva Nagari. Bahasa Sansekrta yang sejak jaman kuno dipropagandakan oleh bangsa Aryan sebagai bahasa suci dan Bahasa Dewata serta induk bahasa-bahasa di Hindustan, bahasa Persia, Inggris dan Jerman itu mengandung kerumitan tatabahasa dan memiliki terlalu banyak karakter (alphabets). Rao membuat daftar perbandingan jumlah karakter bahasa-bahasa primitif (Sansekrta digolongkan primitif), sebagai berikut:

• Cina-Ming 40,545

• Cina-Sung 26,194, 

• Cina-Han 9,353, 

• Sumeria 1,200, 

• Sansekrta 509, dan 

• Heroglif Mesir 70 karakter.


Memang jauh lebih banyak jumlah karakter Cina atau Sumeria, namun di bahasa-bahasa itu setiap karakter mewakili satu makna grammatical suatu kata atau morpheme. Sedang dalam bahasa Sansekrta satu aksara Deva Nagari hanya melambangkan bunyi, cara baca, perubahan bentuk kata dan lain-lain aturan grammatical yang sangat rumit. Agak mirip dengan huruf-huruf Timur-Tengah seperti Hibrani dan Arab tetapi jauh lebih rumit. Belum lagi tatabahasanya yang tidak konsisten sebagai kelompok bahasa daratan Asia Selatan ke Barat. Bahasa Sansekrta tidak membedakan jenis kelamin, tidak mengenal “tenses”, tidak ada konsep “tunggal dan jamak”, serta tidak ada partikel, tetapi banyak sinonim dan homonim yang mirip dengan kelompok bahasa Nusantara. Anehnya kosa-kata bahasa Sansekreta banyak yang mirip bahasa-bahasa Asia Selatan, Asia Barat hingga Eropa Barat.

Kesimpulannya, bahasa Sansekrta dan aksara Deva Nagari adalah “rakitan” dari berbagai bahasa. Dia dirakit dengan menyampur atau menyomoti kosa-kata dan cara tulis berbagai bahasa yang ada di Daratan Hindustan ditambah dengan bahasa-bahasa pendatang dengan logat bangsa Aryan. Ini juga dibuktikan bahwa penutur aktif bahasa Sansekrta pada tahun 1921 tinggal sekitar 356 orang di seluruh India, Pakistan dan Bangladesh (sekarang), dan pada sensus tahun 1951 hanya ada 555 orang penutur Sansekreta dari 362 juta penduduk India.


Bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Indonesia justru mengandung sekitar 50% kosa kata Sansekrta. Jangan-jangan justru orang Aryan menyomot sebagian bahasanya dari Bahasa Nusantara sebagai bagian bahasa rakitannya. Karena secara praktis, justru penutur Sansekreta itu jauh lebih banyak di Nusantara dibanding penutur di India. Apalagi orang Aryan sendiri justru memakai bahasa Hindi. Bukti paling telak adalah bahwa belum diketemukan satupun naskah kuno berbahasa Sansekrta dengan aksara Deva Nagari di India sebelum tahun 500 Masehi!


Bahasa yang dianggap dan dipropagandakan sebagai bahasa dewata, terbukti sebagai bahasa rakitan minoritas “penguasa” Hindustan. Sayangnya, propaganda Sansekrta sebagai induk bahasa-bahasa terlanjur mendarah daging bersamaan dengan banjir bandang imperialisme dan kolonialisme sebagai sumber anthropologi. 


Teori Sansekrta Induk Bahasa (TSIB) terlanjur bercokol di memori intelektual sejarah, lingusistik dan sosial. Bahkan meracuni beberapa ahli komputer hingga pernah ada pendapat “Bahasa Sansekrta paling afdol untuk program komputer, karena mewakili banyak bahasa besar di dunia” tanpa dipertimbangkan kerumitan penulisan yang digunakan dan ketidakkonsistenan tatabahasanya. Justru bahasa komputer yang melanglang jaringan “artificial intelligent” bernama “Java Script” yang konon karena “fleksibelnya” the Javanese.


Seorang agronomist dari Haryana University, Profesor Ashok Kumar, sangat heran dengan bahasa Indonesia. Pertama dia heran sewaktu diberitahu bahwa “language” itu “bahasa”. Dia heran, karena di bahasa Hindi dan Bengali, “language” adalah “bhasa”. Dia lebih heran lagi ketika  dalam bahasa Jawa berbunyi “boso”. Dia bingung, dari mana istilah “bhasa, boso, dan bahasa” itu berasal. Dia sebagai orang Hindu justru tidak merujuk Sansekrta, malah menduga dari bahasa Arab atau Urdu. Jika istilah “bhasa” itu, kalau benar-benar dari Sansekrta, mestinya di Persia, Jerman, Inggris, Latin, Yunani, juga mirip paling tidak ada konsonan “bhs”, tetapi kok jadi “lingua”?


Keheranan Prof. Kumar kedua adalah tentang jumlah bahasa di Indonesia yang ratusan, tetapi memiliki satu bahasa Indonesia yang dapat diterima oleh hampir semua orang Indonesia, karena antara bahasa Jawa, Sunda dan Bali itu banyak mengandung kosa-kata Kawi, sedang hampir 80% kosa kata bahasa Melayu asli punya akar kata Kawi. Kenyataan itu sangat berbeda dengan negerinya, India. Negerinya punya keragaman ekologi dan ekosistem yang spektakuler. Mulai dari yang bersalju abadi (Himalaya) sampai yang bergurun (Deccan dan Punjab). Dari yang daratan utuh (Hindustan) hingga kepulauan (Andaman). Maka Prof. Kumar berkhayal, seandainya India memiliki bahasa nasional yang bisa diterima oleh seluruh bangsa seperti Bahasa Indonesia, betapa kuat negaranya! Tetapi dia justru heran kepada Indonesia yang tidak maju-maju. “What’s wrong with the Indonesian?” katanya.


Ternyata dari Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia masih merupakan pengikat paling kuat persatuan dan kesatuan Indonesia . Bahasa konon merupakan salah satu ekspresi kebudayaan bangsa penuturnya. 


Sebuah artikel di majalah ilmiah populer HortScience menyebut tentang asal-usul tanaman “tales-talesan” yang ada di Oceania, Polynesia hingga Hawaii lalu menyebar ke Jepang, Cina dan Korea, yang diduga dulu-dulunya dibawa oleh penjelajah lautan kuno dari Nusantara sebagai “bekal” bahan makanan. Dan dugaan itu lebih ketika ada siaran NHK (TV Jepang) akhir tahun 2003 yang secara kebetulan membahas kebudayaan bangsa Hawaii. Di siaran itu ada tarian tradisional yang diucapkan oleh pembawa acara sebagai: “Kokonatsu no odori” (Tarian pohon kelapa) yang tulisan bahasa Hawaiinya ada kata “kalappa”. Nusantara telah punya bahasa yang satu, berarti budayanya juga satu.

Jadi, bahasa manakah yang bahasa Induk? Sansekrta atau bahasa-bahasa Nusantara yang diwakili oleh Bahasa Indonesia? Sayangnya bahwa dalam sejarah penyebaran manusia, bangsa Nusantara terlanjur dianggap sebagai pendatang dari Indo-Cina. Meskipun pada beberapa literasi tidak ditemukan sama sekali kosa kata Indonesia atau Jawa yang mirip dengan kosa kata Khmer atau Burma. Yang ada justru dulu raja-raja Kamboja memakai nama akhir Warman dan kebetulan pula salah seorang bangsawan dari daerah Pamalayu di Majapahit bernama Adityawarman. Sementara nama raja Kamboja sekarang justru Norodom Sihanouk yang sama sekali tidak mirip dengan satu pun kata Melayu, Jawa, Sunda dan Bali.


Semoga semua mahluk selamat dan bahagia 



Monday, March 24, 2025

LUKISAN PANGERAN DIPONEGORO

 LUKISAN PANGERAN DIPONEGORO




Seperti diketahui pada masa hidup Pangeran Diponegoro (1785-1855), tehnologi foto kamera belum ada, atau kalaupun sudah ada tentu belum sempat populer untuk digunakan.


Pada jaman itu, untuk menggambarkan wajah seseorang hanya melalui sketsa dari seorang pelukis.

Jadi gambar Pangeran Diponegoro yang familiar kita lihat bukanlan berdasar dari foto yang menampilkan wajah asli, tapi berdasarkan lukisan sketsa seorang pelukis porselen yang kebetulan sedang menjabat sebagai hakim kota yang bertugas mengawasi Pangeran Diponegoro ketika masih ditahan di penjara Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah) Batavia, sebelum pemimpin perang Jawa tersebut divonis hukuman penjara di Fort Nieuw Amsterdam Manado dan penjara Fort Rotterdam Makassar.


Pelukis tersebut adalah Adrianus Johannes Jan Bik, seorang seniman lukis kelahiran Prancis.

Saat mengawasi Pangeran Diponegoro ditahanan, Jan Bik meminta sang Pangeran untuk bersedia dilukis.


Lukisan menggambarkan sketsa wajah Pangeran Diponegoro sesuai dengan keadaan pada waktu itu, dimana Pangeran yang bernama asli Raden Mas Ontowirjo tersebut tergambar dengan pipi yang cekung setelah sembuh dari penyakit Malaria tropis.


Pada lukisan tampak sang Pangeran memakai jubah dan penutup kepala bergaya Timur Tengah(Turki Utsmani) dengan sebilah keris yang terselip di dada.

Apakah pada saat dilukis, Pangeran Diponegoro memang menggunakan baju dan atribut yang sesuai pada lukisan? atau hanya imajinasi saja dari sang pelukis? atau mungkin ada maksud tertentu dari pihak kolonial?


Lukisan Pangeran Diponegoro tersebut saat ini tersimpan di Rijksmuseum Belanda setelah dihibahkan oleh sang pelukis.


Sumber narasi : media sejarah historia.id

Sumber foto : rijksmuseum.nl


Jenderal Mallaby

 Jenderal Mallaby




Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby (AWS Mallaby) tewas dalam baku tembak di Surabaya pada 30 Oktober 1945. Peristiwa ini terjadi di Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah. 


Kronologi tewasnya Jenderal Mallaby

- Mallaby tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945 bersama Brigade 49. 

- Mallaby dan pasukannya berunding dengan pejuang rakyat untuk menghentikan tembakan. 

- Baku tembak berhenti, iring-iringan mobil Mallaby mulai pergi dari Gedung Internatio. 

- Pasukan Gurkha merasa tidak puas, kemudian menyiapkan tembakan diikuti granat di sekitar gedung. 

- Inggris mengabarkan bahwa Jenderal Mallaby telah tewas dalam baku tembak tersebut. 

- Dampak tewasnya Jenderal Mallaby

- Tewasnya Mallaby membuat pihak Sekutu marah. 

- Sekutu mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945 untuk meminta Indonesia menyerah pada esok harinya. 

- Pertempuran di Surabaya antara para pejuang kemerdekaan dan pasukan Sekutu memuncak pada 10 November 1945. 


