Social Bar

Popunder

Saturday, February 15, 2025

Ilmu Sejati

 Ilmu Sejati


https://pointcenter9.blogspot.com/2025/02/ilmu-sejati.html



Ahli ilmu yang sejati tidak hanya menyampaikan Al-Haq semau hati, akan tetapi ia juga mempertimbangkan apakah Al-Haq yang ia sampaikan sekarang dapat berdampak baik ?

Kita mungkin sering kali menjumpai orang-orang yang merasa telah berilmu sampai-sampai merasa apa yang ia sampaikan adalah yang paling haq (paling benar) karena yang ia sampaikan bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun janganlah terlalu gegabah menyampaikan sesuatu meskipun yang ia sampaikan berupa dalil Al-Qur’an dan hadis sahih. 

Bukan di situ letak permasalahannya, akan tetapi letak permasalahannya adalah sudah tepatkah apa yang ia sampaikan ? 

Apakah sesuai sasaran ?


Pertanyaan tadi setidaknya bisa menjadi hal yang perlu dipikirkan ulang apabila hendak menyampaikan suatu yang dianggap haq.

Coba kita telaah ulang, bagaimana teladan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan yang haq dari lisannya. Karena Rasulullah adalah seorang ahli ilmu sejati.

Rasulullah ketika menyampaikan segala sesuatu atau menjawab pertanyaan yang sedang dibingungkan oleh para sahabat, maka Rasulullah menjawab dengan tepat dan sesuai sasaran.

Ahli ilmu yang sejati itu tidak hanya menyampaikan haq semau hati, akan tetapi ia juga mempertimbangkan apakah Al-Haq yang ia sampaikan sekarang dapat berdampak baik atau buruk bagi yang mendengar.


Mari kita lihat contoh teladan Rasulullah dalam hadis berikut ini:


عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعاذٌ رَدِيفُهُ عَلَى الرَّحْلِ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ يَا مُعَاذُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثَلَاثًا قَالَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا

Dari Qatadah berkata, telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunggang kendaraan sementara Mu’adz membonceng di belakangnya. Beliau lalu bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Beliau memanggil kembali: “Wahai Mu’adz!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Hal itu hingga terulang tiga kali, beliau lantas bersabda: “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, tulus dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya neraka.” Mu’adz lalu bertanya, “Apakah boleh aku memberitahukan hal itu kepada orang, sehingga mereka bergembira dengannya?” Beliau menjawab: “Nanti mereka jadi malas (untuk beramal).” Mu’adz lalu menyampaikan hadits itu ketika dirinya akan meninggal karena takut dari dosa.” (HR. al-Bukhari)

Lihat dialog Nabi dengan Muadz. Nabi memberitahukan kepada Muadz bahwa barangsiapa mengucapkan kalimat syahadat, maka Allah akan mengharamkan neraka baginya (masuk surga). Mendengar itu lalu Muadz meminta izin untuk menyampaikan kebenaran tersebut dan sekaligus ingin menyampaikan kabar gembira tersebut kepada para sahabat.  Lalu lihat jawaban mengejutkan Nabi, Nabi menjawab “Jangan! Nanti mereka malas dalam beramal”.

Terlihat bahwa seorang ahli ilmu sejati tidak serta merta menyampaikan kebenaran dengan semau hati. Akan tetapi ia mengukur terlebih dahulu, apa dampak dari hal yang ia sampaikan. Hadis di atas menjadi contoh bahwa kebenaran harus disampaikan dengan melihat situasi dan kondisi yang tepat, meskipun yang ia sampaikan berupa kebenaran dan bahkan kabar gembira sekalipun.


Itu sebagai contoh pertama. Mari kita lihat lagi kasus lain dalam hadis berikut :


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Shafwan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah dari keluarga Ibnu Al Azraq bahwa Al Mughirah bin Abi Burdah dan ia dari Bani Abd Ad Dar, mengabarkan kepadanya bahwa dia telah mendengar Abu Hurairah berkata; Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata; “Wahai Rasulullah, kami naik kapal dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ia (laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud)

Mari kita ulang lagi cerita dalam hadis di atas, bahwa ada salah seorang sahabat yang merupakan seorang pelaut bertanya kepada Nabi untuk mencari tahu solusi fikih. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kami ini kalau berlayar di laut hanya bisa membawa air yang layak untuk diminum itu sedikit, kalau kami gunakan air minum tersebut untuk berwudhu maka kami akan kehausan (tidak bisa minum), kira-kira apa solusinya untuk kami wahai Rasulullah? Kemudian Nabi menjawab, “Air laut itu suci dan halal bangkainya.”

Coba kita analisis kalimat dari jawaban Nabi “Air laut itu suci dan halal bangkainya”, mengapa Nabi menjawab sampai menyebutkan kesucian air laut serta status bangkai? Padahal sahabat tidak menanyakan hukum kesucian air laut, dan sama sekali tidak menanyakan masalah bangkai.

