Social Bar

Popunder

Showing posts with label Sejarah Nusantara. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Nusantara. Show all posts

Thursday, November 20, 2025

Kisah Kadilangu dan Sadyakala ning Majapahit (Bhre Lasem)

 Kisah Kadilangu dan Sadyakala ning Majapahit (Bhre Lasem)






Lasem mempunyai dua pelabuhan, regol di timur dan kairingan di barat. Penguasa (Bhre) Lasem adalah adik Hayam Wuruk yaitu Rajasa Duhita Indudewi bersuamikan Bhre Metahun Pangeran Sumana yang bergelar Rajasawardhana. Babad Lasem menyebut keduanya berputra Pangeran Badrawardhana berputra Pangeran Wijayabadra berputra Pangeran Badranala berputra Wirabaja dan Santi Badra. Santi Badra berputra Santi Kusuma atau Pangeran Sahid. Nama terakhir yang dikenal dengan sebutan Panembahan Kadilangu atau Sunan Kalijaga ini adalah keturunan langsung dari Bhre Lasem. 


Kenapa Sunan Kalijaga sering dipahami berasal dari Tuban? Masalah berpangkal dari ayah Sunan Kalijaga, Santi Badra yang dikenal dengan sebutan Tumenggung Wilwatikta menikah dengan Putri Sukati, anak perempuan Arya Adikara dari Tuban yang tidak lain adalah Syekh Bejagung asal Champa. Adik putri Sukati yaitu Raden Ayu Teja yang menikah dengan Syekh Abdurahman atau Arya Teja kemungkinan menguasai pelabuhan Lasem timur yaitu pelabuhan regol yang otomatis dipegang pihak Tuban. Adapun Adipati Lasem dipegang oleh kakak dari ayah Sunan Kalijaga yaitu Pangeran Wirabraja sedangkan Santi Badra menjadi Syahbandar atau Dhang Puhawang pelabuhan Lasem barat di Kairingan. 


Adipati Lasem Pangeran Wirabraja menikah dengan Nyai Maloka putri Sunan Ampel menurunkan Pangeran Wiranegara yang menggantikannya sebagai Adipati Lasem. Nyai Solikhah putri Pangeran Wiranegara dijodohkan dengan Jin Bun yang dikenal sebagai bajak laut dari Teluk Menco yang banyak ditumbuhi tanaman glagah yang berbau langu. Santi Kusuma berhasil menaklukan sang bajak laut Jin Bun dan menjadikanya seorang bintara. Santi Kusuma selanjutnya dikenal dengan sebutan Panembahan Glagah Langu. Kelak Glagah Langu mengalami penghalusan kata menjadi Glagah Wangi sedangkan Panembahan Glagah Langu menjadi Kadilangu (Apakah terkait dg jabatannya sebagai Kadi atau penghulu masjid Demak?) 


Ketika Pangeran Wiranagara (ayah mertua Jin Bun) wafat jabatan Adipati Lasem digantikan oleh istrinya, Nyai Malokah yang mengangkat adiknya, Raden Makdum Ibrahim untuk membantu memimpin Lasem sambil menyebarkan islam di Bonang Binangun yang kelak dikenal dengan Sunan Bonang yang terhitung sebagai paman dari Jin Bun. 


Ketika Pangeran Santibadra dipanggil ke Keraton Majapahit untuk menjalankan tugas negara selama 10 tahun lamanya, jabatan Dhang Puhawang di Lasem diserahkan kepada putra sulungnya, yaitu Pangeran Santi Puspa, kakak dari Santi Kusuma (Sunan Kalijaga). Walaupun jabatan Adipati Lasem dipegang oleh Nyai Malokah, namun dalam praktiknya Pangeran Santi Puspa yang memiliki pengaruh kuat dalam menjalankan roda pemerintahan di Lasem. 


Ketika Nyai Malokah wafat, maka jabatan Adipati Lasem secara otomatis diambil alih oleh kakak Kalihaga yaitu Pangeran Santi Puspa. Setelah Pangeran Santi Puspa menjabat sebagai Adipati Lasem, Sunan Bonang kembali ke Tuban. Sementara Santi Kusuma belajar agama islam kepada kakek dari ibu di Tuban yaitu Sunan Bejagung yang memberinya nama islam Pangeran Sahid. 


Sepertinya Demak membangun kekerabatan dengan keluarga Lasem (Pangeran Wiranegara) dan Tuban (Arya Adikara) selain tentunya dengan Tidunan (Pate Orub) dan Jepara (Pate Onus) serta berbagi kekuasaan bersama dengan tetap membangun relasi positif dengan Gresik (Sunan Giri) dan Ampel (Sunan Ampel) di Surabaya. Sedikit demi sedikit kelompok muslim ini melakukan penetrasi budaya pesisir-egaliter ke pedalaman yang mengalami involusi dan pembusukan budaya dari dalam. 



Babad Lasem menceritakan keadaan Majapahit sebelum kehancurannya : 


"Pelangi Majapahit berubah suram, keterkenalan, kharisma para pejabat dan wibawa raja berangsung berkurang, pemerintahan semrawut ruwet, gonjang-ganjing, pejabat pemerintahan tidak ada yang hatinya tentram, saling memfitnah. Rakyat kecil semua prihatin, mengalami kekurangan pangan, kesusahan karena maling, begal, pembunuhan merajalela pada malam hari, sangat menghawatirkan. Banyak pejabat yang tidak mau memikirkan penderitaa rakyat, yang ada hanyalah mengumbarkan kemurkaan, kesenangan, main, madat, main perempuan, makan enak sambil bebas membangun rumah megah sehingga menebang pohon-pohon besar yang berakibat pada banjir besar dan bobolnya tanggul sungai berantas yang memenuhi tegalan, sawah dan tanah pedesaan dengan air bah yang tidak mudah dipulihkan" 


Labad Lasem menceritakan secara detail serangan Girindrawardhana yang menganut ajaran Hindu Trantayana ke Majapahit. Patih Kertadinaya yang menganut agama Rasul dan Tumenggung Warak Jabon yang menganut Tatrayana tidak sanggup menahan serbuan Girindrawardhana. Bhre Kertabumi meloloskan diri dengan menyamar sebagai sramana budha, berkepala gundul, mengenakan jubah  kuning meninggalkan Majapahit diam-diam tetapi tidak disebutkan kemana arah tujuan kepergiannya. Adapun Santi Badra pulang kembali ke Lasem dengan menyamar sebagai santri islam. Dari uraian ini diketahui bahwa para tokoh agama Majapahit dilindungi dari hukum perang sehingga bebas meninggalkan medan laga yang merupakan wilayah para ksatria. 


Babad Lasem menyebutkan dua tokoh pembesar agama Budha yaitu Dang Hyang Asthapaka yang berasal dari Champa dan tinggal di Taman Banjar Mlathi Lasem yang telah meramalkan akan kejatuhan Majapahit akibat merosotnya moral pejabat Majapahit. Bersama koleganya Dang Hyang Nirartha kedua pendeta ini dikenal sebagai pembaharu moralitas masyarakat Majapahit, tetapi realitas kehidupan politik berjalan sebaliiknya. Babad Dalem mengisahkan pasca prahara di Majapahit Dang Hyang Nirartha berlayar ke Bali mendarat di desa Kapurancak pada 1489 di era pemerintahan Dyah Ranawijaya. 


Babad Lasem mengsahkan serangan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang menyebabkan banyak penduduk yang disiksa dan dibunuh, mereka mencari persembunyian dan perlindungan di pusat-pusat pendidikan islam. Serangan ke Mahapahit ini titi balik sejarah perkembangan pondok-pondok pesantren yang tumbuh pesat menggantikan wanasrama-mandala, kedewaguruan dan keresiyan yang telah eksis sebelumnya. 


Babad Lasem juga mengisahkan banyaknya penduduk Majapahit yang memeluk agama islam secara sukareka karena agama "pesisir" ini dianggap lebih simpel dan tidak memberatkan pelakunya. 


"Sebab pranatan lan sipate agama anyar sing lagi sumebar kuwi: "ora kakehan ragad, ora kakegan sajen, ora kakegan puja mantra sing nglantur dawa, ora kakehan leladi bekti marang dewa-dewa, ora ana  tata cara sing ngrekasakake raga, mbrasta kasta lan nyuwak panglengkara, sayuk rukun nglungguhi tata krama." 