Misteri penembak Mallaby 

- Banyak orang Indonesia mengaku sebagai penembak Mallaby.

- Klaim yang kemungkinan besar benar adalah Abdul Aziz. 

(Sumber : Wikipedia)




Thursday, March 20, 2025

Naskah Suluk WUJIL dan Terjemahnya.

 Naskah Suluk WUJIL dan Terjemahnya.





Naskah SULUK  WUJIL ini Disalin  dari  Buku  “AJARAN RAHASIA SUNAN BONANG, SULUK WUJIL” (SULUK WUJIL : DE geheime Leer van Bonang), Oleh Poerbatjaraka, dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh R. Suyadi Pratomo, terbitan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1985)



(1). Dyan warnanen sira ta pun Wujil // matur sira ing sang adinira // Ratu Wahdat pangerane // sumungkem aneng lebu // telapakan Sang Maha Muni // Sang adhekah ing Benang // mangke atur bendu // sawitnya nedha jinarwan // sapratingkahing agama kang sinelir // teka ing rahsa purba.


Tersebutlah cerita seseorang bernama Wujil, tengah berdatang sembah kepada gurunya yang bernama Ratu Wahdat; ia bersujud di tanah dekat kaki sang guru yang bertempat tinggal di desa Benang. Sebelumnya ia mohon maaf atas tindakannya mengharap ajaran Islam yang musykil, hingga sedalam-dalamnya.



(2). Sadasa warsa sira pun Wujil // angastu pada sang adinira // tan antuk wara ndikane // ri kawijilanipun // ira Wujil ing Maospait // ameng-amenganira // nateng Majalangu // telas sandining aksara // pun Wujil matur maring Sang adi Gusti // anuhun pangatpada.


Selama sepuluh tahun Wujil berguru, namun belum juga mendapat ajaran yang diharapkan; dahulunya ia berasal dari Majapahit, bekerja sebagai “pelayan” Raja. Ia menguasai tata bahasa dan mahir sastra Jawa Kuno; maka menyembahlah Wujil seraya berkata dengan hormat.



(3). Pun Wujil byakteng kang anuhun sih // ing talapakan Sang Jati Wenang // pejah gesang katur mangke // sampun manuh pamuruk // sastra Arab paduka warti // wekasane angladrang // anggeng among kayun // sabran dina raraketan // malah bosen kawula kang angludrugi // ginawe alan-alan.


Hamba Wujil mohon dengan tulus di hadapan guru, memohon diberikan ajaran, hamba serahkan mati dan hidup hamba. Telah tamat ajaran Guru dalam bahasa arab; masih juga kami mencari-cari, mengembara mengikuti kehendak hati; tiap hari kita bergaul bermain bersama, rasanya seperti bosan saya melawak, menjadi tumpuan olok-olok.



(4). Ya Pangeran  ing Sang adi Gusti // jarwaning wisik aksara tunggal // pangiwa lan panengene // nora na bedanipun // dene maksih atata gendhing // maksih ucap-ucapan // karone puniku // datan pulih anggeng mendra // atilar tresna saka ring Majapahit // nora antuk usada.


“Aduhai Kanjeng Sunan, penjelasan mengenai ajaran rahasia tentang kesatuan (huruf), baik pada waktu sebelum datangnya ajaran Islam (di Jawa) maupun pada zaman Islam adalah sama. Antara lain orang masih memperhatikan musik atau nada. Tetapi keduanya tetap hanya dalam kata-kata belaka. Dengan kepergian hamba dari Majapahit dan meninggalkan semua yang hamba cintai, hamba tidak mencapai cita-cita hamba, hamba tidak mendapatkan obat”.



(5). Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan  suruping pati // wekasing ana-ora.


“Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mecari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada”



(6). Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi // hih ra Wujil kapo kamakara // tan samanya mangucape // lewih anuhun bendu // atinira taha nanagih // dening genging swakarya // kang sampun kalebu // tan pandhitane  wong dunya // yen adol warta tuku wartaning tulis // angur aja wahdata.


Sunan Wahdat tersenyum simpul, “Ah Wujil, betapa nakal kamu ini. Kau katakan hal-hal yang tidak lumrah. Kamu terlalu berani, sehingga ingin memperoleh imbalan untuk hal yang telah banyak kau lakukan untukku. Aku tidak layak disebut Maha Yogi , orang suci, di dunia ini, apabila aku mengharapkan imbalan bagi tulisan yang telah kuajarkan. Kiranya lebih layak jika aku tidak melakukan wahdat”.



(7). Kang adol warta atuku warti // kumisun kaya-kaya weruha // mangke ki andhe-andhene // awarna kadi kuntul // ana tapa sajroning warih // meneng tan kena obah // tingalipun terus // ambek sadu anon mangsa // lir antelu putihe putih ing jawi // ing jro kaworan rakta.


“Barangsiapa yang mengharapkan imbalan dalam mengajarkan tulisan-tulisan, ia hanya memuaskan dirinya sendiri. Seolah-olah ia tahu tentang segalanya dengan tepat. Orang macam itu dapat diibaratkan seperti seekor burung bangau yang bermenung di tepi danau. Si burung berdiam diri tidak bergerak, pandangannya angker. Ia sama dengan sebutir telur yang tampak putih (suci) di luar, tetapi didalamnya bercampur kuning”.



(8). Suruping arka aganti wengi // pun Wujil anuntumaken wreksa // badhiyang aneng dagane // patapane Sang Wiku // ujung tepining wahudadi // aran dhekah ing Benang // saha sunya samun // anggayang tan ana pala // boga anging jraking sagara nempuhi // parang rong asiluman.


Setelah matahari terbenam, hari menjadi malam, Wujil menyusun beberapa potong kayu dan membakarnya guna memanaskan tempat pemujaan Sang Pertapa, di tepi pantai yang disebut Benang yang sunyi sekali. Tempat itu gersang, tidak ada buah-buahan makanan apapun, hanya gelombang-gelombang laut yang memukul batu-batu karang, sangat menakutkan.



(9). Sang Ratu Wahdat lingira aris // Hih ra Wujil marengke den  enggal // trus den cekel kekucire // sarwi den elus-elus // tiniban sih ing sabda wadi // ra Wujil  rungokena // sasmita kateng sun // lamun sira kalebua // ing naraka ingsun dhewek angleboni // aja kang kaya sira.


Sunan Wahdat berkata dengan ramah, “Hai Wujil, kemarilah”. Maka Wujil pun dipegang kuncungnya; sebagai tanda kasih sayang, dibelainya kuncung Wujil. Kemudian Kanjeng Sunan mengucapkan kata-kata rahasia, “Wujil, dengarkanlah petunjukku. Jika karena kata-kataku kamu harus masuk neraka, maka akulah yang akan menggantikanmu masuk neraka, bukan kamu”.



(10). Sigra pun Wujil atur subakti // matur sira ing guru adimulya // sakalangkung panuwune // sampun rekeh pukulun // leheng dasih rekeh pun Wujil // manjinga ing naraka // pun Wujil sawegung // pan sami wruh ing kalinga // guru lan siswa tan asalayah kapti // kapti saekapraya.


Dengan sangat hormat Wujil menyembah seraya mengatakan terima kasihnya kepada Sang Mahayogi. “Bukan Paduka yang masuk neraka, biarlah hamba yang masuk”. Mengingat bahwa Wujil selalu tahu diri, maka Sang Mahayogi dengan siswanya itu tidak pernah berselisih faham, keduanya selalu seia dan sekata.



(11). Pengetisun ing sira ra Wujil // den yatna uripira neng dunya // ywa sumabaraneng gawe // kawruhana  den estu // sariranta pan dudu jati // kang jati dudu sira // sing sapa puniku // weruh rekeh  ing sarira // mangka sasat wruh sira maring Hyang Widi // iku marga utama.


“Ingat-ingatlah, Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di dunia ini. Jangan masa bodoh terhadap setiap tindakan. Dan sadarlah serta yakin, bahwa kau bukanlah Hyang Jati Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Hyang Jati Tunggal bukanlah engkau. Barangsiapa yang mengenal diri sendiri sekarang, seakan-akan ia mengenal Tuhan. Itulah jalan yang sebaik-baiknya”.



(12). Utamane sarira puniki // angawruhana jatining salat // sembah lawan pamujine // jatining salat iku // dudu ngisa tuwin magrib // sembayang aranika // wenange puniku // lamun ora nana salat // pan minangka kekembanging salat da’im // ingaran tatakrama.


“Jalan yang sebaik-baiknya bagi manusia adalah mengetahui hakekat shalat, menyembah dan memuji (berdzikir). Shalat yang sebenarnya bukanlah seperti shalat isyak atau maghrib. Shalat seperti itu disebut sembahyang, yang dilakukan seolah-olah,  shalat yang sebenarnya tidak ada dan sekedar kembangnya shalat daim, yang dinamakan tatakrama”.



(13). Endi ingaran sembah sejati // aja nembah yen tan katingalan // temahe kasor kulane // yen sira nora weruh // kang sinembah ing dunya iki // kadi anulup kaga // punglune den sawur // manuke mangsa kena’a // awekasan amangeran adam-sarpin // sembahe siya-siya.


“Manakah yang disebut sembahyang sebenarnya? Begini, kau tidak menyembah-memuja, jika kau tidak tahu kepada siapa; hal itu berakibat kau akan merendahkan dirimu sendiri. Jika kau tidak tahu kepada siapa kau menyembah di dunia ini, ibaratnya seperti kau menembak burung tanpa dengan bidikan, toh tidak mengenai burungnya; jadi pada hakekatnya kau menyembah kepada adam sarpin, sembahmu tiada memberi faidah”.



(14). Lan endi kang ingaranan puji // samya amuji dalu lan siyang // yen ora sarta wisike // tan sampurna kang laku // yen sirarsa weruh ing puji // den nyata ing sarira // panjing wetunipun // kang atuduh ananing  Hyang // panjing wetuning napas yogya kawruhi // suksma catur prakara.


“Dan manakah yang disebut puji (dzikir). Meskipun orang memuji (berdzikir) siang-malam, jika ia tidak pernah memperoleh petunjuk dari pemujaannya itu, tindakannya tidak akan sempurna. Jika kau kehendaki dzikir yang sesungguhnya, keluar-masuknya pada dasarnya ada pada diri kamu, yang menunjukkan adanya Tuhan, maka harus kau ketahui keluar-masuknya hayat, ada yang lewat pernafasan, yakni terjadi dari empat hal yang baik”.



(15). Catur  prakara anasirneki // bumi geni angin iku toya // samana duk panapele // sipate iku catur // kahar jalal jamal lan kamil // katrapan sipating Hyang // wowolu kehipun // lampahe punang sarira // manjing metu  yen metu ndi paraneki // yen manjing ndi pernahnya.


“Empat macam anasir itu adalah : tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut : kahar, jalal, jamal dan kamal yang menmgandung sifat-sifat Tuhan delapan macam. Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat-sifat itu masuk dan keluar. Jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di mana tempatnya?”



