Social Bar

Popunder

Monday, February 24, 2025

Prof. Dr. KH Abdul Kahar Mudzakkir

 Prof. Dr. KH Abdul Kahar Mudzakkir






Prof. Dr. KH Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973) adalah seorang tokoh Islam, aktivis, guru, dan pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai Rektor Magnificus pertama Universitas Islam Indonesia (UII). 


Pendidikan dan Karier  

- Lahir di Kotagede, Yogyakarta pada 16 April 1907

- Menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah Kotagede, Pesantren Mambaul Ulum Solo, Pesantren Jamseren Solo, dan Pesantren Tremas Pacitan

- Melanjutkan pendidikan ke Fakultas Darul Ulum Universitas Fuad di Kairo

- Aktif di berbagai forum kemahasiswaan Indonesia

- Mendirikan Jamiyyat yubban al-Muslimin atau Persatuan Pemuda Muslim Sedunia

- Mendirikan Perhimpunan Indonesia Raya



Peran dalam perjuangan kemerdekaan 

- Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

- Aktif memperkenalkan perjuangan kemerdekaan Indonesia ke Timur Tengah

- Bertindak sebagai Sekretaris Kongres Islam se-Dunia di Baitul Maqdis (Palestina)



Peran Dalam Muhammadiyah 

- Direktur Madrasah Mualimin

- Aktif di Pemuda Muhammadiyah dan Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU)



Penghargaan 

Pada 8 November 2019, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Prof. Dr. KH Abdul Kahar Mudzakkir



Prof. Dr. KH Abdul Kahar Mudzakkir

(Sang Jembatan Antar Pemikiran)

Beliau memang tokoh yg unik di dunia Islam Indonesia, karena menjadi jembatan pemahaman & pemikiran bagi dua ormas terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. 


Abdul Kahar Mudzakkir dilahirkan di daerah Playen, Gunung Kidul pd tgl 16 April 1907. Abdul Kahar Mudzakkir adalah anak dari pasangan KH Mudzakkir dan Nyai Chotidjah. 

KH Mudzakkir sendiri adalah anak dari KH Abdullah Rosyad dan merupakan anak dari Kyai Hasan Besari, yg menjadi salah satu panglima militer dari Pangeran Diponegoro untuk daerah Kedu. 

Beliau tumbuh besar di Kotagede yg saat itu adalah satu pusat ekonomi & salah satu pusat kajian Islam terkemuka di Jawa. 


KH Mudzakkir sendiri adalah kakak dari KH Muhammad Munawwir, yg merupakan pendiri pondok pesantren Krapyak, sehingga Abdul Kahar Mudzakkir adalah keponakan langsung dari KH Muhammad Munawwir. Bahkan Abdul Kahar Mudzakkir ikut mengaji & mempelajari ilmu al-Qur’an langsung dari pamannya selama beberapa tahun.


Abdul Kahar Mudzakkir kemudian melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren Tebu Ireng, di bawah bimbingan langsung KH Hasyim Asy’ari selama 14 bulan. Studinya di Tebu Ireng inilah, yg mengantarkannya pd persahabatan erat dg KH A. Wahid Hasyim. 


Beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Tremas di Pacitan & pondok pesantren Jamsaren di Surakarta. Ketika berusia 17 th, beliau belajar di Kairo & menyelesaikan studinya di Universitas al-Azhar pd th 1927. Beliau pulang ke Indonesia pada 1938.


Beliau pernah menjadi anggota Shumubu hingga th 1945. Sebagai salah satu orang yg berpengaruh di dunia Islam Modernis Indonesia, beliau diangkat menjadi anggota Tim Sembilan bersama koleganya yg mewakili kaum tradisionalis, KH A. Wahid Hasyim. 

Tercatat beliau pernah menjabat rektor pertama dari Universitas IsIam Indonesia (1948-1960) & guru besar di situ. 


Beliau wafat pada 2-12-1973 dan dimakamkan di TPU Boharen, Kotagede. 

Beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2009. Prosesi pemakaman dari masjid Agung Kotagede.



Mengenang Pahlawan Nasional, Beliau Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir


Massa yang mengantar jenazah almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir. Foto: Muhibbah Penelitian dan Pustaka HIMMAH, Desember 2, 2022


Naskah “Mengenang Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 7/Thn. IX/1975 halaman 4-8, 28, dan 32. 

Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk memperingati 49 tahun kepulangan A. Kahar Muzakkir. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.

Dua tahun yang lalu, tepatnya 2 Desember 1973, kita bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpin, pejuang kemerdekaan yang dengan segala dayanya mempersiapkan kemerdekaan bangsa. Beliau adalah Prof. Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang penanda tangan naskah Piagam Jakarta.

Ketika upacara mengantar jenazah beliau ke peristirahatannya yang terakhir, betapa kabut duka menutupi Kota Yogyakarta dengan puluhan ribu massa yang tersendat-sendat menahan tangis mengiringi kepergian beliau.

Tiada upacara kebesaran yang sebenarnya patut kita lakukan untuk menghormati kepergian beliau, juga tak ada sesuatu yang berarti yang dilakukan oleh pemerintah untuk melepas kepergian beliau. Tapi justru dalam upacara yang sederhana inilah kesan tentang kebesaran beliau semakin terasa.

Almarhum dilahirkan pada 1907 di Kampung Gading sebelah selatan Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta, dibesarkan di Kampung Selokraman, Kotagede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta. Pada waktu kecilnya beliau dikenal dengan nama Dalhar.

Ibu Almarhum bernama Khotijah dan ayahnya bernama H. Muzakkir–kakak dari H. Munawir seorang ulama dan pendiri Pondok Krapyak sebelah selatan Yogyakarta. Beliau adalah cicit dari Kyai Hasan Bashori seorang guru agama dan seorang pemimpin Tarekat Syattariyah yang pernah menjadi Komandan Laskar Pangeran Diponegoro dan ikut dibuang bersama Pangeran Diponegoro yang kemudian wafat di Tondano, Minahasa.

Mula-mula beliau disekolahkan di SD Muhammadiyah Selokraman, Kotagede. Setelah tamat, kemudian pindah ke Pondok Pesantren Gading dan Pondok Krapyak untuk mendapatkan pelajaran agama Islam masa itu.

Dari Pondok Krapyak, beliau melanjutkan dan menjadi santri Pondok Jamsaren di Sala, di bawah asuhan K.H. Muhammad Idrus, di samping menjadi siswa di Madrasah Mamba’ul ‘Ulum.

Selama di Sala, beliau selalu didorong-dorong oleh gurunya seorang tokoh Muhammadiyah, K.H. Mukti, agar setamatnya nanti mau meneruskan studinya ke Saudi Arabia atau ke Mesir. Rupanya saran gurunya tersebut ditanggapi beliau secara serius.

Tahun 1924 setelah beliau tamat di Sala, bersama dengan kakaknya, Makmur, meninggalkan tanah air untuk ibadah Haji. Selesai menunaikan ibadah haji beliau tetap bermukim di Mekkah guna menuntut ilmu. Akan tetapi karena pada masa itu terjadi perang saudara antara kerajaan Saudiyah dengan kerajaan Arab, maka beliau pun pindah studi ke Al Azhar, Kairo, Mesir.

Tahun 1927 Gerakan Pelajar Indonesia di Kairo mengadakan anjuran baru, agar para pelajar Indonesia yang di Kairo jangan hanya belajar di Al-Azhar saja, hendaknya mereka ada juga yang masuk sekolah atau perguruan lain agar dapat menyongsong hari depan Indonesia merdeka dalam segala bidang. Sejak adanya seruan inilah kemudian Prof. Kahar pindah dari Al-Azhar ke Universitas Darul Ulum.