Dikisahkan sesampainya di Lasem, Santi Badra menjadi Brahmana sampai akhir hidupnya mengajarkan ilmu Indriya Pra Asta kepada para pendeta Kanung dengan menciptakan buku pegangan "Pustaka Sabda Badrasy" yang mengajarkan kedamaian hidup. Beliau menghabiskan sisa usianya dengan bertapa di gunung Argopura sampai wafatnya pada 1449 Saka atau 1527 M. Dan Sunan Kalijaga menjadi saksi peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak dengan menjaga keselarasan ajaran lama dan ajaran baru, sesuai namanya yang menjaga dua arus sungai.






‎SILSILAH SUNAN PAKUBUWANA II ‎(Dari Trah Sunan Kudus)

 ‎SILSILAH SUNAN PAKUBUWANA II

‎(Dari Trah Sunan Kudus)




‎A. Sèh Jumadil Kubra

‎Syech Jumadil Qubra menikah dengan :

‎I. Nama Siti Patimah Kamarumi, putri  Sultan Ngabdul Hamid  ing nagara Ngêrum, menurunkan :

‎1. Maulana Sultan Tajudin Ahmadil Kubra Kalifatul Nurul Mulki, ing nagara Mêkah.

‎2. Maulana Sultan Mukyadin Mukhamadil Kubra Kalifatul Mulki iya ing nagara Mêkah.

‎3. Siti Rakimah, krama olèh Sultan Mahmud, ing nagara Ngêrum.

‎4. Maulana Abu Amat Iskak Imamul Pasi, dadi imam pase ana tanah Malaka.

‎5. Maulana Abu Ngali Ibrahim, (Maulana Ibrahim Asmara)

‎6. Siti Thobiroh

‎II. Nama Siti Patimah Makhawi, putri Sèh Jakpar Sadik, ing nagara Mêkah, menurunkan:

‎1. Sèh Samsudin.

‎2. Sèh Samsuta Baris.

‎3. Sèh Ngarif, krama olèh Siti Murtasiyah.

‎4. Sèh Rasid.

‎5. Sèh Kasan Ngali.

‎6. Sèh Kasan Bêsari.

‎7. Sèh Ibrahim Astari.

‎8. Sèh Ngabdulah Ansari.

‎9. Siti Jenab, krama olèh Sèh Iskak Ibnu Junèt.

‎10. Sèh Ngabdulah Asngari.

‎11. Sèh Mustah

‎12. Sèh Kaltum.

‎13. Sèh Subli.

‎14. Sèh Ngulwi.

‎15. Sèh Katim.

‎16. Siti Katimah.

‎B. Maulana Ibrahim Asmara

‎Maulana Ngabdul Ngali Ibrahim awalnya bertempat tinggal di Jeddah kemudian pindah ke Campa, dan menjadi Iman di daerah Asmara hingga dikenal dengan nama Maulana Ibrahim asmara.

‎Beliau memiliki dua istri :

‎I. Garwa sêpuh , Siti Sarifah menikah ketika di Jeddah menurunkan :

‎1. Sayid Ngaliyil Gebar.

‎2. Sayid Khasan Asngadi.

‎3. Sayid Samadingari.

‎4. Sayid Ngalinakit,

‎II. Garwa kedua, Dewi Sasanawati, Putri Raja Kiyan dari nagari Campa.

‎Dewi Sasanawati memiliki kakak yang dinikahi oleh Prabu Brawijaya V dari Negeri Majapahit yang bernama Dewi Andharawati

‎Ketika Raja Kiyan wafat, Maulana Ibrahim Asmara diangkat menjadi Raja dinegeri Campa dengan gelar Sultan Sirajjudin.

‎Menurunkan :

‎1. Sayid Ngali Murtala , tinggal di Tanah Jawa ing Garêsik, bergelar Raja Pandhita Ngali Murtala, menikah dengan putri Arya Baribin, ing Madura, menikah lagi dengan putri Arya Teja ing Tuban.

‎2. Sayid Ngali Rahmat, dadi wali ajêjuluk Sunan Katib, adêdalêm ana ing Ngampèldênta, tanah Surabaya kemudia dikenal dengan nama Sunan Ngampèldênta.

‎C. Sunan Katib, ing Ngampèldênta

‎Sunan Ngampeldenta memiliki dua istri dan satu garwa selir:

‎I. Nyai Agêng Bela, putri Arya Danu, ing nagara Majapait, keponakan  Arya Teja ing Tuban. Menurunkan :

‎1. Ratu Fatimah, menikah dengan Pangeran Ibrahim, ing Karang kemuning tanah Japara, setelah suaminya wafat Ratu Fatimah bertapa di Gunung Manyura, kemudian dinikah  olèh Kalifah Kusèn, putran Sèh Wadi ing Jeddah, Nyai Agêng Manyura kemudian tinggal di  Ngampèldênta

‎2. Nyai Agêng Ratu, menikah dengan Pangeran Kalipah, kang jumênêng Sunan Ratu, adêdalêm ing Girigajah kadhaton, Sunan Ratu adalah putra Sèh Iskak atau Sèh Walilanang, Sèh Walilanang putra Maolana Abu Amat Iskak , Maulana Abu Amat Iskak  putra  Sèh Jumadil Kubra.

‎II. Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja ing Tuban, menurunkan:

‎1. Ratu Jumantên, menikah dengan Sultan ing nagara Dêmak Bintoro . Ratu Jumantên  bergelar  Ratu Panggung.

‎2. Ratu Jumêrut, menikah dengan Kyai Ageng bata putra  Arya Pamot ing Tuban, Ratu Jumêrut kemudian bernama Nyai Agêng Tuban.

‎3. Ratu Wêrdi,  bergelar Ratu Mas Taluki, krama olèh Pangeran Kalipah Kaji Ngusman, putra  Raja Pandhita Ngali Murtala ing Garêsik, Pangeran Kalipah Kaji Ngusman,kemudian  bertempat tinggal ing Pulau Moloko, Ratu Mas Taluki berganti gelar nama Nyai Agêng Moloko, kemudian pindah bertempat tinggal ing Tuban, bertapa di Gunung Danaraja.

‎4. Ratu Wilis, bergelar Ratu Mas Saruni, krama olèh Pangeran Kalipah Nuraga, adik Pangeran Kalipah Kaji Ngusman, ketika Pangeran Kalipah Nuraga tinggal di Tandhês, Ratu Mas Saruni kasêbut nama Nyai Agêng Tandhês.

‎5. Pangeran Makdum Ibrahim, nama Sunan Wadat Anyakrakusuma, bertempat tinggal  ing Bonang, bergelar Sunan Bonang.

‎6. Pangeran Musakèh Mukhamad, nama Sunan Mufti, bertempat tinggal di Darajat, bergelar  nama Sunan Derajat , bertempat tinggal di Cirebon hingga wafatnya.

‎III Garwa selir

‎Dari Garwa Selir menurunkan:

‎1. Sèh Sahmut, nama Pangeran Tumras, adêdalêm ing Sapanjang, kasêbut nama Pangeran Sapanjang.

‎2. Sèh Kanjah, nama Pangeran Tumampêl, adêdalêm ing Lamongan, kasêbut nama Pangeran Lamongan.

‎3. Sèh Randhêh, nama Pangeran Orang Ayu, adêdalêm ana ing Wanakrama, kasêbut nama Pangeran Wanakrama.

‎4. Nyai Agêng Mandara.

‎5. Nyai Agêng Amadarum.

‎6. Nyai Agêng Suwiyah.

‎D. Nyai Agêng Manyura

‎Menurunkan:

‎1. Nyai Agêng Sampang, menikah dengan Kyai Agêng Sampang, putra  Lêmbupêtêng ing Madura.

‎2. Nyai Agêng Manyuran, krama olèh Sunan Ngudung, putra Kalifah Kusèn dari putrinya Arya Baribin, ing Madura, 

‎3. Pangeran Manyura.

‎E. Nyai Agêng Manyuran

‎Menurunkan : 

‎1. Sunan Kudus.

‎F. Sunan Kudus

‎Sunan Kudus menikah tiga kali :

‎I. Putrane Kyai Agêng Kalipodhang,

‎II. Putrane Adipati Têrung,

‎III. Putrane Adipati Kêndhuruan, pêputra wolu:

‎I. Menikah dengan putri Kyai Kalipodhang:

‎Menurunkan:

‎1. Nyai Agêng Pambayun.