(16). Tuwa anom kang anasir bumi // lakune puniku kawruhana // yen atuwa ndi enome // lamun anom puniku // pundi rekeh tuwanireki // anasir geni ika // apes kuwatipun // yen kuwat endi apesnya // lamun apes pundi nggene kuwatneki // tan sampun kasapeksa.


“Anasir tanah menimbulkan adanya kedewasaan dan keremajaan. Sifat-sifatnya harus kau ketahui. Di manakah adanya keremajaan dalam kedewasaan, dan di manakah kedewasaan dalam keremajaan. Anasir api menimbulkan kelemahan dan kekuatan; di manakah adanya kekuatan dalam kelemahan? Itu harus kau ketahui”.



(17). Miwah ta rekeh anasir angin // lakune iku ana lan ora // yen ora pundi anane // lamun ana puniku // aneng endi oranineki // ingkang anasir toya // pejah gesangipun // yen urip pundi patinya // lamun mati ndi parane uripneki // sasar yen ora wruha.


“Sifat-sifat anasir angin mencakup ada dan tiada. Didalam tiada, dimanakah letaknya ada ? Didalam ada, dimanakah letaknya tiada ? Anasir air memiliki sifat mati dan hidup. Dimanakah adanya mati dalam hidup, dan kemanakah perginya hidup pada waktu mati? Kaum akan tersesat jika kamu tidak mengetahuinya”.



(18). Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.


“Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini”.



(19). Dipun weruh ing urip sejati // lir kurungan raraga sadaya // becik den wruhi manuke // rusak yen sira tan wruh // Hih ra Wujil salakuneki // iku mangsa dadiya // yen sira yun weruh // becikana kang sarira // awismaa ing enggon punang asepi // sampun kacakrabawa.


“Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya. Tubuh ini seluruhnya bagaikan sangkar. Akan lebih baik jika kau mengenal burungnya. Oh, Wujil, dengan tindakan-tindakn-Nya, kau akan jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui. Dan jika kau ingin mengenal-Nya, kau harus membersihkan dirimu. Tinggallah di suatu tempat sunyi, sepi dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini”



(20). Aja doh dera ngulati kawi // kawi iku nyata ing sarira // punang rat wus aneng kene // kang minangka pandulu // tresna jati sariraneki // siyang dalu den awas  // pandulunireku // punapa rekeh pracihna // kang nyateng sarira sakabehe iki // saking sipat pakarya.


“Jangan jauh-jauh kau mencari ajaran. Karena ajaran itu telah berada didalam dirimu sendiri. Bahkan seluruh dunia ini berada didalam dirimu sendiri. Maka jadikanlah dirimu cinta sejati, untuk dapat melihat dunia. Arahkanlah dengan tajam dan hening wajahmu kepadanya, baik siang maupun malam, karena apakah kenyataannya. Segala sesuatu yang tampak di sekeliling kita adalah akibat perbuatan”.



(21). Mapan rusak kajatinireki // dadine lawan kaarsanira // kang tan rusak den wruh mangke // sampurnaning pandulu // kang tan rusak anane iki // minangka tuduhing Hyang // sing wruh ing Hyang iku // mangka sembah pujinira // mapan awis kang wruha ujar puniki // dahat sipi nugraha.


“Akibat dari perbuatan ini, timbul kehancuran yang terjadi karena kehendakmu. Apa yang tidak mengalami kehancuran, harus kau ketahui, yakni pengetahuan yang sempurna, yang keadaannya tidak mengalami kehancuran. Pengetahuan itu meluas sampai kepada mengenal adanya Tuhan (Ma’rifat). Dengan mengenal Tuhan, maka akan menjadi bekal bagi seseorang untuk menyembah dan memuji-Nya. Namun tidak banyak orang yang mengenal kata itu. Siapa yang mampu mengenal-Nya, ia akan mendapat nugraha yang besar”.



(22). Sayogyane mangke sira  Wajil // den nyata sireng sariranira // yektya angayang temahe // raraganira iku // lamun Wujil dera lalisi // kang nyata ing sarira // solahe den besur // amurang raraganira // kang dadi tingal anging kainaneki // kang den liling nityasa.


“Sebaiknya kau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Nafsumu akan terlena jika kamu membalikkan punggung. Mereka yang tahu akan dirinya, hawa nafsunya tidak binal untuk menelusuri jalan yang salah. Oleh karena senantiasa melihat kelemahan dan selalu diamatinya”.



(23). Wujil kawruh ing sariraneki // iya iku nyataning pangeran // tan angling yen tan ana wadine // dene wasitanipun // ana malih  kang angyakteni // samya  luruh sarira // sabdane tanpa sung // amojok saking susanta // tanpa sung kaliru saking pernah neki // iku kang aran lampah.


“Oh, Wujil! Mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan. Dan orang yang mengenal Tuhan, ia tidak sembarang bicara, kecuali jika kata-katanya mempunyai maksud penting. Ada pula orang lain yang mengenal-Nya, mereka telah mencari dan menemukan dirinya. Mereka tahu, bahwa seseorang tidak boleh terpelanting diluar kehalusan, dan bahwa tidak boleh memilih tempat yang keliru. Demikianlah laku yang benar”.



(24). Pan nyata ananing Hyang aneng sih // ening kasucianing pangeran // ana ngaku kang wruh mangke // laksanane tan anut // raga sastra tan den gugoni // anglalisi subrata // kang sampun yekti wruh // anangkreti punang raga // paningale den wong-wong rahina wengi // tanpa sung agulinga.


“Oleh karena itu jelaslah, bahwa Tuhan beserta kesucian yang murni berada didalam kecintaan. Ada pula orang yang merasa mengenal Dia. Perilaku orang itu tidak sesuai dengan kaidah. Ia tidak patuh terhadap ajaran tentang (pengendalian) hawa nafsu, menyampingkan kehidupan yang saleh. Sesungguhnya orang yang mengenal Dia, ia akan mampu mengekang hawa nafsunya. Siang malam ia mengatur indera penglihatannya, dan dicegahnya untuk tidur”.



(25). Iku tapakane hi ra Wujil // tan bisa sira mateni raga // aja mung angrungu bae // den sayekti ing laku // ayun sarta lawan pandeling // yen karone wus nyata // panjing wetunipun // tan ana pakewuhira // tikeling pikulan saros samineki // beneh kang durung wikan.


“Kini, inilah dasarnya. Oh, Wujil. Kau harus mampu memampatkan (mengerem) hawa nafsumu, dan jangan hanya dibatasi pada indra pendengaran saja. Bersungguh-sungguhlah dalam tindakan, sesuaikan segala kemauan dan keyakinanmu. Kamu tidak akan menemukan kesulitan lagi. Apabila masuk dan keluar, keduanya telah jelas bagimu, usaha mematikan hawa nafsu seperti halnya kau potong seruas panjang bambu pikulan. Lain halnya dengan orang yang belum mengenal-Nya.”



(26). Kasompokan denira ningali // karane tan katon pan kaliwat // tanpa rah-arah rupane // tuwin si ananipun // mapan wartaning kang utami // yen ta ora enggona // pegat tingalipun // tingal jati kang sampurna // aningali nakirah yakti dumeling // kang sajatining rupa.


“Pengertian tentang hal ini sangat terbatas. Dia sama sekali tidak berbentuk, oleh karena Dia tidak tampak oleh orang biasa, tetapi Dia Ada. Sesungguhnya menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung. Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud yang sebenarnya”.



(27). Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan seng purbane // Wujil sampun tan emut // lamun anggung tinutur Wujil // nora na kawusannya // siyang lawan dalu // den rasani wong akathah // kitabipun upama perkutut adi // asring den karya pikat.


“Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya. Jangan kau lupakan selama-lamanya Wujil. Jika kita bicarakan tentang hal itu, tidak akan habis. Siang dan malam orang berbicara mengenai Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci seolah-olah merupakan burung perkutut yang bersuara merdu, yang kerap kali memikat orang lain kepada-Nya.”



(28). Raosana ing rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene // lewih wong meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // pan saosikipun // ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’ widya nampani // meneng muni den wikan.


“Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya, tetapi jika ia belum pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia. Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti pengetahuan. Maka pahamilah arti diam dan bicara.”



(29). Den wruh suruping meneng lan muni // yen tan wruha iku tanpa pala // sampun tan mesi enenge // yen muni away umung // kokila neng kanigara njrit // puniku saminira // nora tegesipun // yen ujar kang ginedhongan // sira Wujil aja kaya bisa angling // lingira kang sampurnan.


“Kamu harus tahu tentang hakekat diam dan bicara. Jika kau tidak mampu, semuanya tidak ada gunanya. Diam tidak boleh kosong dan bicara tidak boleh dengan suara hampa. Jika tidak demikian, orang berbuat seperti burung Beo, ia berteriak-teriak tanpa maksud di atas pohon kanigara. Jadi menurut perumpamaan rahasia, berbuatlah seperti kau bisu. Begitulah dikatakan oleh orang-orang yang telah sempurna”


(30).nDi rupane wong melek ing wengi // sampun kadi andha tingalira //  karoneku tanpa gawe // yen ora lan tinuntun // ing paningal ing hakul yakin // paran margane wruha // ing sariranipun // pangrungunisun saking a- // sale sampurna iku kalawan muni // tanpa sung yen menenga.


“Apakah faeahnya berjaga malam hari? Sebaliknya kau tidak boleh menutup mata seperti orang yang buta. Kedua-duanya tiada manfaatnya. Apabila seseorang tidak diberi petunjuk untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya, bagaimana mungkin bisa mengenal diri sendiri? Aku pernah mendengar bahwa kesempurnaan itu timbul karena berbicara. Oleh karena itu, orang tidak boleh diam”.



(31).Ora meneng ora muni Wujil // Hih ra Wujil atakona sira // kang ateki-teki kabeh // sembah puji den weruh // sembah akeh warnane malih // lingira sang utama // wong amuji iku // sanalika keh sawabnya // padha lan wong asembayang satus riris // yen weruh parantinya.


“Tetapi Wujil, begitu percaya, baik karena diam ataupun karena berbicara, kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Sebaliknya mengenai hal itu, bertanyalah kepada orang-orang yang shalih, Wujil. Harus kau ketahui juga, apakah memuji itu dan apakah shalat itu? Sebab banyak orang yang memuja. Seorang terkemuka mengatakan bahwa shalat satu rekaat banyak pengaruhnya. Shalat itu pada lahirnya sama dengan sembahyang seratus tahun, asal saja dapat memberikan arah tujuan yang tepat”.



(32). Kang sampun weruh parantineki // pujinipun iku nora pegat // nora kalawan wektune // wong agung lyan amuwus // padha lawan sawidak warsi // pan sampun amardika // purna raganipun // ing wektu tan kabandana // kapradana solahe aneng jro masjid // apindhah manuk baka.