Jenazah diusung menuju tempat peristirahatan terakhir. Foto : Muhibbah


Selama 13 tahun di Mesir, beliau termasuk pemuda yang aktif berjuang bagi kemerdekaan Indonesia dan bagi kebangkitan kembali dunia Islam. Beliau aktif di dalam perjuangan untuk Palestina, yang ketika itu masih berada dalam mandat Inggris bersama dengan Yordania.

Di Kairo beliau tinggal bersama pemuda sekotanya yaitu Rasyidi yang kini telah menjadi seorang profesor pula. Beliau tinggal dirumah pelayan suatu terrace building kepunyaan Kementrian Wakaf Mesir. Di rumah ini beliau sibuk menerima tamu dari segala bangsa seperti Mesir, Palestina, Syria, Polandia, dan Yugoslavia.

Tahun 1930 seakan-akan beliau menjadi lambang Indonesia di timur tengah. Beliau tidak saja aktif memperkenalkan perjuangan kemerdekaan Indonesia di luar negeri, tapi juga aktif mengikuti perkembangan di tanah air. Beliau mendirikan dan memimpin Perhimpunan Indonesia Raya yang sejajar kegiatannya dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan menjadi Sekretaris Jendral Jamaah Al-Khairiyah.

Atas persetujuan Pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia dalam kongres Islam sedunia di Baitul Maqdis. Kongres dipimpin oleh mufti besar Palestina Sayyid Amin Al Husaini dan Prof. Kahar Muzakkir sebagai sekretaris.

Pada tahun 1932 beliau bertindak sebagai anggota redaksi dan administrator surat kabar Ashoura yang dipimpin oleh Muhammad Ali al-Tahir. Mulai tahun ini beliau banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia pada beberapa surat kabar seperti Al-Ahram, Fajar Asia, Al Hajat, Sedio Tomo dan Aksi. Dan juga menerbitkan Seruan Azhar bersama sama dengan Fathurrahman dan Prof. Farid Ma’ruf.

Sebelum ada Duta Besar Indonesia di dunia Arab, maka pada tahun 1930-1936 beliau berperan sebagai duta besar di sana. Misalnya saja: ketika Dr. Soetomo datang ke Kairo pada 1934, beliaulah yang mempersiapkan segala sesuatunya laksana duta besar mempersiapkan kedatangan kepala negaranya.

Tahun 1936 beliau dan Prof. Rosyidi selesai dari studinya di Darul Ulum, lalu kembali ke Indonesia.

Sejak tahun 1938, beliau terus aktif di Muhammadiyah dan diangkat sebagai Direktur Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, Pengurus Majlis Pemuda, Majlis PKU Muhammadiyah bersama Prof. Dr. Hamka dari 1953 hingga akhir hayatnya.

Di bidang politik, beliau pernah aktif bersama Prof. Dr. H.M. Rosyidi, K.H. Mas Mansoer dan Prof. K.H Farid Ma’ruf dalam Partai Islam Indonesia (PII) yang diketuai oleh Dr. Soekiman Wiryosanjoyo almarhum dan Sekretaris jendralnya bekas Rektor UII, Mr. Kasmat Bahuwinangun. Karena keaktifan ini, maka beliau diangkat untuk menjadi Ketua Delegasi Islam Indonesia ke Tokyo bersama Mr. Kasmat Bahuwinangun dan Abdullah al-Amudy dari Al-Irsyad Surabaya.

Bersama-sama dengan 8 orang temannya yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo Wachid Hasyim dan Mr. Muhammad Yamin, ia membuat pernyataan kepada pemerintah Jepang yang dikenal dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 di mana pernyataan ini kemudian dipakai sebagai dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang kini kita pakai bersama.

Pecahnya Perang Pasifik 1941 dan jatuhnya Pemerintahan Hindia Belanda kepada Jepang (1942-1945), maka seluruh partai Indonesia dibubarkan, kecuali 4 organisasi Islam yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perikatan Ummat Islam (PUI), dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). Keempat organisasi ini merupakan anggota federatif Majelis Islam A’la Muslimin Indonesia (MIAMI) yang kemudian berubah jadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Dalam Musyawarah Masyumi dengan tokoh-tokoh keempat organisasi ini, terbentuklah panitia perencanaan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada April 1945. Panitia ini diketuai oleh Drs. Moh. Hatta; Wakil Ketua Mr-Soewandi; Sekretaris Dr. Ahmad Ramli; anggotanya masing-masing KH. Mas Mansoer, KHA. Wachid Hasyim, KHA. Fathurrachman Kafrawi, Prof. K.H. Farid Ma’ruf, Prof. KHA. Kahar Muzakkir dan Karto Sudarmo.