‎2. Panêmbahan Kali, bertempat tinggal ing Păncawati, Dêmak, bergelar Panêmbahan Păncawati, setelah Sunan kudus beliau menggantikan kedudukannya bergelar Panêmbahan Kudus.

‎3. Pangeran Pakaos

‎4. Pangeran Gêgênêng,

‎II. Menikah dengan putri Adipati Têrung:

‎Menurunkan:

‎1. Pangeran Palembang.

‎III. Menikah dengan putri Adipati Kêndhuruan

‎Menurunkan:

‎1. Ratu Makoja, nama Ratu Sakosar, menikah dengan Pangeran Silarong.

‎2. Adipati Sujaka.

‎3. Pangeran Prada Binabar.

‎G. Panêmbahan Kudus

‎Menikah dengan trah Giri menurunkan:

‎1. Pangeran Kudus.

‎2. Pangeran Dêmang, sumare ing Kadhiri.

‎3. Radèn Ayu Panêmbahan, menikah dengan Panêmbahan Madura, putraJaran Panolih ing Madura.

‎4. Radèn Urawan, Panêmbahan Urawan, putra Panêmbahan Madiun.

‎H. Pangeran Dêmang

‎Pangeran Demang putri  Panêmbahan Wilasmara ing Kadhiri, berputra tiga orang:

‎1. Pangeran Mêmênang.

‎2. Pangeran Rajungan

‎3. Pangeran Kandhuruan.

‎I. Pangeran Rajungan

‎Pangeran Rajungan menikah dengan Kyai MajaAgung III pêputra:

‎1. Pangeran Sarêngat

‎ Oleh Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat, marang ing Kartasura, nalika ana kraman Trunajaya, Pangeran Sarêngat banjur ditandur dadi pangeran ana ing Kudus, banjur kasêbut nama Pangeran Kudus.

‎J. Pangeran Kudus

‎garwa dari trah Adipati Têrung, berputra:

‎1. Mas Jawa, setelah dewasa bernama Radèn Suradipura, kemudian menggantikan kedudukan ayahanda bergelar  Pangeran Kudus II

‎2. Mas Jawi, bergelar Radèn Adipati Sumadipura ing Pathi.

‎K. Radèn Adipati Sumadipura ing Pathi

‎pêputra lima:

‎1. Radèn Ayu Jayasêtika ing Kudus.

‎2. Radèn Bagus Yata, bergelar Radèn Adipati Tirtakusuma ing Kudus.

‎3. Radèn Bewak, banjur nama Radèn Martakusuma, menjadi Adipati ing Pathi, nama Radèn Adipati Mêgatsari, menurunkan  Ratu Kadipatèn Permaisuri Sunan Amangkurat IV

‎4. Radèn Ayu Cêndhana, menikah dengan Pangeran Cêndhana, putra Pangeran Natapraja ing Kadilangu.

‎5. Radèn Bagus Lêmbu, nama Radèn Martapura, ngalih nama Radèn Martakusuma, menurunkan Radèn Ayu Pandhansari, garwa Panêmbahan Purbaya, pêputra Kangjêng Ratu Mas, garwa dalêm Sunan Pakubuwana  II.

‎L. Radèn Adipati Tirtakusuma ing Kudus 

‎Menurunkan enam putra :

‎1. Kangjêng Ratu Kêncana, garwane Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Amangkurat, kasêbut nama Kangjêng Ratu Agêng.

‎2. Radèn Ayu Wirasari, menurunkan Radèn Wiratmêja, kang kaparingan nama Radèn Mêgatsari.

‎3. Radèn Martanăngga, Ayahanda Radèn Arya Hendranata.

‎Raden Arya Hendranata menikah dua kali :

‎3.1. GRAy Rambe putri Sunan Amangkurat IV dari Mas Ayu Rondonsari. Setelah bercerai dengan Raden Arya Hendranata menikah dengan Adipati Danureja I, Patih Kraton Yogyakarta

‎3.2. Kangjeng Ratu Maduretna putri Sunan Amangkurat IV dari Kangjeng Ratu Kencana

‎4. Radèn Martakusuma, Ayahanda Radèn Martapura: Paridan.

‎5. Radèn Ayu Ănggakusuma, Ibunda Radèn Suwandi, Raden Suryanagara.

‎6. Radèn Wangsèngsari, Ibunda Radèn Wăngsakusuma ing Pathi

‎M. Kangjêng Ratu Kêncana, garwane Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Amangkurat IV

‎Setelah putranya naik tahta bergelar Kangjêng Ratu Agêng.

‎Menurunkan putra tiga :

‎1. Radèn Ayu Pambayun, seda timur.

‎2. Gusti Raden Mas Prabasuyasa setelah naik tahta bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana II.

‎3. Kangjêng Ratu Madurêtna.

‎N. Gusti Raden Mas Prabasuyasa setelah naik tahta bergelar Ingkang Sinuhun Pakubuwana Kangdjeng Susuhunan Pakubuwana II.





‎SUSUHUNAN PAKUBUWANA II

‎Beliau terlahir di Kraton Kartasura pada Selasa Pahing 23 Syawal 1634 atau tanggal 8 Desember 1711 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa. Beliau adalah putra dari Susuhunan Amangkurat IV dengan Garwa Permaisuri Kanjeng Ratu Kencana (putri dari Bupati Kudus, Raden Adipati Tirtokusumo)

‎Tanggal 10 Juni 1726 bertempat di Kraton Kartasura, RMG Prabasuyasa menikah dengan RAy Sukiya, putri dari paman beliau yaitu Gusti Panembahan Purbaya. Kelak RAy Sukiya diangkat sebagai permaisuri dan bergelar Kanjeng Ratu Mas 

‎Sepeninggal sang ayahanda yaitu Susuhunan Prabhu Amangkurat IV , BRMG Prabhu Suyasa atau BRMG Prabasuyasa yang saat itu berusia 15 tahun  dinobatkan sebagai Raja Kraton Kartasura pada hari Kamis Legi 16 Besar 1650 Jawa atau 15 Agustus 1726 M.

‎Pada masa pemerintahan Beliau Kraton Kartasura pernah mengalami berbagai pergolakan salah satunya " Geger Pecinan " yang mengakibatkan rusaknya Kraton dan hilangnya wahyu kedaton yang membuat Susuhunan Pakubuwana II memerintahkan untuk memindahkan pusat Kraton Kartasura, akhirnya terpilih Desa Sala sebagai pusat Kraton dan setelah Kraton berdiri dinamakan " Kraton Surakarta Hadiningrat "  Peristiwa pindahnya kraton dari Kartasura ke desa Sala pada hari Rabu Pahing 14 Sura 1670 Jawa atau 17 Pebruari 1745 M. 

‎Jadi Susuhunan Pakubuwana II adalah Raja Mataram Kartasura yang terakhir juga Pendiri Kraton Surakarta Hadiningrat. Sekaligus Cikal Bakal berdirinya Kota Surakarta.

‎Susuhunan Pakubuwana II wafat pada hari Minggu Kliwon 11 Sura 1675 Jawa atau 21 Desember 1749 dan dimakamkan di Astana Laweyan Surakarta karena situasi saat itu tidak memungkinkan beliau dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri Yogyakarta. Setelah situasi mulai tenang, pada masa pemerintahan Susuhunan PB III , jenasah Sunan PB II dipindahkan ke Astana Pajimatan Imogiri di area Kedaton Pakubuwanan.

‎Para putra putri Susuhunan Pakubuwana II :

‎1. GKR Timoer 

‎2. KRAy Sekar Kedaton

‎3. KGPH Prabu Anom Priyambada

‎4. GRAj Suwiyah

‎5. BRMG Suryadi kelak jadi Sunan PB III

‎6. GRAj Patimah

‎7. GRM Pinten

‎8. GRAY Puspokusumo

‎9. GRAj Senthi

‎10. GRM Goto 

‎11. GRM Budiman

‎12. GRAy Puspodiningrat

‎13. GRAy Kaliwungu

‎14. GRAy Sosrodiningrat

‎15. GRM Prenjak

‎16. GRAy Pringgodiningrat

‎17. GPH Puruboyo

‎18. GRM Supomo

‎19. GPH Balitar

‎20. GRM Samsir

‎21. GPH Danupoyo

‎22. GRM Kendhu

‎23. GRAy Djungut Manduraredja

‎(Oleh : KRT Sajid Jayaningrat)

‎Al Fatihah  kagem alusipun poro leluhur 

Tuesday, November 11, 2025

Kraton Surakarta Hadiningrat - Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat - Pura Mangkunegaran - Pura Pakualaman

Kraton Surakarta Hadiningrat 

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat 

Pura Mangkunegaran 

Pura Pakualaman






Ternyata gini jadinya 4 istana Trah Mataram disandingkan dalam 1 frame, dokumentasi.