“Barangsiapa yang mampu mengarahkan sembahyangnya dengan tepat, ia akan sembahyang secara terus menerus, bahkan pada waktu yang tidak ditentukan. Orang shaleh yang lain mengatakan, bahwa shalat seperti itu sama dengan shalat selama enam puluh tahun. Orang yang bersembahyang dengan cara yang tepat, ia telah bebas, tubuhnya sempurna dan tidak terikat oleh waktu-waktu yang telah ditentukan. Perilakunya didalam masjid merupakan contoh. Jadi sangat berbeda dengan sembahyangnya Burung bangau.”



(33). Tan kena pinaido ra Wujil // wuwusing nayaka dipaning rat // Wujil atakena mangke // ana muji ing dalu // ing rahina gung sawabneki // kalamun kena tata // ing sasaminipun // padha lan rowelas warsa // yogya wenang ra Wujil ataki-taki // sampun tan kapanggiha.


“Tidaklah mungkin, hai Wujil, untuk menghindari sabda dari Pemimpin Cahaya Dunia ini (yakni Nabi Muhammad saw). Kau bertanyalah tentang hal itu. Ada orang yang bersembahyang pada malam hari dan siang hari, sangat besar pengaruhnya dari sembahyang itu, asal saja dilakukan menurut kaidah. Shalat seperti itu adalah sama dengan shalat zhahir selama 12 (duabelas) tahun. Sangat diharapkan dan kau mampu melaksanakannya, Hai Wujil, dan bahwa kau akan berusaha hingga menemukannya”.



(34). Ana malih kang wong angabekti // sanalika gung sawabe ika // yen wikana ing tuduhe // padha rowelas tangsu // ingaranan tafakkur iki // yen meneng ndi parannya // takokena iku // sapa kang atuduh ika // unggah turuning meneng kalawan muni // iku dipun waspada.


“Ada beberapa orang yang hanya sebentar saja melakukan shalat, namun pengaruhnya(pahalanya) besar, asalkan diarahkan dengan sebaik-baiknya. Shalat ini, yang disebut tafakur (batin), adalah sama dengan shalat zhahir 12 (duabelas) tahun. Dan selanjutnya kau harus bertanya, kemanakah orang harus mengarahkan batinnya didalam berdiam diri? Siapa yang akan menerangkan kepada kita antara diam dan bicara? Itu harus kau ketahui”.



(35). Hih ra Wujil ing wong meneng  lewih // iku sembayang tanpa pegatan // iku nora na wektune // sampurna ta wong iku // raragane nora na kari // tekeng purisa turas // satuhuning laku // pagurokena den nyata // ing sira sang kawi-man sampurneng jati // wekasing duta tama.


“Bagi manusia, hai Wujil, diam adalah yang baik. Ialah shalat tanpa perantara, tanpa waktu. Orang seperti itu adalah orang yang sempurna. Dari tubuhnya, termasuk kotoran dan air kencing, tidak tersisa apa-apa lagi. Inilah perilaku yang utama. Maka berusahalah mendapatkan ajaran yang jelas pada seorang sastrawan Kawi, yang mengetahui benar-benar tentang Kebenaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw”.



(36). Aja nyembah hih sira Wujil // yen iku nora katon sawahnya // sembah puji tanpa gawe // pan kang Sinembah iku // aneng ngarsa wahya dumeling // ananta minangka a-// nanira kang agung // ananing dhawak pan sunya // iya iku enenge ing wong amuji // nyata kang sadya purba.


“Dan janganlah kau memuja, Wujil, jika tidak tahu kepada siapa. Karena pemujaanmu dan shalatmu tidak berfaedah. Lain halnya jika yang kau sembah ada di hadapanmu. Tetapi, karena Dia tidak pernah hadir di hadapan siapa pun juga, maka anggaplah kehadiranmu juga kehadiran Yang Maha Agung. Bahkan keadaanmu harus kau anggap tidak ada (Fana’). Itulah yang dinamakan Diam dari orang-orang yang tengah shalat, yang terbuka sumber kehendaknya dan sumber kekuatannya”.



(37). Lawan atakona sura malih // mapan awis kang sayaktanira // sakwehning punang punggawe // yen tan ingulah iku // pundi rekeh nggene kepanggih // kang aulah tan lepyan // iku wus atuduh // nugrahaning Jati-Wenang // kang tan molah atuduh dosanireki // keneng papa cetraka.


“Dan selanjutnya, tanyalah mengenai hal berikut, mengingat tidak setiap orang mengerti keadaan yang sebenarnya. Yaitu bagaimana semua tindakan bisa diselesaikan apabila tindakan itu tidak dikerjakan? Barangsiapa melakukan sesuatu, juga tanpa diselesaikan, sedangkan ia tidak melupakan Tuhan, tindakannya itu telah merupakan tanda, bahwa ia mendapat ampunan dari Yang Maha Kuasa. Siapa yang tidak bertindak untuk menyatakan dosanya, akan ditimpa oleh kemalangan dan kesengsaraan”.



(38). Lawan malih sira ta ra Wujil // atakona sajanining niyat // aja mungaken ciptane // kang anyipta anebut // dudu iku niyat sejati // ewuh kang aran niyat // sembah puji iku // tan wrung punan pangurakan // kang atampa dhendha kisas lawan jilid // ramya padu giliran.


“Selanjutnya, Wujil, kau harus bertanya tentang hakekat yang murni dari kemauan (niat). Orang tidak boleh membatasi kemauan (niat) sampai memikirkan sesuatu, baik memikirkan maupun menyebut sesuatu, adalah kemauan yang murni (Niat yang ikhlas). Tidak mudah untuk mengetahui apa yang disebut Kemauan (niat). Pemujaan dan shalat tidak mengenal hal-hal yang kasar, demikian juga tidak benci kepada orang-orang yang didenda, di-qishash dan dihukum jilid (hukuman karena perzinahan), juga kepada orang-orang yang selalu bertengkar”.



(39). Pangabaktine ikang utami // nora lan waktu sasolahira // punika mangka sembahe // meneng muni punika // sasolahe raganireki // tan simpang dadi sembah // tekeng wulunipun // tinja turas dadi sembah // iku ingaranan niyat kang sejati // puji tanpa pegatan.


 Persembahan bagi orang yang utama (sufi, ulama, kaum shalihin) tidak mengenal waktu. Semua gerak lakunya digunakan untuk sembahyang (ibadah). Sikap membisu, berbicara dan ulah gerak tubuhnya, bahkan bulu romanya, kotoran dan air kencingnya diperuntukkan sembahyangnya. Itulah yang dinamakan “niat” yang sejati..



 (40). Hih ra Wujil niyat iku luwih // saking amale punang akathah // nora basa swara reke // niyating pingil iku // kang gumelar nyananireki // sajatine kang niyat // nora niyatipun // nyataning pingil gumelar // niyating sembahyang nora bedaneki // lan niyat ambebegal.


“Niat (kemauan), hai Wujil, adalah lebih penting daripada perbuatan umumnya. Sebab kemauan (niat) itu tidak dapat dinyatakan dengan kata maupun suara. Kemauan (niat) untuk berbuat sesuatu merupakan ungkapan suatu pikiran. Kemauan (niat) untuk melakukan perbuatan ialah ungkapan perbuatan itu sendiri. Jadi, kemauan (niat) untuk shalat sama nilainya dengan kemauan (niat) untuk merampok”.



(41). Hih ra Wujil marmane wong sirik // kufur kinufuraken ing lafal // agunggungan sa-elmune // pijet-pinijet iku // aksarane asru den pidi // sawusing asembayang // magerib punika // rame samya kabarangan // awekasan malik kebyok lan kulambi // dhastar akuleweran.


“Oleh karena itu, hai Wujil, bagi manusia adalah sesuatu perbuatan syirik (kesesatan), yaitu saling kafir mengkafirkan sesama, punya anggapan bahwa kepandaiannya itu yang terpenting, – kepandaian – yang oleh orang-orang untuk saling meyakinkan (bahwa dirinya yang paling benar). Ia selalu berpegang teguh pada bunyi kata-kata (huruf)-nya. Dan sehabis shalat maghrib orang-orang biasa bertengkar mulut. Akhirnya saling pukul dengan baju dan ikat kepalanya (sorban) dilepas”



(42). Kepet kinepetaken ing masjid // awekasan padha pepurikan // asembahyang dhewek-dhewek // puniku palanipun // sirik gugon ujaring tulis // tan wruh jatining niyat // palaning wong bingung // lanang wadon padha ngrarah // angulati niyat kang sejati-jati // tan wruh ing dedalannya.


“Sorban itu digunakan untuk pukul memukul didalam masjid setelah mereka marah satu sama lain, dan bersembahyang sendiri-sendiri. Itulah hasil dari syirik (kesesatan), sebab menganggap bahwa kepandaian masing-masing adalah yang terpenting. Akibatnya, orang itu tidak mengerti kemauan yang murni (niat yang ikhlas). Laki-laki dan perempuan berusaha menemukan kemauan (niat) yang murni, tetapi tidak tahu jalannya”.



(43). Aningsetana raganireki // hih ra Wujil yen wus kabandana //aywah’keh ingucap mangke // ujar ngedohken kayun // angiyaken karsa pribadi // iku marganing sasar // nyanane kang den gung // angagungaken trebangan // tan wande yen trebangan den gawe undhi // dadi ababagelan.


“Kekanglah nafsu-nafsumu, hai Wujil. Setelah kau ikat nafsumu, janganlah terlalu banyak bicara. Kata-kata yang kau gunakan untuk menyatakan kehendak sendiri, serta untuk menegaskan bahwa pendapat sendiri yang benar, dapat menyeret ke arah kesesatan, akibat mendewa-dewakan pendapat sendiri. Maka orang itu berbuat tidak lain kecuali – bagaikan – memainkan rebana yang kemungkinan berakhir dengan saling melempar rebana (alat musik) tersebut”.



(44). Meh rahina Hyang aruna mijil // tatas wetan ndan Sang Ratu Wahdat // angling pun Wujil kinengken // Haih ra Wujil sun utus // mara sira ta den agelis // mara eng pawadonan // si Satpada iku // aglis kenen marengkeya // pun Wujil mangkat lampahira agelis // prapta mring pawadonan.


Saat itu siang hampir tiba, matahari yang terbit dari ufuk timur menjadi terang. Sunan Wahdat memerintahkan Wujil, “Hai Wujil, pergilan ke asrama (pondokan) putri dan panggillah Satpada”. Wujil cepat-cepat berlalu dan sampailah di asrama pondokan putri.



(45). Ling pun Wujil hih manira nini // ingutus angundang mareng tuwan // dening sang adi kang aken // ken Satpada amuwus // Hih ra Wujil punapa wadi // dening enjing ngandikan // maras atiningsun // tan wikan wadining lampah // lah mangkata Satpada dipun agelis // hyun-hyunen kang sinembah.


Berkatalah Wujil kepada Satpada, “Nona. Kanjeng Sunan menyuruh aku untuk memanggil kamu”. “Apa maksudnya, pagi-pagi begini memanggil aku? Aku jadi gemetar”, kata Satpada. Wujil : “Aku tidak tahu maksudnya. Pergilah segera  Satpada, Kanjeng Sunan menunggu kamu”.