Keluarga yang ditinggalkan. Foto: Muhibbah


Pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 (bertepatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad), bertempat di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Menteng, Jakarta Selatan dibukalah dengan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) dengan rektornya Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir dan Bung Hatta sebagai ketua Dewan Kuraktor. Periode Jakarta (1945-1946) ini mempunyai dua fakultas yaitu Fakultas Agama dan Fakultas Ilmu Sosial.

Ketika Ibu Kota Pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta tahun 1946, berdasarkan pertimbangan objektif, STI pun ikut berhijrah ke Yogyakarta pada 10 April 1946. Rektor dan Badan Kuraktornya tetap dijabat beliau dan Bung Hatta. Pada saat ini kuliah kurang lancar karena hampir seluruh pengurus, dosen, dan mahasiswanya ikut bergerilya.

Akhir November 1947 terbentuk Panitia Perbaikan STI di mana beliau bersama almarhum KHA Fathurrahman Kafrawi sebagai anggota. Dalam sidangnya akhir Februari 1948, panitia memutuskan untuk mengubah nama STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dan berkedudukan di Yogyakarta. Pada saat itu UII mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ekonomi. Selain itu panitia telah berhasil menyusun Dewan Pengurus Pusat UII. Tahun 1947-1948 beliau selain rektor UII juga merangkap sebagai Dekan Fakultas Agama.

Akibat perang kedua UII terpaksa ditutup. Namun demikian beliau sebagai rektor UII tetap menyelenggarakan dies natalisnya yang ke-IV di Tegalayang, Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam suasana gerilya dan keprihatinan. Beliau sendiri membacakan sambutan dies natalisnya berjudul “Dasar-dasar Sosialisme Dalam Islam” dan Ustadz Sulaiman memberikan kuliah umum dengan judul “Sejarah Penyiar Aran Nasroni di Indonesia”. 

Setelah DIY kembali di tangan RI pada September 1949, kuliah-kuliah dibuka kembali di UII untuk semua fakultas.

Sementara itu pada 20 Februari 1951 terjadi penggabungan antara UII Yogyakarta dengan PTII Surakarta dengan nama UII di mana mempunyai lima fakultas yakni Fakultas Hukum, Agama, Pendidikan dan Ekonomi di Yogyakarta dan Fakultas Hukum di Surakarta.

Selanjutnya Fakultas Pendidikan UII Yogyakarta diambil alih oleh Universitas Gadjah Mada yang kemudian menjadi IKIP sekarang ini (Universitas Negeri Yogyakarta). Sedang untuk Fakultas Agama UII oleh Kementerian Agama pada 22 Agustus 1950 diambil alih yang selanjutnya 26 September 1951 menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan seterusnya 1960 menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga sekarang ini.

Almarhum Prof. Abdul Kahar Muzakir selalu aktif dalam kegiatan di UII. Atas nama UII beliau menghadiri pertemuan antar perguruan tinggi Islam se-Indonesia di Jakarta pada 12 sampai 15 Juni 1954. Selain itu aktif pula dalam panitia persiapan PTAIN tahun 1950 yang diketuai KHR Fathurrahman Kafrawi. Tahun 1955 menjadi presidium panitia penerbitan buku peringatan 10 tahun UII. Tahun 1957 menjadi ketua panitia perencana ijazah. Rencana UII bersama-sama Mr R. Santosa, Drs. Hindarsah Wiratmaja (mantan Rektor UNPAD Bandung) dan Moh. Fahrurozy.