1. Kraton Surakarta Hadiningrat


2. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat


3. Pura Mangkunegaran


4. Pura Pakualaman

Thursday, September 4, 2025

JAZĀ’IR AL-JĀWI : JEJAK NUSANTARA DI MATA DUNIA LAMA

 JAZĀ’IR AL-JĀWI : 

JEJAK NUSANTARA DI MATA DUNIA LAMA





Dalam naskah-naskah Arab klasik, kita menemukan satu nama yang merangkum seluruh kepulauan ini : Jazā’ir al-Jāwi (Kepulauan Jawa).

Nama ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan refleksi dari bagaimana dunia Arab memandang bangsa kita: satu kesatuan budaya maritim yang besar dan terpandang.

Mereka menyebut kita Banī Jāwi  (anak-anak Jawi) tak peduli apakah kita berasal dari Jawa, Sumatra, Bugis, Makassar, atau bahkan Kepulauan Maluku.

Nama “Jawi” menjadi payung identitas yang menaungi keberagaman kita. Bahkan hingga hari ini, jemaah haji Indonesia masih dipanggil Banī Jāwi di tanah Hijaz.

Lebih dari sekadar nama, istilah ini menandakan relasi panjang sejarah dan perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara.

Contohnya, dalam perdagangan kemenyan: bangsa Arab menyebutnya lubān Jāwi (kemenyan Jawa), meski pohonnya tumbuh di Sumatra.

Dari sinilah istilah Latin benzoe berasal bukti bagaimana dunia mengambil penamaan dari cara Arab melihat wilayah kita.


Dalam kitab al-Kāmil fī at-Tārīkh karya Ibnu al-Atsīr, disebutkan bahwa Banī Jāwi adalah keturunan Nabi Ibrahim AS.

Sebuah klaim yang tentu menarik, namun bukan tanpa dukungan. Sebab dalam studi genetika modern, seorang profesor dari Universiti Kebangsaan Malaysia menemukan bahwa DNA masyarakat Jawi mengandung 27% varian Mediterranean , varian genetik yang juga ditemukan pada bangsa Arab dan Bani Israil, keturunan Ibrahim.


Ini bukan sekadar fakta biologis. Ini adalah narasi antropologis, bahwa jejak Ibrahimiyah bisa jadi telah mengalir jauh, melintasi gurun dan samudera, lalu berlabuh di tanah basah nan hijau ini, bernama Nusantara.

Sejak dahulu, para pelaut kita dikenal tak hanya membawa rempah, tapi juga pengetahuan, akhlak, dan hikmah. Mereka bukan sekadar pedagang, tapi penyambung nadi peradaban.

Maka jangan heran, jika hingga kini, para pemimpin dari kawasan Jazā’ir al-Jāwi  siapapun mereka, apapun sukunya, masih berasal dari akar-akar tua yang dulu disebut Banī Jāwi.

Karena sejarah tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menyamar dalam nama, dalam darah, dan dalam cara kita berdiri menatap dunia.


Maka, menyebut diri sebagai “Jawa” bukan sekadar menyatakan asal, tetapi mengakui warisan : warisan Ibrahim, warisan samudera, warisan bangsa yang tak pernah tunduk kecuali pada hikmah.



Sunday, July 27, 2025

Kalender Jawa mPu Hubayun

 Kalender Jawa mPu Hubayun




Artikel ini adalah ringkasan super singkat dari buku buku karya santosaba yang membongkar "Fakta Sejarah" Nusantara yang di "Sembunyikan". Jadi akan sia sia saja jika "Dipadankan" dengan sumber sumber "Mainstream" yang kini ada ...karena catatan sejarah kita telah di "Kamuflase" juga di "Seragamkan" bahwa kita  adalah bangsa "Lemah". Pengimpor budaya lain, semua terpublikasi dari india juga tidak mempunyai catatan sejarah pernah "Ber Jaya" di masa lalu, sebelum tahun 78 Masehi


Sudah waktunya "Ilmu Pengetahuan" saat ini "Merevisi" catatan sejarah,Mengklarifikasi terhadap catatan masa lalunya yang di tulis atas kepentingan "Subjektif" suatu bangsa terhadap bangsa lain..yang faktanya ingin menguasai nya..."Hilangkan sejarahnya lalu kuasai"...ini fakta nya


Hal yang "Terburuk" dalam pencatatan masa lalu leluhur kita adalah : Penghitungan awal angka tahun "Saka" di seluruh prasasti yang di hitung mulai tahun 78 Masehi....sehingga "Hilang" semua fakta nyata sejarah nenek moyang kita sebelum tahun itu


Kalender Jawa diciptakan oleh "mPu Hubayun", dibuat berdasarkan ‘Sangkan Paraning Bawana‘, asal usul isi semesta pada tahun 911 SM mengikuti peredaran matahari, Tahun 1625 ,Sultan Agung atas dasar kesinambungan,aneh nya mengeluarkan dekrit  tahun 1547 Çaka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa,Beliau memakai kalender Saka india 1547+78 = Tahun 1.625 Masehi, Jika di hitung berdasar awal tahun  Jawa "mPu Hubayun" 911 SM (1547 - 911 + 1) Seharus nya 635 Masehi


Sumber lain tentang, Kalender Saka yang di pakai saat ini, berawal pada tahun 78 M juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana/Sâlivâhana, Kalender śaka berdasar pada perputaran matahari dan berasal dari kelahiran śālivāhana,Ini dimulai pada tanggal 1 vaiśākha 3179 dari kaliyuga, atau pada hari Senin 14 Maret 78 M 


Viracharita (abad ke-12 M) menyebut Shalivahana sebagai saingan raja Vikramaditya dari Ujjain. Menurutnya, Shalivahana mengalahkan dan membunuh Vikramaditya, dan kemudian memerintah dari Pratishthana. Shudraka adalah rekan dekat Shalivahana dan putranya Shakti Kumara. Kemudian, Shudraka bersekutu dengan penerus Vikramaditya dan mengalahkan Shakti Kumara,Legenda ini penuh dengan cerita "Mitologis"


Era Śaka yang populer adalah digunakan pada penanggalan prasasti kuno abad pertengahan dan sastra di India,Nepal, Burma, Camobdia, dan Jawa (Indonesia). Secara umum diyakini bahwa era Śaka dimulai pada 78 M,Studi kritis dan komprehensif referensi epigrafi dan sastra dari era Śaka tampaknya membawa kita pada kesimpulan bahwa era Śaka dan era Śakānta tidak identik


Zaman era Śaka dimulai pada 583 SM sedangkan zaman era Śakānta dimulai pada 78 M. Sejarah kronologis India kuno telah diajukan sejak 661 tahun karena dua zaman yang berbeda ini secara keliru dianggap identik,Sejatinya Saliwahana,adalah Raja dari India bagian selatan,yang di kalahkan oleh kaum "Çaka" dan tahun yg di gunakan adalah tahun yang di pakai bangsa kaum "Pemenang",Di mulai saat di "Taklukan" nya thn 78 M


Tony Joseph penulis buku Early Indians: The Story of Our Ancestors and Where We Came From, diterbitkan oleh Juggernaut....menulis :


Bahwa Arya bukanlah penghuni pertama India dan peradaban Harappa "Dravida" ada jauh sebelum kedatangan mereka,Ini berarti bahwa bangsa Arya atau budaya Veda bukanlah sumber tunggal peradaban di India dan sumbernya yang paling awal  berasal dari tempat lain,Mereka telah berkampanye untuk mengubah kurikulum sekolah dan menghapus setiap kata yg menyebutkan "imigrasi Arya" dari buku sejarah india,Studi genetik lain telah membuktikan bahwa ada banyak bangsa yang migrasi ke India,berasal dari Asia Tenggara di perkuat oleh banyaknya penutur bahasa Austro-Asia ....ini yang ditulis Tony Joseph