(46). Mangkat Sartpada den tatakoni // Hih ra Wujil aja salah tampa // Ki Wujil sun atataken // punapa marganipun // oleh aran para Ki Wujil // pun Wujil angling ing tyas // iki wong asemu // patakonipun basaja // wadining basaja anopak ing wuri // liyen sun yen wruhi.


Satpada berangkat sambil bertanya kepada Wujil, “Maafkan aku wujil, mengapa kau bernama Wujil?”. Wujil berfikir didalam hati, bahwa wanita ini cerdik. Pertanyaannya lugu sederhana, tetapi di balik keluguan itu agaknya ada sesuatu yang terpendam. Ia menjawab, “Akan kukatakan mengapa, jika Anda tidak tahu”.



(47). Karane isun arane Wujil // nenggih kang aran kalawan rupa // datan ana prabedane // tan amindhoni laku // nem prakara rasaning jati // pan wus kajalajahan // dening sun pukulun // pun Satpada ‘smu kemengan // Hih ra Wujil dudu wijile wong mangkin // wijil ing Wilatikta.


“Mengapa aku bernama Wujil, begini : bahwa antara nama dan bentuk tidak ada bedanya. Aku tidak berhenti di tengah jalan karena telah kualami enam macam kebenaran, Nona”. Wajah Satpada menjadi kemerah-merahan, lalu berkata: “Wujil, Anda bukan orang pertama yang tiba ke sini, tetapi Anda berasal dari Majapahit”.



(48). Sigra pun Wujil Satpada prapti // alunguh ing ngarsa angabiwada // ingkang sudibya ataken // paran wartanireku // he Satpada duk prapta wingi // sira saking Jawana // pun Satpada matur // Dening rayi pakanira // Seh Malaya angraket wonten ing Pati // lamine sapta dina.


Wujil dan Satpada tiba di hadapan Sang Pertapa. Mereka duduk di hadapan Sang Pertapa setelah menyembah memberi hormat. Bertanya Sang Pertapa, “Apakah kabar yang kaubawa Satpada, sekembalimu dari Juwana”. Satpada jawab, “Ya Paduka, adik Paduka, Seh Malaya (Sunan Kalijaga), bermain topeng di kota Pati tujuh hari lamanya”.



(49). Sang Ratu Wahdat angandikani // Hih ra Wujil sira ‘glis ameta // satapatra dipen age // tan kawarna ‘glis rawuh // satapatra mangke tinulis // lawenipun sadaya // ingisen jronipun // rambuyut sinereng laya // aturena satapatra iku Wujil // ing yayi Seh Malaya.


Berkata Sang Ratu Wahdat kepada Wujil, “Wujil, kau ambil segera bunga teratai”. Wujil pun segera pergi. Tidak lama kemudian ia kembali membawa bunga; di atas kelopaknya ditulis surat. Dalam bunga itu, Sang Pertapa menyelipkan anting-anting berhias dengan Surengpati keramat. “Berikan bunga ini kepada adikku, Seh Malaya, Wujil”.



(50). Iki susumpinge wong acermin // wong angraket pantes anganggeya // pun Wujil ‘glis mangkat mangke // amit saha wotsantun // lampahira dhateng ing Pati // tan kawarnaeng marga // prapta lampahipun // atataken ing para desa // lamun ana wong anggagambuh linuwih // aran ki She Malaya.


“Ini adalah anting-anting untuk orang yang bermain sandiwara. Patut dikenakan oleh seorang penari topeng”. Setelah mohon diri seraya menyembah, Wujil berangkat ke Pati. Tidak diceritakan perjalanannya, tibalah ia di tempat yang dituju. Ia bertanya kepada  seorang desa, apakah mengetahui adanya pemain gambuh yang luar biasa, namanya Seh Malaya.


(51). Kang tinanyan tanggap anauri // singgih wonten  aran Seh Malaya // lagya angraket ing mangke // desa Wasana kidul // akeh punang aniningali // pun Wujil lampahira // tan asarag rawuh // Seh Malaya sampun wusan // denya ngraket pun Wujil prapta Wotsari // angaturaken patra.


Orang desa itu menjawab tegas, “Benar, ada seorang bernama Seh Malaya. Kini sedang menari topeng di desa Wasana, di sebelah selatan sana. Banyak orang yang melihatnya”. Wujil melanjutkan perjalanannya perlahan-lahan. Ia tiba di tempat Seh Malaya, saat pertunjukan baru saja selesai. Wujil menghampiri, menyembah dan menyampaikan surat.



(52). Satapatra tinampan tumuli // winedhar ing jro mesi kusuma // surengpati panggalange // Seh Malaya amuwus // mara sira ing punang Wujil // dahat dennya murwendah // kang sekar ambuyut // sinurengpati winingan // wohing saga rinawid lawan malathi // langkung sih sang sinembah.


Bunga teratai itu diterima oleh Seh Malaya. Segera dibukanya, dan didapatinya didalam bunga itu hiasan Surengpati . “Alangkah cantiknya bunga dengan hiasan Surengpati yang keramat ini. Sekuntum melati diselingi dengan biji saga. Sunan Bonang benar-benar sayang kepadaku”.



 (53). Punapa wadhining surengpati // awoh saga kuneng satapatra // ra Wujil paran karsane // pun Wujil awotsantun // matur Gusti nora  saweksi // Seh Malaya lingira // Hih ra Wujil semu // ne sang Sinuhun ing Murya // sagawe aso katarateyan Pati // entingning panarima.


“Apakah kiranya arti Surengpati? Biji-biji saja dimasukkan didalam bunga? Apakah yang dikehendaki Gustimu, hai Wujil?”. Sambil menyembah, Wujil menjawab, “Hamba tidak tahu, Gusti”. Seh Malaya berkata : “Hai Wujil, aku kira junjunganmu dari Muria mempunyai maksud begini, bahwa setiap perbuatan akan berakhir setelah mati, titik akhir dari penyerahan”.



(54). Punang tarate ingiling-iling // winaca sira sinuksmeng driya // punang thika sawiyose // tyas ruksa angga trenyuh // rujit dening raosing tulis // aglar punang sasmita // wirasan arja ‘lus // winelan-walen winaca // rarasing thika munya padha kakawin // kidung wekasing patra.


Tulisan di atas kelopak bunga teratai dibaca berulang-ulang, serta dicamkan didalam hati. Isinya mengharukan, hati Seh Malaya tersentuh karena banyaknya kiasan didalamnya; lagi pula susunan kata-katanya amat halus dan indah. Berulang-ulang dibacanya surat itu, yang diakhiri dengan penuh Jawa Kuna Aswalalita.



(55). Irika Acwalalita ta sang sumitra ri sedeng // mahas tekap ikang suwesma siwaya // taki-taki teng tutur-kwa huningan // ku masku rari yan kaka katawengan // pilih alupa ing sepet rari baliknya // harja katuturnya sewaka tular // trena lata rupa jar kwari sedheng // katiga wara dibya nungsung (ing) udan.


Penutup surat itu berbunyi sebagai berikut : “Selama adinda pergi meninggalkan rumah dan keluarga, aku harapkan agar adinda ingat kepada kata-kataku. Selanjutnya aku beritahukan kepada adinda, bahwa aku ingin sekali dapat bertemu dengan adinda, seperti tumbuh-tumbuhan mengharapkan hujan di musim kering”



(56). Kadi puspita asehen sari // dhuh sumitraningong // iwir bramarengsun tan polih rume // wonten puspita asehen sari // bramara ‘ngrerengih // arsa wruhing santun.


“Diriku ibarat kumbang, kawanku, yang tidak dapat memperoleh bau wangi dari bunga yang penuh dengan tepung sari. Aku sangat rindu bertemu dengan adinda, seperti kumbang yang merindukan bunga”.


(57). Punang tarate sampun winuning // mangke sinalah punang puspita // meneng anggrahiteng twase // pun Wujil awotsantun // paran marma meneng tanpa ‘ngling // kawula ‘rsa miharsa // wuwus kang minangun // sadalemning walapatra // wiyosing ling kang siniwi ing ki Wujil // donisun maring Mekah.


Setelah membaca teratai itu, Seh Malaya meletakkannya, kemudian duduk termenung. Wujil bertanya, “Mengapa Gusti berdiam diri? Hamba ingin juga mengetahui isi surat”. Seh Malaya berkata: “Gurumu mengutarakan tentang perjalanan yang kulakukan ke Mekah”.



(58) Pun Wujil sigra binakta mulih //mantuk sireng dhekeh Pagambiran // punang randha tumut kabeh // pun Wujil tan seng pungkur // tan kawarneng sopana prapti // wus adan kukurenan // pun Wujil ingutus // ananjak pareng akathah // wusing ananjak linorod maring puri // sampun sami anginang.


Selanjutnya Seh Malaya mengajak Wujil ke pondoknya di kampung Pegambiran. Banyak orang yang telah bercerai, janda, mengikutinya. Wujil berjalan paling belakang. Mereka tiba di pondok, dan mereka makan siang. Wujil diminta makan bersama-sama dengan orang banyak. Selesai makan, piring-piring diundurkan dan mereka mengunyah sirih.



(59). Suruping arka Seh Malaya ‘ngling // ra Wujil mbenjang yen sira pulang // matura salingku mangke // sampun rekeh kadulu // dhapur sabda tuturireki // satutur-tuturingwang // den katur punika // dipun katon saking sira // aja katon sabda saking isun Wujil // sa-kabisa-anira.


Setelah matahari terbenam, Seh Malaya berkata kepada Wujil, “Jika kau pulang besok, harus kau sampaikan kepada Gustimu, segala yang (akan) kukatakan. Tetapi utarakan dengan kata-katamu sendiri. Kau pasti bisa mengatakan seperti hal itu dengan kata-katamu sendiri. Jangan ketahuan bahwa itu kata-kataku, Wujil”.



(60). Karaningsun ra Wujil awali // maring Mekah wangsul ing Malaka // guru awangsul ing Pase // marmane kang sinuhun // wangsulira kinen abali // mara ing Nusa Jawa // kang akon awangsul // nenggih pawong-sanakira // pangeran Molana iku Maghribi // kang akon awangsula.


“Sebabnya, setelah aku pergi ke Mekah dan kembali ke Malaka lagi, sedang Guru besarku kembali ke Pasai. Seorang teman guruku menyarankan agar beliau kembali ke Jawa. Teman guruku itu bernama Maulana Maghribi.”



(61). Samana ‘ngling Molana Maghribi // singgih pakanira awangsula // nora’na ing Mekah rekeh // ing Mekah kulon iku // Mekah tiron wastanireki // watu ingkang kinarya // pangadhepanipun // Nabi Ibrahim akarya // Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir // lan tuwan awangsula.


Beginilah kata Maulana Maghribi, “Kembalilah, sebab apa yang Anda cari itu tidak Anda temukan di Makah. Mekah yang di barat itu dapat disebut Mekah palsu. Benda keramat yang ada di didalamnya adalah batu, yang dibuat oleh Nabi Ibrahim. Dan jika Anda meninggalkan tanah Jawa, maka tanah air ini menjadi kafir. Oleh karena itu, kembalilah”.