Kemudian pada 1957 ini pula beliau menjadi anggota panitia pembentukan program studi di Fakultas Hukum UII yang diketuai Prof. Mr. Kasmat Bahuwinangun dan berhasil menetapkan jurusan: Ketatanegaraan, dengan ketua Drs. Lafran Pane; Kepindahan ketua Mr. Roeslan Saleh; Kepeperdataan ketua Mr. R. Soeroto; dan Hukum Islam ketua beliau sendiri. Selain itu pula berhasil disusun kurikulum yang disamakan dengan kurikulum Universitas Gadjah Mada ditambah dengan kekhususan UII.

Pada tahun 1956 beliau menjadi Ketua Panitia Usaha Pengakuan UII yang bertugas memperjuangkan ijazah UII kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dipercayai sebagai Ketua Senat dan Rektor UII sejak 1955 sampai 1960. Setelah tahun 1960 beliau memangku jabatan Dekan Fakultas Hukum UII sampai akhir hayatnya.

Dalam masa perjuangan pernah menjadi pemimpin Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta khusus dalam pembinaan mental anggotanya. Karena keberaniannya bertempur melawan Belanda, maka beliau diberi penghargaan dari almarhum Jendral Sudirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang politik. Beliau aktif dalam Masyumi dan pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP); ketua umum Masyumi Wilayah Yogyakarta; dan menjadi anggota konstituante dari Fraksi Masyumi.

Berbincang-bincang antar Rektor Al-Azhar dengan Rektor UII di kampus UII. Foto: Muhibbah

Ketika Punjab University di Lahore mengadakan seminar Islam yang besar dan mengundang para orientalis, sarjana dan ahli fikir, beliau ikut menghadirinya bersama Prof. Hasbi Ashshiddeqy dan Prof. Dr .H.M. Rasyidi yang saat itu menjadi Duta Besar RI untuk Pakistan.

Atas undangan Universitas Al-Azhar, maka bulan Maret 1970 beliau menghadiri Mu’tamar Ulama Islam sedunia. Pulangnya beliau berkesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Yordania, Yaman Selatan, Saudi Arabia, Lybia, Kuwait, Thailand dan Malaysia, untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Islam setempat.

Di Saudi Arabia beliau sempat melaksanakan ibadah haji dan di Yordania bertemu dengan Yasse Arafat dan sempat meninjau dari dekat Front Yordania. Satu setengah tahun kemudian atau tepatnya 12 Desember 1971, beliau pergi ke Lybia untuk memberikan prasaranannya pada Mu’tamar Da’wah Islam, yang dihadiri ulama dan sarjana dari 20 negara. Dalam seminar ini beliau sempat berjumpa dengan pemimpin Islam Jepang Prof. Abdul Karim Saito, dll.

Pada tahun 1972 beliau mengunjungi Aljazair dan Maroko dan melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk menghadiri Muktamar Organisasi Islam Internasional yang diadakan 13-16 Februari 1972.

Kehadiran beliau ini mewakili Muktamar Alam Islamy. Pulangnya ke tanah air melalui Malaysia untuk bertemu dengan bekas Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman, Sekretaris Jenderal Negara-negara Islam.

Beliau seorang yang lemah lembut, menghargai orang lain, setia kepada teman serta hormat kepada tamu, sekalipun jauh di bawah usianya dan jabatannya. Beliau sangat ulet dan setia serta amat sederhana. Tidak segan pulang pergi memberi kuliah, ke pertemuan-pertemuan naik andong bersama-sama dengan bakul (pedagang) pasar Beringharjo atau hanya naik Ducati (bromfiets) tua yang seharusnya pensiun.

Sampai saat meninggalnya beliau tetap menghuni rumah kuno peninggalan nenek beliau 75 tahun yang lalu dan tidak meninggalkan tabungan untuk keluarga yang ditinggalkan. Demikian pula beliau tidak canggung tidur di pondok tempat berkumpulnya para santri atau tidur di rumah yang sangat sederhana tempat beliau berdakwah.