Çaka adalah kaum leluhur Nusantara,tertulis pada relief dasar Vhwãnã Çakã Phãlã/Borobudur dengan teks literasi kata  Māhéçãkyã ,Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka,Aryān yg Agung,Kaum "Çaka" adalah leluhur bangsa Nusantara,sudah ada lebih dahulu jauh dari 78 M dari saat menaklukan Raja india,yaitu setelah tahun 2000 SM,datang imigran (Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Arya) ,Mereka membawa bahasa Sansekerta awal atau dasar dari Sanskret


Berbagai praktik budaya baru seperti ritual pengorbanan yang semuanya membentuk dasar budaya "Hindu/Veda" awal,dasar nya adalah Ajaran leluhur kita "Dharma"  terekam pada literasi kata Kųsãlädhãrmãbæjănā di figura relief


Di Sangharamā Mahæ Thupa Vhwãnã Çakã Phãlã kini terpublikasi menjadi "Borobudur",ada 160 panel relief di dasar nya yang tidak di "Expose",ada 12 kata "Şvãrggã" tertera di figura relief dasar bukan tertulis kata "Nirvana" dan literasi teks kata yang lainnya

.......Mãhéçãkhya....yang jika di ungkap maka kita akan faham siapa sebenar nya leluhur kita ....


● Mãhéçãkhya (Pigura Panil 43 )

Kata "Mahe" berarti besar atau bangsa yang besar dan kata "SAkya" adalah Kaum Çaka Nusantara,Maheshakhya adalah salah satu kata yang terserap ke bahasa Sansekerta yang juga digunakan dalam kitab - kitab seperti Upanishad ,Veda


Transliterasi yang berbeda yang membuktikan bahasa dalam teks di relief bukan Sansekerta,Tapi bahasa ini yang mendasari Sansekerta,sehingga di mungkinkan ada kemiripan,Bangsa jerman mengambil symbol "Su Astika" dari bangsa yang lebih maju di masa terdahulu,Bangsa itu adalah leluhur Nusantara


Dalam kamus,Petersburg Dictionary "Otto Böhtlingk dan Rudolph Roth, 1879-1889 & Saint Petersburg Great St Dictionary 1855-1875, disebut : Maheshakhya,Mahendranagari,Mahendrayajin,Maheshabandhu,Kata-kata mirip nya adalah:Maheshakhya,Maheshvarasiddhanta,Mahibhrit,Mahidhra,Maheshakhya,Mahahava,Mahavanij,Maheshudhi


Harvard-Kyoto transliterasi "maheçãkhya" menjadi "mahezAkhya" di Velthuis kata Transkripsi "mahe" mendapat imbuhan "saakhya ", versi Itrans modern adalah " maheshAkhya ", "maheSAKya", dalam font IPA"məɦeːɕɑːkʱjə


Maheshakhya versi Devanagari adalah महेशाख्य ditulis dalam IAST transliterasi dengan tanda diakritik kata ini ditulis "maheśākhya" berarti : Seorang pria besar gagah agung,dalam kata Sanskerta dengan terjemahan menjadi seorang pria yang "Agung Mulia"


Kata-kata yang memiliki makna yang mirip dengan Maheshakhya, baik dari bahasa Sanskerta atau dari bahasa Jerman berarti seorang bangsawan pria yang agung,Pria agung bijaksana itu adalah pemimpin bangsa pada peradaban maju Nusantara Indonesia terdahulu Kaum Çaka...di buktikan dengan ratusan "Prasasti" ber angka tahun "Saka"


Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka,Aryān yang Agung adalah leluhur bangsa Nusantara sub ras ke 4 yang berasal dari bangsa "Jawi " bangsa yg menurun kan kaum Çaka yaitu :

1.Jawi (Bukan suku )

2.Madayu

3.Cambyses

4.Scythia,Sakkas,Çaka,Aryān


Çaka adalah kaum leluhur Nusantara,tertulis pada relief dasar Vhwãnã Çakã Phãlã dengan teks literasi kata Māhéçãkyã ,Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka,Aryān yang Agung,Kaum "Çaka" menggunakan penanggalan lebih dahulu jauh dari 78 M dari saat menaklukan Raja india.....



Catatan : 

Diantara buku buku karya Santosaba diskusikan di DAV College (Aff. Punjab University) Sector 10,Chandigarh, Punjab India




Kerajaan Galuh Purba Adalah Sebuah Kerajaan di Lereng Gunung Slamet

 Kerajaan Galuh Purba Adalah Sebuah Kerajaan di Lereng Gunung Slamet





Dari kisah-kisah legendaris hingga catatan sejarah yang menggetarkan, wilayah lereng Gunung Slamet ternyata menyimpan sebuah misteri besar: Kerajaan Galuh Purba. Sebuah kerajaan kuno yang menjadi induk bagi berbagai kerajaan di Nusantara, memberikan sorotan baru pada warisan kejayaan masa lalu.


Menurut catatan sejarawan Belanda W.J. van der Meulen, Kerajaan Galuh Purba di Lereng Gunung Slamet memiliki asal-usul yang mencengangkan. Dibentuk pada abad ke-1 Masehi oleh para pendatang dari Kutai, Kalimantan Timur, kerajaan ini memperluas pengaruhnya dari Indramayu hingga Purwodadi, mencakup sebagian besar wilayah Jawa. 


Kerajaan Galuh Purba memiliki wilayah kekuasaannya yang cukup luas, meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo, dan Purwodadi. Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Galuh Purba sangat berpengaruh di wilayah Jawa.


🔳 Pendirian Kerajaan Galuh Purba


Pendirian kerajaan ini tidaklah terjadi begitu saja. Para pendatang dari Kutai memasuki Pulau Jawa melalui Cirebon, kemudian menetap di antara lereng Gunung Ciremai, Gunung Slamet, dan lembah Sungai Serayu. Di sinilah peradaban mereka berkembang pesat, dengan mereka yang menetap di Lereng Gunung Slamet membangun Kerajaan Galuh Purba, sementara yang lain mengembangkan peradaban Sunda di sekitar Gunung Ciremai.


🔳 Penurunan Kerajaan Galuh Purba


Kerajaan Galuh Purba mengalami penurunan saat Syailendra menunjukkan eksistensi wangsanya. Namun, Kerajaan Galuh Purba kemudian berpindah ke Kawali (dekat Garut) dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali. Pada saat yang sama, muncul juga kerajaan-kerajaan yang cukup besar, di timur ada Kerajaan Kalingga sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara. 

Galuh Purba menjadi Kerajaan kadipaten yang sebanarnya masih kerabat. Semua menggunakan nama Galuh. DI brebes ada Kerajaan galuh rahyang dan galuh kalangon dengan ibu kota medang pangramean. Di cilacap ada Kerajaan Galuh lalean dengan ibu kota medang kamulan, di tegal ada Kerajaan galuh kumara dengan ibu kota medang kamulyan.


🔳 Informasi penting disajikan secara kronologis


Di pananjung ada kerajaan galuh tanduran dengan ibu kota bagolo. Di nanggalacah ada Kerajaan galuh pataka dengan ibu kota pataka. Di ceneam ada Kerajaan galuh nagara Tengah dengan ibu kota bojong lopang, di barunay (pabuaran) ada Kerajaan galuh imbanagara dengan ibu kota imbanagara, di bojong ada Kerajaan kalingga dengan ibu kota karangkamulyan.  


Atas berbagai sebab, Kerajaan galuh purba kemudian pindah ke kawali (dekat garut) berganti menjadi Galuh Kawali. Kemudian muncul Kerajaan yang cukup besar di timur ada Kerajaan kalingga sedangkan di barat ada Kerajaan Tarumanegara yang merupakan lanjutan dari Kerajaan Salakanagara.


🔳 Perkawinan dan Dinasti Sanjaya


Namun saat purnawarman (taruma negara) lengser diganti candrawarman pamor galuh kawali Kembali menanjak. Raja Galuh kawali menyatakan kemerdekaanya dari taruma negara dan mendapat dukungan dari kalingga. Lalu Kerajaan ini mengubah Namanya menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang kelak berkembang menjadi Kerajaan pajajaran.