(62). Nora’na weruh ing Mekah iki // alit mila teka ing awayah // mangsa tekaeng parane // yen ana sangunipun // tekeng Mekah tur dadi Wali // sangunipun alarang // dahat dening ewuh // dudu srepi dudu dinar // sangunipun kang sura legaweng pati // sabar lila ing dunya.


“Tidak ada orang yang tahu, di mana Mekah yang sebenarnya, meskipun mereka memulai perjalanannya sejak muda hingga tua, mereka tidak akan mencapai tujuannya. Apabila orang mempunyai bekal perjalanan cukup, ia dapat sampai di Mekah untuk menjadi Wali. Tetapi bekal itu mahal, besar dan sukar diperoleh. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal itu adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan menjauhi kesenangan duniawi (zuhud)”.



(63). Masjid ing Mekah tulya ngideri // Ka’batullah punika ‘neng tengah // gumantung tanpa cecanthel // dinulu sakung ruhur // langit katon ing ngandhap iki // dinulu saking ngandhap // bumi aneng ruhur // tinon kulon katon wetan // tinon wetan katon kulon iku singgih // tingalnya awalesan.


“Didalam masjid di Mekah itu terdapat singgasana Tuhan (Ka’bah), yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa kaitan. Dan jika orang melihatnya dari atas, orang akan melihat langit di bawah. Apabila orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihatnya ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur, maka akan terlihat barat. Ini sungguh. Di sana pemandangan menjadi terbalik”.



(64). Tinon Kidul katon lor angrawit // tinon lor katon kidul asineng // pepeloking mrak samine // Ka’batullah puniku // lamun ana sembahyang siji // anging kawrat satunggal // yen roro tetelu // anging samono ambanya // yadyan wong salaksa kawrat iku singgih // tungkep rat pan kawawa.


“Jika orang melihat ke selatan, yang tampak ialah utara, indah. Dan jika melihat ke utara, nampak selatan, gemerlapan seperti (ekornya) burung merak. Apabila seseorang yang bersembahyang di Ka’batullah maka hanya ada ruangan cukup untuk satu orang itu. Jika ada dua atau tiga orang orang, maka ruangan itu juga hanya cukup untuk dua atau tiga orang itu. Akan tetapi jika terdapat 10.000 orang yang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka itu semua. Itu sungguh. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan di sana, akan tertampung juga”.



(65). Iku tuturingsun hih ra Wujil // tutur Wujil maring kang sinembah // katona saking awake // aja katon yen isun // yen atakon sang Mahamuni // mature : Sahur sembah // sembah ingkang katur // pun Wujil angabiwada // keras saking ngarsanira santri Wujil // lampahnya garawalan.


“Itulah Wujil, yang kusampaikan kepadamu. Katakanlah kepada Gustimu seperti kata-katamu sendiri, bukan kata-kataku. Dan sekiranya Kanjeng Sunan menanyakan dariku, katakanlah bahwa aku hanya menghaturkan sembahku”. Wujil menyembah, meninggalkan Seh Malaya dan segera berlalu.



(66). Datang kawarnaeng marga prapti // sang kaya lagya pindha niskala //  alinggih majeng mangilen // pun Wujil wruh ing semu // nora matur teka alinggih // prayanti kang sinaptan // pun Wujil wus emut // emut asewakeng nata // akit mila angawuleng sri bupati // nora beda mangkana.


Kita tidak membicarakan perjalanannya. Wujil tiba di Bonang ketika Sang Pertapa tengah bersemedi dan menganggap dirinya seakan-akan tidak ada, duduk menghadap ke barat (kiblat). Wujil yang tahu suasana, tidak segera membuka mulut, tetapi langsung duduk. Ia sabar menunggu, karena selalu ingat akan aturan saat mengabdi kepada Raja Majapahit dan ia berlaku seperti itu juga terhadap Sang Pertapa.



(67). Trehing karsa sinapa ra Wujil // bagya ra Wujil asarag prapta // stutinira matur mangke // saksana ‘glis umatur // tanpa ‘nggosthi sang pinaran ling // atur sembah kewala // sudibya anuhun // sawekase Seh Malaya // kang aksama denira sang Maha Muni // wruh wekasing wasita.


Setelah Sang Pertapa melepas semedinya, beliau berpaling kepada Wujil, dan berkata, “Selamat datang kau Wujil. Cepat benar kau kembali”, Wujil menyembah dan menjawab, “Gusti Malaya yang Paduka kirimi surat, tidak berpesan suatu apa. Hanya menyampaikan sembahnya”. Wujil pandai sekali melaksanakan pesan Seh Malaya, oleh karena itu Sang Pertapa memaafkannya. Beliau tahu diri dari bahasa.



(68). Wruhanira iku hih ra Wujil // pawong-sanakku ki Seh Malaya // saking Malaka wangsule // ing garage kadunung // amangun reh amanting ragi // ingaran Kalijaga // nggenira mangun kung // laminipun limang warsa // pinondhongan denira nateng  ngawanggi // marganira neng Demak.


“Ketahuilah Wujil, bahwa kawanku Seh Malaya, sekembalinya dari Malaka, bertempat tinggal di Cirebon. Ia menjalankan penyucian diri di sana selama lima tahun. Tempat ia melaksanakan penyucian bernama Kalijaga. Setelah itu, Raja Awanggi memanggilnya. Itulah sebabnya ia mempunyai rumah di Demak”.



(69). Wonten putrane ilang sasiki // lanang sudi (bya) manggeh ing tapa // angirangi pangan kule // yayah rena anapu // sampun gege maksih taruni // dadya rujit tyasira // marma tibra ‘nglamung // putra lunga tan sjarwa // manah lampus lunga angingkis ing wengi // rena dadya sungkawa.


Seorang putranya telah hilang, seorang anak yang cakap yang gemar bertapa dengan mengurangi makan dan tidur. Orang tuanya menghibur dia dengan kata-kata, “Janganlah kau tergesa-gesa. Usiamu masih muda”. Kata-kata itu justru menyebabkan hatinya sakit, akibatnya ia selalu nampak murung. Pada suatu malam, dengan hati yang hancur, anak itu diam-diam pergi tanpa pamit hingga menyebabkan orang tuanya bersedih hati.



(70). Marmane pawong-sanakku Wujil // asalin tapuk araraketan // wetning tresna ing anake // margane anggambuh // singa desa kang den leboni // tan etang sandhang pangan // wirang tan tinutur // Hih ra Wujil ing agesang // mapan ewuh mati sajroning aurip // awis kang lumabuha.


“Itulah sebabnya, Wujil, mengapa kawanku kemudian mengambil peran yang lain, dan justru sebagai penari topeng. Bahwa ia memilih menjadi penari sandiwara keliling, disebabkan amat besar cintanya kepada anaknya. Ia mengunjungi tiap—tiap desa (guna mencari anaknya), tanpa menghiraukan makan dan pakaian, dan tanpa memikirkan pula aib dirinya. Ah Wujil, dalam kehidupan ini, sukar untuk mati selagi masih hidup. Tidak banyak orang yang dapat melakukannya”.



(71). Pati patitising angabakti // nora etang Wujil wiwilangan // pan mulih maring jatine // yen ana ketang-ketung // yekti sira tan apapunggih // kalawan kang sinadya // yen sira’rsa temu // sirnakena raganira // yen sira wus atemu akaron kapti // kapti anunggal karsa.


“Mati merupakan kebaktian yang paling tepat, tiada lagi yang diperhitungkan atau diri, Oh Wujil, oleh karena orang kembali ke asalnya. Jika kau masih memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan Apa yang kau harapkan. Jika kau ingin menemukan-Nya, maka kau harus menghancurkan nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukan-Nya, maka kemauanmu akan manunggal dengan kemauan-Nya”



(72). Tunggal rupa saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira // tinunggal sarwi-sarwine // sampune tunggal iku // saha satya pati saurip // larangane tan ana // sandhang pangan iku // sakarsane tunggal karsa // wong sinihan tan kena andum amilih // cihna tinunggal karsa.


“Engkau akan manunggal dengan Dia; hanya nama saja yang berlainan. Engkau akan menjadi satu dalam rasa dengan Dia, dengan berbeda wujud. Dalam segala hal kau akan manunggal dengan Dia. Setelah manunggal serta kau serahkan mati dan hidupmu kepada-Nya, maka tidak ada larangan bagimu dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan kehendak-Nya. Orang yang telah diampuni tidak boleh memilih atau membagi (yakni membeda-bedakan dalam segala hal), sesuatu tanda tentang manunggalnya kehendak dengan Dia”.



(73). Punang kang sinung andum amilih // iya iku wong kang aneng jaba // nora weruh ing jerone // sembahipun den sawur // tan wruh rekeh ing dalem puri // anging warta kewala // kang ketang kadhatun // aja sira umung warta // warta iku anasaraken sajati // yen sira sisip tampa.


“Mereka yang masih memilih atau membagi ialah orang yang masih berada di luar; mereka tidak tahu isinya. Diarahkannya shalat ke tujuan yang tidak menentu. Karena ia tidak mengenal (Raja) didalam Kraton. Ia hanya mendengar-dengar saja tentang Dia. Baginya kratonnya yang utama, bukan Rajanya. Janganlah bertindak hanya berdasarkan pendengaran saja, karena jika kau salah mengerti maka kau akan kesasar”.



(74) Hi Satpada aglis amet cermin // mangkatpun Satpada aglis prapta // punang cermin katur mangke // sang guru lingnya muwus // Sandhakena ing kayu tangi // Wujil Satpada padha // angilowa iku // mangkat karo kang inangyan // pun Satpada angling kaca iki Wujil // ambane andhap sira.


“Hai Satpada, cepat kaum ambil cermin”. Satpada pergi dan segera kembali membawa cermin serta diserahkan kepada Gustinya. Sang Maha Guru berkata, “Gantungkan cermin ini pada pohon wungu itu. Kalian, Wujil dan Satpada, bercerminlah” Keduanya menjalankan perintah Gustinya, Satpada berkata : “Cermin ini lebih besar daripada Anda, Wujil”.



(75). Kawan kilan ambane kang cermin // paran dene amba punang kaca // ra Wujil lawan dedege // punang Wujil ingutus // angadega hih ra Wujil // sang kinon sampun mangkat // pun Wujil kadulu // kakar sakukuncitira // kadi rare wedana anjeruk wangi // dening sampun atuwa


“Cermin ini lebarnya empat jengkal, tetapi tinggal Wujil kalah besar”. Kemudian Wujil mendapat perintah : “Berdirilah kau di depan Cermin”. Wujil melakukan perintah dan tampaklah bayangannya sampai kuncung keriput seperti jeruk wangi, karena sudah tua.



(76). Pun Satpada angling hih ra Wujil // sira angadeg isun asila // paran dene padha mangke // lir rare yen dinulu // wadanane anjeruk wangi // mesem sang Adigarwa // ra Wujil sireku // amalesa dipun enggal // Uni enjing kawula lagi den sapih // dening pun ra Satpada.


