Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran akan terancam.
(Wiji Thukul)
Kutipan dari Wiji Thukul ini adalah peringatan keras tentang tanda-tanda bahaya dalam kehidupan berdemokrasi. Ketika rakyat tidak lagi berani mengeluh, itu bukan berarti keadaan baik-baik saja, melainkan menunjukkan bahwa rasa takut telah menguasai, bahwa ruang kebebasan telah menyempit. Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan cenderung menindas, dan suara rakyat dibungkam—sebuah pertanda bahwa sesuatu yang gawat tengah terjadi dalam tatanan sosial dan politik.
Lebih jauh, ketika omongan penguasa tidak boleh dibantah, artinya penguasa telah menganggap dirinya pemilik kebenaran mutlak, padahal dalam masyarakat yang sehat, kekuasaan harus selalu bisa dikritik dan diawasi. Larangan untuk membantah adalah upaya memonopoli kebenaran, dan dari situlah kebenaran yang sejati justru terancam, karena tidak ada lagi ruang untuk diskusi, koreksi, dan perbaikan.
Pesan dari kutipan ini adalah bahwa kebebasan bersuara dan berpendapat adalah nyawa dari kebenaran dan keadilan. Bila rakyat bungkam karena takut, dan penguasa bebas dari kritik, maka kezaliman dengan mudah tumbuh. Wiji Thukul mengajak kita untuk terus bersuara, karena diam di tengah ketidakadilan adalah tanda bahwa kebebasan telah mati.
Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran akan terancam.
(Wiji Thukul)
WIJI THUKUL. Pagi ini di sejumlah WA Group beredar puisi tentang penyair Wiji Thukul yang hilang sampai sekarang. Ijinkan saya memajang di sini sebagai peringatan supaya sepatu lars tidak lagi menginjak-injak kebebasan masyarakat sipil. Uasuwoook
Inilah puisi itu
hai, Prabowo
aku Wiji Thukul
aku ada di depanmu
kau mengenal aku kan
aku yang 26 tahun lalu
dihilangkan
diculik
bersama beberapa teman-teman dan kawan-kawan lainnya
aku kehilangan isteri dan anak-anak
kerabat, teman,
sahabat, kawan, keluarga
seperti kawan-kawanku yang lain
yang ditembak militerisme dan dihilangkan paksa,
tak lagi melihat lekuk senyum
dan canda gurau orang tuanya,
kakek dan neneknya,
adik dan saudaranya
hai, Prabowo
aku Wiji Thukul
masih ingatkah kau
siapa aku.?
aku yang pada usia mudaku
tahun-tahun 1997-1998, disibuki perjuangan
untuk bangsa ini
menjadi beradab dan manusiawi; ikut menggulingkan rezim otoritarianisme,
fasisme dan amat militeristik
hai, Prabowo
aku Wiji Thukul
aku-lah yang menjadi buron
karena menolak menjadi orang lain
karena ingin menjadi diri sendiri karena tidak mau cita-citaku diseragami
dengan sistem penindas
aku dikejar-kejar oleh Tim Mawar
yang dipimpin mu
kau telah tercatat: terduga pelaku pembunuh!
hai, Prabowo
aku Wiji Thukul
aku ada di depanmu
bercermin-lah terus
dengan keculasanmu
tetapi hari ini
aku kembali memburumu
seperti kutukan.!
aku tetap menjadi peluru
di mana-mana selalu bertanya,
meneriakimu,
di dalam seni lukis, musik, patung,
teatrikal, mural,
orasi dan bentangan sepanduk,
ya, di mana-mana aku selalu bertanya: DI MANA JASAD KU KAU BUANG.?
katakanlah.!
segera..!
atau, peluru ku
segera menyiapkan
barisan pemberontakan
akan menurunkan mu dengan paksa..!
26 Januari, 2025.
Puisi lentera merah.
📸: KomikKita
#puisi #lentera #merah
#pemulung #cerita #jalanan
Sumber referensi :
0 comments:
Post a Comment