Kerajaan Galuh, Kalingga, dan Tarumanegara kemudian saling kawin sehingga memunculkan dinasti Sanjaya. Hasil perkawinan itulah yang melahirkan raja-raja di tanah Jawa. Oleh karena itu, Kerajaan Galuh Purba dari lereng Gunung Slamet inilah induk dari kerajaan-kerajaan di Nusantara.


Kerajaan Galuh Purba merupakan bagian dari sejarah yang menarik di Nusantara, yang memiliki berbagai kabar dan misteri yang belum terungkap hingga sekarang.


Dari kejayaan yang tak terlupakan hingga kejatuhan yang mengguncang, Kerajaan Galuh Purba tetap menjadi salah satu bagian paling menarik dari sejarah Nusantara. Dibalut dengan misteri yang belum terpecahkan, warisan mereka terus menginspirasi dan menantang pemikiran para sejarawan hingga hari ini. 


Sesungguhnya, lereng Gunung Slamet menyimpan lebih dari sekadar pemandangan alam yang memesona; ia menyimpan jejak-jejak peradaban yang menakjubkan, membingkai kisah yang tak terlupakan dalam sejarah bangsa terutama bagi warga banyumas.


Peradaban dan bahasa Ngapak Banyumasan juga diduga sebagai bahasa jawa asli mengingat tulisan huruf jawa juga ketika dibaca sesuai bunyi aslinya tulisannya yaitu Ha Na Ca Ra Ka...tidak dirubah menjadi Ho No Co Ro Ko.




Monday, June 9, 2025

Kita Terlahir Dari 262.144 Para Leluhur Dari 500 Tahun Yang Lalu

 Kita Terlahir Dari 262.144 Para Leluhur Dari 500 Tahun Yang Lalu





Sebagai Renungan Kita  serta anak cucu kita

Juga sambil belajar mengenal budaya kita.

Untuk kelahiran kita , dibutuhkan :


2 orang tua

4 eyang

8 eyang buyut

16 eyang canggah

32 eyang wareng

64 eyang udhêg-udhêg

128 eyang gantung siwur

256 eyang gropak senthe

512 eyang debog bosok

1.024 eyang galih asêm

2.048 eyang gropak waton

4.096 eyang cendheng

8.192 eyang giyêng

16.384 eyang cumplêng

32.768 eyang amplêng

65.536 eyang  mênyaman

131.072 eyang menya menya

262.144 eyang trah tumêrah



Kita yg terlahir dari 262.144 para eyang dari 500 tahun yang lalu.

Renungkan lah

Berapa banyak kisah cinta, asmara, suka, cita, kebahagiaan, duka lara, kesedihan nestapa, perjuangan, air mata, kesenangan, kesempatan, kesempitan.

Untuk kelahiran kita melibatkan ratusan ribu eyang-eyang.

Kita adalah doa, harapan dan masa depan mereka yg terlahir di zaman ini, Buatlah Leluhur kita bangga sebagai Penerus aliran darah yang mereka wariskan 

Mikul duwur mendem jero


Salam Budaya.

Rahayu Rahayu Rahayu 



Monday, May 12, 2025

Panembahan Notokusumo II atau Panembahan Moh. Saleh adalah raja kerajaan Sumenep (1854-1879)

Panembahan Notokusumo II atau Panembahan Moh. Saleh adalah raja kerajaan Sumenep (1854-1879)





Potret Panembahan Notokusumo II (duduk di kursi) beserta jajaran kerajaan dan penasehatnya sekitar tahun 1865.


Panembahan Notokusumo II atau Panembahan Moh. Saleh adalah raja kerajaan Sumenep  yang memerintah  pada tahun 1854-1879, yang merupakan putra dari raja sebelumnya yaitu Abdurrahman Pakunataningrat.



Monday, April 21, 2025

KERAJAAN SALAKANAGARA

 KERAJAAN SALAKANAGARA





Kerajaan Salakanagara atau Kerajaan Rajatapura atau (Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta buatan tahun 1800 M ,sebagai kota tertua di Pulau Jawa. 

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. 

Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang (Pada masa kini ia terletak di bagian barat propinsi Banten). 

Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).


Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Di kemudian hari setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.


Salakanagara tidak meninggalkan arca, prasasti, maupun Candi-candi sebagaimana juga Kerajaan Sunda-Pajajaran. 

Sangat kontroversial karena berbeda dengan tulisan-tulisan buku sejarah resmi, karya tulis ilmiah, artikel, opini publik yang menyatakan bahwa Sunda-Pajajaran beraliran Hindu.


Kontroversial


Tidak didukung bukti fisik temuan artefak berupa arca dan Candi abad 2 hingga awal 4 masehi zaman Salakanagara, juga pada abad 12 - 17 masehi masa Kerajaan Sunda Pajajaran tidak ada Candi yang dibangun. 

Maka tulisan sejarah yang beredar selama ini menjadi sangat kontroversial.

Sehingga penulisan dari dalam Indonesia (Tatar Sunda) tentang Salakanagara bahkan Pajajaran pun dianggap sebagai cerita tanpa bukti, fiksi, mitos, atau hanya sebatas legenda.


Keterbatasan literasi para penulis serta minimnya kunjungan ke berbagai perpustakaan pada masa orde lama hingga awal Orde baru, karena faktor ketidakamanan dalam negeri, pendidikan masih terbatas, transportasi belum merata, perseteruan politik bernuansa SARA, hegemoni budaya, feodalisme cenderung fasisme, hingga kemampuan ekonomi dalam ambang batas minimum berefek pada kesimpulan singkat tersebut.


Salakanagara


Kerajaan Salakanagara adalah kerajaan di Nusantara yang berdiri antara 130-362 masehi. Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, karena wilayah peradaban keduanya sama persis, Jika benar, hal ini membuat adanya kemungkinan bahwa suku sunda merupakan suku pertama di pulau jawa yang membangun peradaban besar.


Pendiri dan raja Kerajaan Salakanagara bernama Dewawarman I, yang memerintah antara 130-168 masehi dengan gelar Prabu Darmalokapala Haji Raksa Gapura Sagara. 

Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa bagian barat, termasuk pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa dan laut yang membentang sampai Pulau Sumatera.

Setelah berkuasa selama 232 tahun, Kerajaan Salakanagara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.


Sumber sejarah utamanya adalah Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Menurut naskah tersebut, Kerajaan Salakanagara diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara yang berdiri antara 130-362 M, sebelum Kerajaan Kutai (400-1635 M).


Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (PPBJ) adalah salah satu naskah yang disusun oleh satu tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta. Beliau adalah salah seorang dari tiga putra Panembahan Ratu Carbon dari istrinya yang berasal dari Mataram.


Kelompok naskah PPJB yang sudah ditemukan hingga saat ini terdiri dari empat buah, semuanya dari parwa pertama. Tiga naskah pertama (sarga 1-3) merupakan kisah atau uraian mengenai sejumlah negara yang perneh berperan terutama di Pulau Jawa, sedangkan sarga keempat merupakan naskah panyangkep (pelengkap) dan isinya berupa keterangan mengenai sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun kisah itu.


Secara umum, seluruh naskah karya tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta dituliskan pada jenis kertas yang sama. 

Dari puluhan naskah yang telah terkumpul, hingga saat ini baru sebuah naskah yang telah diuji fisiknya secara kimiawi.

Pengujian yang dilakukan di Arsip Nasional itu menyimpulkan bahwa kertas yang digunakan untuk menuliskan naskah umurnya sekitar 100 tahun (laporan tahun 1988). Mengingat bahwa titimangsa naskah-naskah itu berkisar antara 1677 - 1698 Masehi, maka hampir dapat dipastikan bahwa naskah-naskah yang sudah terkumpul itu merupakan salinan dari naskah lain yang lebih tua.


Seperti halnya naskah-naskah Pangeran Wangsakerta lainnya, naskah PPJB 1.1 ini ditulis dengan menggunakan aksara Jawa yang jenis aksaranya mirip dengan yang disebut oleh Drewes (1969:3) quadrat script. 

Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang banyak mengandung kosakata bahasa Jawa kuna dan bahasa Cirebon.