Ternyata dari situ Nabi telah memahami kondisi sang penanya tadi bahwa kebutuhan si penanya (si pelaut) itu tidak hanya pada air wudhu atau air minum saja, akan tetapi ia juga membutuhkan makanan. Maka apabila si penanya suatu waktu mengalami kondisi kehabisan makanan, maka bangkai di laut itu dapat menjadi solusi jika tidak menjumpai satu makanan pun.

Dari situ juga terlihat sosok ahli ilmu yang sejati, yakni Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila seseorang bertanya kepada Nabi, maka Nabi akan mengukur orang tersebut agar apa yang ia sampaikan memang bisa memberikan dampak positif kepada sasaran.

Mirisnya, sering kali kita menjumpai orang-orang di zaman sekarang yang merasa berilmu sangat menggebu-gebu dalam menyampaikan Al-Haq yang ia yakini. Tidak bisa mengukur dan menimbang secara jernih al-haq yang ia sampaikan. Bukannya mendapatkan hasil yang positif, justru sebaliknya malah dampak negatif yang dihasilkan. Maka dari itu, bijaksanalah dalam menyampaikan segala sesuatu.



Jalan Penuntut Ilmu Sejati

“Ada yang sedang seperti menyendiri tapi nyatanya dia tidak sendiri, dia sedang asyik bercengkrama dengan semesta yang membuatnya menjadi tiada, duduknya menghamba, duduk dalam danau air mata …”.

Penggalan lirik lagu salah seorang penyair dengan nuansa filosofis satu ini cukup mewakili kisah seorang hamba yang sedang menunggu kekasih hatinya. Dalam kesendiriannya kala itu, yang umumnya orang menyebut sebagai kegiatan kontemplasi, ia bak menunggu pesan cinta dari sang Kekasih.

Sejujurnya ia sendiri pun sebenarnya tidak tau pasti pesan seperti apa yang akan diterima dalam uzlahnya kali itu. Kesabarannya mulai terobati sesaat setalah kekasihnya mengirim utusannya untuk menyampaikan pesan cinta.

Pesan cinta yang membuat satu dunia menjadi indah, cerah, terang benderang seperti sapuan cahaya matahari pagi yang lembut lagi menenangkan. Pesan romantis yang telah membuat sekujur tubuhnya menggigil itu adalah iqra’ . pesan itu telah sampai kepada sosok laki-laki terbaik yang pernah hidup di atas bumi ini, ia adalah Abdullah.

Kekasih Allah yang berhasil menjadi pelita bagi seluruh alam. Pesan “iqra’ ” atau “bacalah” dari Allah kepada Abdullah, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjadi peta kehidupan bagi umat manusia menuju sebuah tujuan abadi yang menentramkan, yaitu jalan menuntut ilmu pengetahuan.

Jalan yang sering kali sepi namun akan mengantarkan pada tempat ternyaman. Sebab jalan ilmu akan mengantarkan pada jalan iman, dan jalan iman akan membawa pada jalan amal. Di penghujung jalan amal itu manusia akan diizinkan mencicipi nikmat tera’ala, nikmat perjumpaan dengan Sang Khaliq dan memandang-Nya.[1]


 

Jalan Yang Diberkahi

Keutamaan belajar diamini segenap umat manusia terutama bagi umat muslim.


اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.”[2]

Akan tetapi dalam perjalannya manusia kerap kali tergelincir atau tersandung batu-batu kekhilafan. Rintangan yang umumya dihadapi seseorang dalam proses belajar adalah kesalahan dalam menentukan tujuan.

Niat yang harusnya diperuntukkan bagi Allah semata sering kali justru bertujuan pada hal kecil yaitu perihal duniawi yang fana dan sementara. Misalnya ada segolongan orang yang terjebak dalam kepentingan hawa nafsunya, yaitu menuntut ilmu untuk menumpuk harta kekayaan, berbangga diri dengan pangkat atau jabatan duniawi semata.[3]

Ini adalah keselahan mendasar dan paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Ia melupakan bahwa  dalam proses menuntut ilmu hanya ada dzat esa yang patut dijadikan tujuan, yaitu Allah swt. Ialah sumber dari ilmu pengetahuan dan yang harusnya menjadi tujuan setiap penuntut ilmu sejati.

Sebab tujuan menuntut ilmu itu adalah untuk semakin menanamkan cinta pada Allah dalam hati, mengokohkan akidah dalam jiwa, dan mengakarkan tauhid pada Allah swt, Tuhan yang dari-Nya kita berasal serta kepada-Nya kita kembali.


 ….  اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُا

“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama…” (QS. Al-Fatir: 28)



Kemurnian Hati

Pondasi utama dalam setiap amal adalah niat yang murni dan Ikhlas lillahi ta’ala. Niatlah yang akan membedakan nilai sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan sebatas untuk mendapatkan tujuan-tujuan keduniawian hanya akan memberikan hasil yang bertahan sampai di dunia saja.