Satpada berkata, “Wujil, kau berdiri dan aku duduk, tetapi kita sama besarnya. Anda tampak seperti anak-anak, tetapi berwajah penuh keriput seperti jeruk wangi”. Guru Besar yang agung tersenyum atasnya, “Wujil, kau harus membalas, cepat”. Wujil berkata, “Tadi pagi, baru saja hamba disindir oleh Satpada”.



(77). Pun Satpada ‘ngling angalesani // guguyone ra Wujil kakarsa // atutug pabanyole // sang sinuhun amuwus // siswa  kalih sinungan tuding // ra Wujil awasena // jroning kaca iku // karo sira si Satpada // ling pun Wujil puniki rupa kakalih // tan sah tinunggal karsa.


Satpada berkata sambil mencari alasan untuk menghindar, “Ejekan Wujil memang jitu dan lawakannya lucu”. Sang Maha Guru berkata kepada siswanya, “Wujil dan Satpada, lihatlah didalam cermin”. Wujil berkata, “Kami lihat didalam cermin ada dua bayangan, yang selalu berkemauan satu”.


(78). Pun Satpada ‘ngling hih kaki Wujil // karsaningsun lawan karsanira // pun endi rekeh tunggale // sira kalawan isun // mapan jalu kalawan istri // pundi tunggale ika // pun Wujil amuwus // nora beda ing jalu ka- // lawan istri pan sira tinunggal cermin // lir rupa ‘nang papreman.


Satpada berkata, “Apa Wujil, di manakah kemauan antara anda dan aku? Bukankah aku wanita dan anda laki-laki? Dimanakah kesatuannya?”. Jawab Wujil, “Tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, karena Anda dipersatukan dengan aku didalam cermin seperti dalam ranjang”.



(79). Pun Satpada nora  wruh tumuli // pundi tunggale gusti kawula // ra Wujil sasar idhepe // pun Wujil glis sumahur // Nora beda jalu myang istri //  kang aneng jro pahesan // tunggal rupanipun // lanang wadon yen wus tunggal // ing pahesan tan kocap jalu myang istri // pan iku rasa tunggal.


Satpada tidak segera dapat mengerti bagaimana manunggalnya antara Gusti-Kawula, sedangkan pendapat Wujil tidak benar. Wujil berkata, “Tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan yang berada didalam cermin. Kedunya mempunyai wajah yang sama. Jika kini lelaki dan perempuan didalam cermin menjadi satu, maka tidak ada persoalan lagi antara lelaki atau perempuan, karena mereka pada hakekatnya adalah satu”.



(80). Pun Satpada sira aglis aris // kalingane Wujil anjajawat // lir wong awulus rupane // ra Wujil glis sumahur // Nora nyana ujar puniki // pan sira salah tampa // mesem sang sinuhun // lah Wujil sira menenga // awasena rupa kanf aneng jro cermin // teka lunganing rupa.


Perlahan-lahan Satpada berkata, “Hai Wujil, mungkin anda menyindir soal asmara. Seperti halnya anda berbentuk normal”. Wujil menanggapi, “Bukan itu yang kumaksudkan. Anda salah faham”. Sang Maha Guru dengan senyum berkata, “Diam, Wujil, lihat bayangan didalam cermin, dan lihat datang dan perginya (bayangan itu)”.



(81). Rupa kang aneng sajroning cermin // lamun manjing punendi enggenya // yen lunga endi parane // hih ra Wujil sireku // angerana wurining cermin // ra Satpada ‘wasena // rupa roro iku // rupane si Wujil ika  // ingkang ana ing cermin  enggene mangkin // Ken Satpada kemengan.


“Bagaimana bayangan itu datang dalam cermin dan ke mana perginya jika bayangan itu menghilang? Berdirilah di belakang cermin, Wujil!”. Kepada Satpada, “Lihatlah kedua bayangan, bayanganmu dan bayangan Wujil yang tadi ada didalam cermin;  kemana bayangan Wujil sekarang?”. Satpada tidak segera mengerti dan berkata :



(82). Singgih pukulun rupa sawiji // pun Wujil wonten wurining kaca // nora katingal rupane // kang katingal pukulun // anging rupa kawula singgih // ra Satpada lungaha // anggonana iku // enggone si Wujil ika // Hih ra Wujil, metuwa sira den aglis // dulunen rupanira.


“Wahai Gusti, hanya ada satu bayangan. Wujil ada di belakang cermin, jadi bayangannya tidak tampak. Hanya bayangan hamba yang nampak”. Sang Maha Guru berkata kepada Satpada, “Pergilah dan berdirilah di tempat dimana Wujil sekarang berdiri”. Kepada Wujil, sang Guru berkata , “Pergilah dari tempatmu dan lihatlah bayanganmu”.



(83). Rupane pun Wujil den tingali // si Satpada Wujil ana ora // rupane iku samangke // ndan pun Wujil umatur // boten wonten rupaning isteri // anging rupa kahula // punuika pukulun // aneng ngendi si Satpada // ing rupane pun Wujil matur abakti // suhun sembah kahula.


Wujil melihat dalam cermin. Sang Maha Guru bertanya, “Melihatkah kau sekarang bayangan Satpada didalam cermin?”. Jawab Wujil, “Hamba tidak melihat bayangan seorang wanita dalam cermin, tetapi bayangan hamba sendiri”. Sang Maha Guru berkata, “Dimanakah bayangan Satpada?”  Wujil menjawab, “Hamba tidak tahu”.



(84). Pun Wujil matur asahur bakti // panggrahitaning kawula mindha // tunggaling roro karsane // orane ananipun // ananipun oranireki // Sang Guru adi lingira // unggahe lingiku // pun Wujil asahur sembah // tan kena munggah raos kadi uniki // anuhun pangandika.


Wujil melanjutkan dengan hormat, “Menurut pendapat seorang dungu seperti hamba, yang dimaksudkan oleh Gusti ialah Manunggalnya dua unsur : Ke-Tiada- -annya adalah  Ke-Ada-annya, dan Ke-Ada-annya adalah Ke-Tiada- -annya”. Sang Guru berkata, “Bagaimana penjelasanmu selanjutnya?”. Wujil sambil berdatang sembah, “Hal ini tidak dapat dijelaskan lagi. Apa pendapat Gusti?”.



(85). Sang Ratu Wahdat lingira aris // hih ra Wujil bener ujanira // samene iku unggahe // LA ILAHA puniku // amot Itsbat kalawan Nafi // Jatine ana-ora // iku tegesipun // Pangeran asipat ora // ing orane samput awit ananeki // anane’ku nakirah.


Sang Ratu Wahdat (Sunan Bonang) berkata perlahan-lahan, “Kau benar Wujil. Hal ini hanya dapat dibicarakan sampai di sini saja. La Ilaha meluputi Itsbat (konfirmasi) dan Nafi (negasi, penyangkalan), adalah ke-Ada-an dan ke-Tiada-an. Artinya : Hakekat dari Tuhan adalah Ketiadaan, dan didalam Ketiadaan-Nya itu Dia mulai Ada. Dan ADA-Nya itu disebut Nakirah (Ada Tuhan yang bersifat umum).  



(86). Nafi Nakirah lan Nafi Jinis // mapan iku jinising Pangeran // kang Nafi nyateng Itsbate // Nafi lan Itsbat iku // nora pisah pan ora tunggil // Nafi kalawan Itsbat // Nafi karoni pun // Nafi roro winaleran // dining ILLA karone tan kena manjing // maring lafal ILLA’LLAH.


Nafi Nakirah dan Nafi Jinis merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi (negasi) mengandung Itsbat (konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah, dan juga tidak manunggal. Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua macam Nafi (Nafi nakirah dan Nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh kata ILLA (pengecualian, pembatasan), dan tidak boleh (atau tidak dapat) masuk kedalam lafazh ILLA’LLAH.



(87). Hih ra Wujil kawruhana malih // kang Itsbat iku rekeh den nyata // atuduh marang Mutsbate // dalil kalawan mad-lul // iki rekeh saminireki // ingkang lafal ILLA’LLAH // Mutsbat aranipun // mutlak iku Ismu’llah // tan kena liyanena Pangeran kalih // anging lafal ILLA’LLAH.


“Selanjutnya kau harus tahu, Wujil, bahwa yang namanya Itsbat (pengakuan : Ke-Ada-anNya) harus memberi petunjuk yang jelas kepada Mutsbat-nya (segala sesuatu yang dianggap “Ada”), seperti suatu Dalil (petunjuk) terhadap Madlul-nya (yang ditunjuk). Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (Yang dianggap “Ada”), yakni secara mutlak merupakan Ismu’llah (Nama Pribadi Allah). Tuhan lain tidak boleh ditempatkan di samping-Nya. Hanya Dia Allah-lah rumus Illa’llah itu layak/tepat”.



(88). Hih ra Wujil eweh ujar iki // mapan eweh rekeh ing panarima // pan eweh lalabuhane // marmane wong puniku // kudon-kudon ujungan liring // sami amijet lafal // tartibe den lembut // bayan mani’ lawan sharaf // Nahwu den gulang-gulang rahina wengi // kawruh kandheg ing lafal.


“Baiklah Wujil, masalah ini memang sukar, susah dimengerti, dan juga sukar dijadikan pegangan. Itulah yang menyebabkan orang-orang saling bertengkar, karena keinginannya yang keras untuk meyakinkan orang lain. Mereka berpegang erat-erat pada hurufnya, mengikuti kaidah-kaidah mempelajarinya, bayan mani’, sharaf dan nahwu (tatabahasa). Akan tetapi pengetahuannya terhenti pada hurufnya”.



(89). Meh sumurup mangke sang hyang rawi // awatara tunggang ing acala // matur pun Wujil ndan linge // Singgih rekeh pukulun // wonten rekeh ngaturi ringgit // wesma ing pananggungan // wastane pun santun // tilikana panggungira // gebogane yen ala Wujil salini // noli konen aleksa.


Matahari hampir tenggelam, sudah berada di puncak gunung. Wujil berkata, “Ada orang yang akan memberi pertunjukan wayang. Ia tinggal di Penanggungan dan bernama si Sari”. Sang Pertapa berkata, “Lihatlah sebentar pentasnya. Jika batang pisanya tidak dapat digunakan lagi, harus kau ganti, dan sekalian suruhlah segera mulai”.



(90). Mantuk ing gedhong sang mahamuni // sampun atatalu kang awayang // saha nitir gegembinge // tan angangge pupucuk // dhalang Sari tumulya angringgit // angangge Bratayudha // ing kawitanipun // bikseka Sang Nateng Daha // kalaning amuja ‘ngglar palane dadi // ra  Aji Jayabaya.


Sang pertapa yang agung kembali ke kamarnya, dan pertunjukan wayang telah dimulai dengan talu terus menerus orang memukul gembing. Tidak dipertunjukkan permainan permulaan, dan Dalang si Sari telah mulai dengan Lakon Bratayudha. (syair ini) mulai dengan pujian terhadap Raja Daha. Tatkala Raja itu tenggelam dalam samadinya (meditasi) yang menyebabkan Raja itu diberi nama Jayabaya.