Karangannya berbentuk prosa, campuran antara paparan dan kisah. Cara penyajiannya memiliki ciri-ciri karangan ilmiah, yakni berupa keteranga secara tersurat mengenai sumber karangan yang digunakan dan dikemukakan apabila di antara sumber-sumber yang digunakan terdapat perbedaan informasi.


Salakanagara minim meninggalkan bukti fisik karena bencana perang untuk memperebutkan Tanah Sunda. Demikian juga bencana alam yang tidak mustahil menghilangkan peninggalan kerajaan awal di Pulau Jawa tersebut.

Sehingga dalam artikel, tulisan ilmiah maupun buku sejarah formal lebih banyak menulis Kerajaan Kutai sebagai kerajaan pertama di nusantara.


Dengan adanya naskah Wangsakerta, generasi sesudah sangat tertolong untuk mendeskripsikan dan menarasikan abad-abad awal masehi Nusantara dan persentuhan budaya dengan berbagai bangsa besar dunia.


Karena satu naskah Wangsakerta berjudul Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 menuturkan peristiwa sejarah masa lampau tentang raja dan kerajaan yang terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.


Uraiannya banyak tertumpu pada karya mahakawi (pujangga besar) Mpu Khanakamuni dari Majapahit, beliau menjabat sbagai dharmadhyaksa (pejabat tinggi keagamaan) urusan agama Buddha. Selain itu kitab ini mencontoh beberapa karya pujangga besar yang telah menggubah kisah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.


Selain itu dilengkapi pula uraian tentang kerajaan Mataram, Banten, raja-raja daerah Parahyangan, serta para penguasa daerah lainnya. Penyusun kitab ini terdiri dari 12 orang, yaitu tujuh orang menteri (jaksa pepitu) kerajaan Carbon, seorang pujangga dari Banten, Sunda, Arab, dan seorang lagi.


Mereka semua dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta.

Kitab ini mulai dikerjakan pada tahun Saka sruti-sirna-ewahing-bhumi (1604 Saka = 1682 Masehi), ditulis di keraton Carbon oleh Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Carbon Tohpati bergelar Abdul Kamil Mohammad Nasarudin.


Menurut Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, sejarah berdirinya Kerajaan Salakanagara bermula ketika seorang pedagang dari India yang bernama Dewawarman menetap di Jawa, lebih tepatnya di Teluk Lada, Pandeglang.


Dewawarman kemudian menikahi putri dari Aki Tirem, kepala daerah setempat. Pada 130 masehi, Dewawarman mendirikan Kerajaan Salakanagara dengan ibu kota di Rajatapura. 

Setelah menjadi raja dengan gelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara, ia melakukan ekspansi untuk memperluas daerah kekuasaan.


Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa bagian barat, termasuk pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa dan laut yang membentang sampai Pulau Sumatera. 

Letaknya yang strategis, membuat perahu yang melintas terpaksa harus singgah dan memberi upeti kepada Dewawarman.

Raja Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun, antara 130-168 masehi. 

Setelah itu, takhta kerajaan diteruskan oleh putranya, Dewawarman II yang bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman.


Rajatapura


Teluk Lada Rajatapura disebutkan dalam Naskah Wangsakerta sebagai pusat pemerintahan Salakanagara yang terletak di Teluk Lada (Pandeglang, Banten). 

Dalam naskah tersebut, Rajatapura disebut sebagai kota.


Dari sinilah kedelapan Raja Dewawarman memerintah dan menguasai perdagangan di seluruh Jawa. 

Condet Condet terletak di Jakarta Timur, yang berjarak 30 kilometer dari pelabuhan Sunda Kelapa.


Daerah ini dipercaya sebagai ibu kota Kerajaan Salakanagara karena memiliki aliran sungai bernama Sungai Tiram. 

Kata "Tiram" berasal dari nama Aki Tirem, mertua Dewawarman I, pendiri Salakanagara.


Gunung Salak 


Gunung Salak di Bogor adalah gunung yang ketika siang berwarna keperak-perakan karena tersinari oleh terangnya matahari. 

Dalam Bahasa Sunda, Salakanagara berarti Kerajaan Perak.

Selain itu, pendapat ini juga dilandasi oleh kemiripan nama antara Salaka dan Salak.


Salakanagara Selama 232 tahun berdiri, diyakini ada 11 raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara.

Berikut nama raja-raja yang pernah berkuasa :


1. Dewawarman I atau Prabu Darmalokapala Haji Raksa Gapura Sagara (130-168 M)


2. Dewawarman II atau Prabu Digwijayaksa Dewawarmanputra (168-195 M)


3. Dewawarman III atau Prabu Singasagara Bimayasawirya (195-238 M)


4. Dewawarman IV (238-252 M)


5. Dewawarman V (252-276 M) Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289 M)


6. Dewawarman VI (289-308 M)


7.  Dewawarman VII (308-340 M) Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M)


8. Dewawarman VIII (348-362 M)


9. Dewawarman IX (362 M)


Setelah pemerintahan Dewawarman VIII, Kerajaan Salakanagara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara.

Raja Jayasinghawarman, pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu dari Raja Dewawarman VIII.

Meski hanya berdiri selama dua abad, garis turunan penguasa Salakanagara dipercaya melahirkan raja-raja Pajajaran, Sriwijaya, dan Majapahit.  


Dengan rinci Teks naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 memulai uraiannya dengan keadaan di Pulau Jawa sejak sudah adanya pemukiman manusia. Dikemukakan pula tentang kesuburan tanah dan kemakmuran di Pulau Jawa, disusul uraian mengenai kedatangan orang-orang dari luar Nusantara yang kemudian menyebar dan menetap di Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara.


Para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi Bharatanagari. Mereka datang menaiki beberapa puluh perahu yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa.


Sang Dewawarman sudah bersahabat dengan penduduk daerah pesisir Jawa Barat, Nusa Apuy, dan Pulau Sumatra bagian selatan. Sang Dewawarman bersahabat pula dengan penghulu penduduk setempat, akhirnya bermukim di sini dan lamakelamaan menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat.


Sang Dewawarman kemudian beristrikan anak penghulu penduduk wilayah desa itu. Sang penghulu kemudian menganugerahkan pemerintahan wilayah desa kepada menantunya. Pada tahun 52 Saka ( = 130 Masehi) Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja. Kerajaannya diberi nama Salakanagara, ibukotanya diberi nama Rajatapura.

Ia bergelar Sang Prabhu Dharmalokapala Dewawarma Haji Raksagapurasagara, dan menjadi raja sampai dengan tahun 90 Saka ( = 168 Masehi). Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Sang Prabhu Dhigwijayakasa Dewawarmanputra, yang menjadi Dewawarman II. Ia menjadi raja Salakanagara pada tahun 90 – 117 Saka (168 – 195 Masehi).

Dewawarman II beristrikan seorang putri dari keluarga Maharaja Singhalanagari. Dari pernikahannya ini lahir di antaranya seorang yuwaraja. Ia menggantikan ayahnya menjadi raja di Salakanagara pada tahun 117 Saka ( = 195 Masehi), dengan gelar Prabhu Singhanagara Bhimayasawirya dan menjadi Dewawarman III. Ia menjadi raja sampai dengan tahun 160 Saka ( = 238 Masehi).


Pada masa pemerintahannya Salakanagara diserang perompak, namun dapat dibinasakan olehnya. Dewawarman III kemudian digantikan oleh menantunya ialah Sang Prabhu Dharmastyanagara yang menjadi Dewawarman IV. Ia memerintah pada tahun 160 – 174 Saka ( = 238-252 Masehi). Dewawarman IV digantikan oleh anak perempuannya , yaitu Rani Mahisasuramardini Warmandewi. Ia memerintah bersama suaminya, Sang Prabhu Amatyasarwajala Dharmasatyajaya Warunadewa.

Sang Rani memerintah pada tahun 174 – 211 Saka ( = 252-289 Masehi), tetapi suaminya hanya memerintah selama 24 tahun, karena gugur di tengah laut ketika berperang melawan perompak. Kemudian yang menjadi raja di Salakanagara adalah putranya, Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabhumi yang menjadi Dewawarman VI. Ia memerintah pada tahun 211 – 230 Saka ( = 289-308 Masehi).