Sementara pekerjaan yang dilakukan sebagai bentuk ibadah mentaati Allah maka balasannya akan Allah berikan dalam bentuk kebaikan dunia dan akhirat.[4] Oleh karena niat letaknya di dalam hati dan tidak ada sesuatu yang perubahannya lebih cepat dari berbolak-baliknya hati, maka seorang penuntut ilmu sejati hendaknya selalu menjaga keikhlasan niatnya semata-mata karena Allah saja dan tidak mendua hati pada tujuan semu dan fana.


 

Mendekati-Nya

Hendaknya penunut ilmu memiliki sifat bertakwa kepada Allah. Sebab ketakwaan seorang hamba adalah jalan utama mencapai pemahaman. Seperti yang difirmankan Allah di dalam al-qur’an surah al-Baqarah ayat 282:


وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ 

(Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu).

Takwa menurut Yusuf al-Qardawi adalah menjalani apa yang telah diisyaratkan Allah swt serta menjauhi segala apa yang dilarang-Nya dan Allah memerintahkan orang muslim untuk bertakwa sebelum perintah lainnya.[5]

Penuntut ilmu sejati yang cerdas memahami bahwa ilmu itu sumbernya dari Sang ‘Alim Yang amat mencintai hamba-Nya yang bertakwa, berharap hanya pada-Nya. Patut disayangkan saat seorang penuntut ilmu sibuk kesana kemari mempelajari ilmu namun di saat yang sama Ia melupakan Sang Pemilik Ilmu itu sendiri.


 

Tenang Tanpa Masalah 

Dalam beramal shalih seorang muslim hendaknya bersungguh-sungguh mengerjakannya, begitu pun penuntut ilmu sejati hendaknya mengerahkan segenap kesungguhannya dalam proses belajar yang dijalani.

Akan tetapi kesungguhannya itu tidak lantas menjadi dalih menuding Allah agar mendapatkan hasil sesuai ekspekstasinya. Tugas penuntut ilmu sejati hanya sebatas berikhtiar dengan maksimal adapun hasilnya merupakan hak pemilik ilmu untuk memberikan seberapa banyak yang dikehendakinya.

Menjadi barang pasti bahwa Allah tidak sedikitpun mendzalimi hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Dia juga yang benar-benar memahami kapasitas kebutuhan seorang hamba yang sesuai maslahat hidupnya dan orang sekitarnya, maka tenangkan hati dengan meyakini bahwa Allah Yang Maha Mengetahui hidup seorang hamba pemahaman-Nya jauh melebihi pemahaman hamba itu terhadap dirnya sendiri.



Syukur Untuk Lebih

Penuntut ilmu sejati tidak boleh menjauhkan diri dari rasa Syukur kepada Allah. Sebab dimampukan Allah untuk bisa merasakan proses belajar saja itu sudah merupakan nikmat tak terhingga.

Bayangkan betapa Allah telah memberi keistimewaan luar biasa bagi penuntut ilmu degan dijadikannya seluruh alam mendoakan seseorang yang belajar. Sesungguhnya rasa syukur mampu menjadikan yang sedikit terasa banyak dan yang sederhana terasa Istimewa.

Bersyukur tidak mendatangkan apa-apa kecuali tambahan nikmat dari Allah swt seperti yang telah dijanjikan-Nya di dalam Al-qur’an, yaitu bagi mereka yang bersyukur akan Allah tambahkan nikmat-nikmat lainnya.



Penutup

Seseorang yang memutuskan meniti jalan ilmu hendaknya memulai perjalanan mulia itu dengan meluruskan niat dalam hati untuk membuat Allah Ridha. Sadar akan tujuan menuntut ilmu untuk mendekatkan diri pada Allah swt adalah benteng yang akan menyelamatkan dari tujuan-tujuan duniawi semata.

Sebagai hamba yang telah mempelajari dan mendapatkan ilmu memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan dan mengajarakannya. Ilmu yang didapatkannya adalah pemberian dari Allah dan hendaknya dikembalikan ke jalan Allah dengan cara mengamalkan dan mengajarkan supaya lebih banyak orang yang merasakan manfaat dari ilmu tersebut.

Ilmu yang didakwahkan itu akhirnya akan mengantarkan orang-orang yang mempelajarinya kepada sumber ilmu yang satu yaitu Allah. Dengan begitu gema tauhid semakin kuat suaranya ke berbagai lini kehidupan. Wallahu a’alam bi ash-shawwab.


 



Sumber Referensi :

[1] Syed Muhmmad Naquib Al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam

[2] (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

[3] Imam Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, (Darul Minhaj, 2004), h. 64

[4] Hadits ‘Arbain Nawawi, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim

[5] Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Berinteraksi dengan al-Qur’an, terj. Karthur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar:2003), h.16-19



POINT CENTER 

0 comments:

Post a Comment