(91). Panerus tinggal tataning Nabi (tahun 1529) // sasangkala kawitan angripta // babakane pawayange // duk jawata tumurun // sang Narada Janaka nadwu // bagawan parasu kang // tumut ing salaku // laku sang nararya Kresna // sigra mijil saking gedhong kang siniwi // glis Seh Malaya teka.


Tulisan ini digubah dalam tahun Syaka 1529 (atau tahun 1607 M). Fragmen (adegan) yang dimainkan ialah turunnya Narada, Janaka dan Parasurama, yang akan mengikuti Kresna sebagai duta dari Pandawa ke Hastina. Sang Pertapa segera keluar dari kamar dan Seh Malaya segera datang juga.



(92). Sisya kakalih ingkang umiring // ken Lawungsalawe Wanakarta // katur sang adi tekane // ingaturan glis rawuh // sami sira sareng alinggih // ingaturan adhahar // tan arsa sang tamu // sang guru adi awasita // sun pariksa sampun tekeng Mekah yayi // Singgih sampun Pangeran.


Diikutinyalah oleh dua orang murid, Lawungsalawe dan Wanakarta. Kedatangan Seh Malaya diberitahukan kepada Sang Pertapa, oleh orang yang mempersilahkan tamunya. Setelah bertemu, mereka duduk bersama. Makanan dihidangkan, akan tetapi tamunya menolak. Sang Maha Guru berkata (setengah menyindir), “Seperti kuketahui, Dinda telah pergi ke Mekah, bukan?”. Jawab Tamu, “Benar, Pangeran, aku telah ke sana”.



(93). Kahula duk teka’ng Mekah singgih // amangun reh duk ing Kalijaga // ing Mekah liwat rusite // ombaking  sagara gung // jukung rekeh kang sun titihi // margane maring Mekah // toyane sumurup // palwa sumurup ing toya // maring bumi pandoman malim tan kari // malim saking jengira.


“Aku pergi ke Mekah waktu aku sedang bertapa di Kalijaga. Mekah sukar dicapai; gelombang-gelombang lautan amat besar, dan aku berada di atas perahu. Air dari jalan ke Mekah menggenangi (permukaan laut). Dan perahuku juga masuk kedalam air, bahkan kedalam bumi. Akan tetapi ajian sebagai kompas telah kumiliki, ajian yang kuperoleh dari Paduka”.



(94). Sampun liwat saking toya asin // prapteng sagara wedya awalikan // lir rat sangara ombake // gek gra nggurnita guntur // lindhu sayat belah kairing // wukir pating gulimpang // umumbul mring dhuwur // atarung ing awang-awang // surya wulan tan ana cahyanireki // kang lintang sumamburat.


“Setelah aku melintasi laut asin, aku sampai di padang pasir, yang ombaknya bergulung-gulung menggelora seakan-akan dunia ini akan kiamat. Gelombang-gelombang itu menggelegar gemuruh laksana gunung meletus, bumi berguncang-guncang, terbelah dan miring; gunung-gunung terguncang jauh dan melayang-layang di udara untuk saling berbenturan di sana. Matahari dan bulan tidak memancarkan cahayanya, sedangkan bintang-bintang bertebarann ke segala penjuru”.



(95). Duk liwat saking sagara wedhi // sagara geni mangka andungkap // kadi ndaru ombake // sindhung wukir kaguntur // agni rupa muntap lir thathit // kukusnya awalikan // gandhanya mis arung // ambune kadi sundawa // lir walirang sumuking geni awalik // lir gelap sasra laksa.


“Setelah aku melewati padang pasir, aku sampai pada lautan api, yang gelombang-gelombangnya seperti meteor (bintang jatuh). Karena angin yang kencang, gunung-gunung terlempar jauh. Gunungan-gunungan api menyala seperti kilatan halilintar. Asapnya beterbangan naik turun, mengeluarkan bau busuk dan tidak sedap seperti mesiu dibakar . Uap api berbau belerang, menggelegar bagaikan seribu, ya selaksa, halilintar bersama-sama”.



(96). Angin malim saking jengireki // datan sah kacekel aneng tangan // lulusing lampah tekane // liwat saking iriku // dennya ngaji basa alami // ewahing basa Mekah // tan sasaminipun // nora mambu tutulisan // marmanipun wong ngaji akeh kabali // pilih wong wruheng Mekah.


“Akan tetapi ajian yang kuterima dari Paduka, kugenggam selalu dalam tanganku, akibatnya perjalananku dikaruniai keberhasilan. Setelah aku melewati lauitan api (aku sampai di Mekah), dimana aku masih harus mempelajari bahasanya agak lama. Kesukaran dari bahasa Mekah tidak dapat diperbandingkan, karena tidak ada sedikitpun yang mirip tulisan. Itulah sebabnya banyak mahasiswa yang berhenti di tengah jalan. Tidak banyak orang yang mengenal Mekah”.



(97). Punang awayang babakanneki // kalane teka ing jajabelan // kinon awusana mangke // Seh Malaya winuwus // sigra mangke ingajak mulih // maring gedhong pasunyan // sisyane tan kantun // lawungsalawe kalawan // wanakarta katiga lawan ra Wujil // sami ababar-babar.


Permainan wayang sekarang sudah sampai pada bagian minta kembalinya separo negara. Waktu itu pertunjukan selesai. Seh Malaya diajak oleh Sang Pertapa masuk kedalam sanggar pamujan (tempat bersemedi); para siswa juga mengikuti: Lawungsalawe, Wanakarta dan ketiga si Wujil. Mereka akan bertukar pikiran.



(98). Sasampunira sami alinggih // Hih yayi Malaya nedha padha // winicara iki mangke // punang awayang wahu // lalakone punang angringgit // angangge Kresna Duta // semune ki empu // nedha sami winicara // sinemoke Agama Islam puniki // padha turuna sabda.


Setelah semua duduk, Sang Pertapa berkata, “Adinda Malaya, marilah kita membicarakan kembali pertunjukan wayang yang baru saja dimainkan. Lakon yang telah dipilih adalah Kresna Duta (Kresna sebagai utusan). Marilah kita berbicara tentang maksud yang terdalam dari penggubah syair, hubungannya dengan Agama Islam. Keluarkanlah pendapat kalian masing-masing”.



(99). Seh Malaya sahur sembah angling // datan wikan patemoning basa // arab kalawan jawane // aksara ‘rab pukulun // boten bisa sisya kakalih // tan asawala karsa // ing aturireku // sang Ratu Wahdat lingira // pasemone Nafi Isbat iku yayi // wayang tengen lan kiwa.


Seh Malaya berkata sambil menyembah, “Aku tidak dapat menghubungkan persoalan Jawa dengan agama Islam. Juga karena kedua muridku tidak mengenal sastra arab. Mereka hanya mengikuti pendapat Paduka”. Sunan  Wahdat berkata, “Wayang yang ada di sebelah kiri dan kanan merupakan perlambang (ibarat) dari Nafi – Itsbat, Adindaku”.



(100). Kang kiwa puniku maring Nafi // kang tengen puniku maring Itsbat // pandhawa maring Nafine // Itsbat karowa ikut // Itsbat iku pan asal Nafi // Nafi pan asal Itsbat // mutsbat kang den rebut // Kresna kang dadi pahesan // Kresna kaca pahesaning ringgit kalih // kalah menang ing kaca.


“Wayang-wayang di sebelah kiri mewakili Nafi, di sebelah kanan mewakili Itsbat. Para Pandawa memerankan Nafi, para Korawa memerankan Itsbat. Timbulnya Nafi disebabkan oleh Itsbat, akan tetapi juga sebaliknya (timbulnya Itsbat disebabkan oleh Nafi). Sekarang mereka berperang memperebutkan Mutsbat, sedangkan Kresna pegang peranan sebagai cermin dari kedua belah pihak. Menang atau kalah tergantung dari cermin itu”.



(101). Mulaneku arebat nagari // iya Mutsbat iku kang den rebat // mulane perang dadine // nagara kang den rebat // Korawandra rebut nagari // lan jenenging Pandhawa // iku semunipun // mulane wong asawala // Nafi-Itsbat kang den rebut iku yayi // ing mangke tekeng kina.


“Perebutan negara adalah sama dengan perebutan Mutsbat antara Nafi dan Itsbat. Peperangan berebut antara Pandawa dan Korawa dapat disamakan dengan perebutan Mutsbat. Maka sejak dahulu hingga sekarang manusia berperang, tidak lain, untuk keperluan Nafi-Itsbat”



(102). Mapan angeling ujar puniku // nora kena ngukuhi aksara // kang aksara kadadine // dadining nyana iku // nyana nora amung sawiji // nyana awarna-warna // dadine kapahung // akeh anyembah ing nyana // paksa hresthi sarira bisa angaji // ujare nyananira.


“Persoalan ini sangat sukar. Orang tidak boleh berpegang teguh pada aksaranya (huruf, ajaran yang tertulis). Karena lahirnya aksara itu berkat adanya Faham (= nyana, gagasan, dugaan). Dan tidak ada satu faham, akan tetapi banyak faham, hal mana menyeret ke arah kesesatan, karena banyak orang yang mendewa-dewakan fahamnya. Orang sudah merasa senang, menyadari bahwa dia sudah dapat mengaji (membaca Al-Qur’an, kitab atau buku lainnya), akan tetapi itu adalah bisikan dari faham kita”.



(103). Yen sira ‘yun yayi  wruhing wadi // ujar iku anduluwa surya // hih yayi paran rupane // sampun ta kakduk semu // padha pisan dennya aningali // atining wuluh wungwang // ilir gigiring punglu // sanepa purusing ayam // kuda ‘ngrap ing pandengan punika yayi // kembang lo tanpa wigar.


“Jika ingin mengerti persoalannya, Adinda, lihatlah wajah Dinda sendiri (yaitu melihat diri sendiri). Bagaimana rupa-bentuknya? Jangan membuat banyak komentar. Dinda harus melihat tengah-tengahnya bambu yang terbuka kedua ujungnya; atau melihat garis punggung peluru; atau melihat anggota rahasia seekor ayam jantan; atau melihat seekor kuda yang berlari kencang, sedangkan binatang itu tetap berdiri di bawah atap; atau melihat bunga Lo, yang tidak pernah layu”.



(104). Mereneya yayi den agelis // isun kangen yayi maring sira // apepekulan karone // susu adu lan susu // netra karna grana pan sami // suku lan suku padha // Sang Ratu amuwus // maring sira Seh Malaya // padha merem aja ’na winalang ati // sakedhap tekeng Mekah.


“Kemarilah, Dinda, aku telah menantimu sejak lama”. Keduanya saling berpelukan, dada beradu dada, muka beradu muka, kaki beradu kaki, Kanjeng Sunan Bonang berkata kepada Seh Malaya, “Mari kita memejamkan mata dan jangan ragu”. Dan sekonyong-konyong mereka berdua sampai di Mekah.