Ia menikah denga putri dari Bharatanagari. Dari perkawinannya itu lahir beberapa orang anak, di antaranya yang tertua ialah Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati yang menjadi Dewawarman VII. Ia memerintah pada tahun 230 – 262 Saka ( = 308 – 340 Masehi). Dewawarman VII gugur pada tahun 262 Saka karena serangan balatentara yang dipimpin oleh seorang panglima bernama Khrodamaruta, yang masih bersaudara dengan Sang Prabhu.


Kemudian Sang Khrodamaruta menjadi raja di Salakanagara. Ia tidak disukai oleh penduduk dan keluarga keraton. Ia tidak lama menjadi raja, hanya tiga bulan, karena ketika ia berburu di tengah hutan, ia tertimpa batu dari puncak gunung. Sang Prabhu Khrodamaruta tewas. Kemudian permaisuri Dewawarman VII, Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi raja Salakanagara. Ia memerintah selama tujuh tahun sampai dengan tahun 270 Saka ( = 348 Msehi).

Pada tahun 270 Saka itu, Sang Rani menikah dengan Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Sang Rani dan suaminya adalah saudara sepupu satu kakek. Selanjutnya Sang Prabhu Dharmawirya menjadi raja Salakanagara, menjadi Dewawarman VIII. Ia memerintah tahun 270 – 285 Saka ( = 348- 363 Masehi). Selanjutnya teks naskah ini menguraikan pula keadaan politik di Bharatanagari dan peperangan antara wangsa Maurya dengan wangsa Pallawa dan Salankayana.


Akhirnya kerajaan wangsa Pallawa dan Salankayana dikalahkan oleh kerajaan wangsa Maurya. Banyak penduduk dan keluarga raja dari kerajaan mengungsi menyeberangi lautan. Salah satu kelompok wangsa Pallawa yang mengungsi ke Pulau Jawa dipimpin oleh seorang yang kemudian menjadi Dewawarman VIII, yaitu Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Diceritakan pula bahwa pada tahun 270 Saka ( = 348 Masehi), ada seorang Maharesi dari Salankayana disertai para pengikutnya, penduduk dan balatentara, datang mengungsi ke Nusantara dan sampailah di Jawa Barat.


Ia bersama pengikutnya berjumlah beberapa ratus orang. Kedatangannya disambut oleh penduduk pribumidengan senang hati, karena Sang Maharesi adalah seorang dang accarya (guru) dan seorang mahapurusa (orang penting). Selanjutnya, mereka semuanya bermukim di tepi sungai dan membuat desa.


Karena ia disetujui oleh para penghulu dari desa-desa di sekitarnya, kemudian ia mendirikan sebuah kerajaan di situ dan diberi nama Tarumanagara. Desa yang didirikan Sang Maharesi itu kemudian menjadi sebuah kota yang besar dan diberi nama Jayasinghapura. Sang Maharesi kemudian terkenal dengan nama Sang Jayasinghawarman Ghurudharmapurusa dan Rajadhirajaghuru, yaitu raja Tarumanagara dan guru agama.


Ia kemudian menikah dengan putri Dewawarman VIII, yaitu Sang Parameswari Iswari Tunggalprethiwi Warmandewi atau Dewi Minawati namanya. Selanjutnya diceritakan pula anak Dewawarman yang lainnya yang menjadi putra mahkota. Setelah Sang Dewarman mangkat, putra mahkota menggantikannya menjadi raja. Tetapi desa-desa wilayahnya ada di bawah perintah kerajaan Tarumanagara.

Ada pula anak Dewawarman yang lainnya lagi, seorang laki-laki yang bermukim di Bakulapura. Ia terkenal dengan nama Aswawarman. Ia menikah dengan anak sang penghulu penduduk Bakulapura, yaitu Sang Kudungga namanya.

Masa pemerintahan Sang Maharesi Rajadhirajaghuru lamanya 24 tahun, dari tahun 280 Saka ( =358 Masehi) sampai dengan tahun 304 Saka ( =382 Masehi). Ia mangkat pada usia 60 tahun. Ia terkenal sebagai Sang Lumah ri Ghomati. Selanjutnya ia digantikan oleh putranya yang terkenal dengan nama Rajaresi Dharmayawarmanghuru.


Referensi:

Ayatrohaedi. (2017). Sundakala: Cuplikan Sejaraj Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya

Transliterasi Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (PPBJ), Museum Sri Baduga. Bandung


Informasi tambahan, Kerajaan di Jawa

1. 0-600 (Hindu-Buddha Pra Mataram): Salakanagara, Tarumanagara, Sunda-Galuh, Kalingga, Kanjuruhan.


2. 600-1500 (Hindu-Buddha): Mataram Kuno, Medang, Kahuripan, Janggala, Kadiri, Singhasari, Majapahit, Pajajaran, Blambangan.


3. 1500-sekarang (Kerajaan Islam): Demak, Pajang, Banten, Cirebon, Sumedang Larang, Mataram Islam, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunagaran, Paku Alaman.



Saturday, April 5, 2025

Pangeran Giolo, putra Raja Moangis atau Gilolo

Pangeran Giolo, putra Raja Moangis atau Gilolo





Giolo, Lelaki Bertato asal Maluku yang Kulitnya Dipamerkan di Inggris

Pangeran Giolo, putra Raja Moangis atau Gilolo: terletak di bawah garis Khatulistiwa pada garis bujur 152 derajat. Inilah seorang pangeran pribumi yang dihiasi dengan bintik-bintik kaya dan pola yang menakjubkan, yang belum pernah dilihat dunia Eropa sebelumnya: dibawa dari Hindia Timur pada tahun 1691, dan diperlihatkan kepada Yang Mulia serta banyak bangsawan dan kalangan terhormat di kerajaan. Ia lahir di Pulau Meangis, salah satu dari Kepulauan Filipina, dan oleh orang-orang pribumi disebut sebagai Pangeran Bergambar; penuh variasi, sehingga membuat para seniman terbaik pun terkagum-kagum. Negeri asalnya kaya akan emas dan rempah-rempah, dan penduduknya menganggap bahwa dihiasi seperti ini merupakan keindahan besar; ia ditato dan dihias dengan cara yang luar biasa ini sejak usia 2 hingga 12 tahun, dengan cara ditusuk dengan jarum-jarum tajam, lalu digosok dengan ramuan herbal atau campuran pewarna. Ini dianggap sebagai hiasan besar dan tanda kebesaran di antara mereka. Tato ini bertahan seumur hidup dan biasanya dilakukan oleh seniman terbaik. Ibunya sendiri yang melakukannya, dengan menusuk dan mewarnainya secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak itu menahan rasa sakit. Ia ditangkap oleh kapal Eropa, yang setelah melihat banyak penduduk asli bertato, memilih dia karena dianggap paling menarik dan dihiasi dengan sangat baik, lalu membawanya sebagai tontonan. Ia bertubuh tinggi, sekitar 6 kaki (sekitar 180 cm), memiliki tubuh proporsional dan kuat, aktif, dan tahan banting, tanpa pendidikan formal; namun secara alami ia diketahui memiliki pemahaman cepat dan kecerdasan tinggi. Ia meninggal di London karena penyakit cacar, tak lama setelah kedatangannya, yang disesalkan oleh banyak orang yang ingin mengenalnya lebih jauh sebagai subjek keingintahuan.


Thursday, March 27, 2025

Silat Beksi

Silat Beksi

Silat Beksi adalah salah satu aliran silat yang bertumpu pada teknik pukulan (Betawi: maen pukulan). Aliran ini awalnya dikembangkan oleh masyarakat dari daerah Kampung Dadap, Kecamatan Kosambi, Tangerang dan Penemu aliran ini adalah Lie Tjeng Hok (1854-1951), seorang keturunan Tionghoa dari keluarga petani. Nenek moyangnya diperkirakan berasal dari Amoy (Xiamen), Tiongkok. Ia menggabungkan ilmu bela diri keluarganya dengan ilmu dari guru-guru Betawi, dan mengajarkannya kepada para murid Betawi pesisir dan orang Tionghoa Benteng di sekitar Kampung Dadap. Di kemudian hari, aliran silat ini juga menyebar ke daerah Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, dan daerah Batujaya, Batuceper, Tangerang.




Wednesday, March 26, 2025

Dokumen Foto Londo (Belanda) merayakan kemerdekaan Israel di surabaya, 1948

 Dokumen Foto Londo (Belanda) merayakan kemerdekaan Israel di surabaya, 1948