Beliau tetap gembira walaupun tidak mempunyai tanda jasa yang disematkan di dadanya pada upacara-upacara. Salah satu kesukaan beliau adalah menziarahi teman-temannya, sehingga banyak sahabat-sahabatnya berasal dari berbagai golongan dan tingkatan. Ia menziarahi pondok-pondok pesantren di Jawa, Sumatera, dan sebagainya tanpa membedakan yang diasuh kyai Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

Beliau sangat senang sekali diziarahi taman-temannya, sangat senang menerima tamu. Hari Jumat adalah hari libur bagi beliau dan khusus digunakan untuk menerima tamu. Kalau tiba waktu makan, sang tamu belum boleh pulang sebelum ikut makan lebih dahulu. Apapun lauknya tak segan menghidangkan.

Beliau seorang pemimpin yang sangat berwibawa dan sangat dicintai mahasiswanya dan lagi pula beliau banyak humornya. Itulah sebabnya para mahasiswa sangat dekat sekali dengan beliau. Hubungan beliau dengan mahasiswa ibarat seperti bapak dan anak.

Khusus di UII beliau adalah satu-satunya orang yang paling setia membina, membimbing dan mengembangkan universitas dengan segala suka dan dukanya.

Karena hampir seluruh waktu beliau digunakan untuk aktivitas organisasi, maka tidak ada waktu untuk mengarang. Sebagai akibatnya, tidak banyak ilmu beliau yang sempat dicetak untuk bacaan umum sebagaimana yang dilakukan Prof. Dr. H.M. Rosyidi, Prof. Hasbi dan Prof. Hamka.


Massa yang mengantar almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir. Foto : Muhibbah


Yang ada hanyalah diktat dari mata pelajaran yang beliau berikan di Fakultas Hukum Ull mengenai Hukum Islam dan Kenegaraan Islam. Yang diketahui dengan pasti hanya lima buah buku terjemahan beliau. Pertama buku karangan Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa, guru besar Syari’ah Islamiyah Universitas Ainusyi-Syams, Kairo, berjudul Al Madkhal Li Dirasatil Fiqh Al Islami (Pengantar untuk mempelajari Syari’ah Islamiyah).

Kedua karangan Abdul Fatah Hasan, wakil hakim tinggi Majlis Daulat di Kairo berjudul Mitsaqatul Uman Asy-Syu’uh (piagam bangsa-bangsa dalam Islam). Ketiga buku Syah Muh. Abu Zaaroh berjudul Al-‘Alaqatul Dauliyah Lil Islamy (hubungan antar negara dalam Islam).

Keempat buku milik Prof. Sajjid Musthofa Darwisj, hakim pada Majlis Daulah di Mesir berjudul Islam dalam Menghadapi Kapitalisme dan Sosialisme. Lalu yang kelima oleh Dr. Ahmad Sjalabi, assisten guru besar di Fakultas Darul Ulum Universitas Cairo berjudul Politik dan Ekonomi dalam Pemikiran Islam. Kedua yang terakhir ini dipakai literatur di Fakultas Ekonomi UII.

Beliau telah pergi meninggalkan kita dalam usianya yang ke-67, dengan tanpa meninggalkan pesan apapun bagi kita yang ditinggalkan dan juga tanpa membawa apapun dari kita semua; tanpa bintang tanda jasa, tanpa gelar-gelar kehormatan; juga tanpa pangkat-pangkat sebagai tanda kebesaran.

Beliau telah pergi meninggalkan kita hanya dengan membawa amal ibadah beliau selama hidup di dunia yang fana ini, karena sesungguhnya beliau dan keluarganya tidaklah mengharapkan penghargaan apapun atas segala yang telah diperbuatnya untuk bangsa, negara yang dicintainya.

Akan tetapi kita sebagai bangsa yang besar, bangsa yang pandai menghargai jasa pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa tentunya tidak akan lupa untuk memberikan suatu penghormatan dan tanda rasa terima kasih atas jasa-jasa beliau.

Maka sewajarnyalah apa yang telah diusulkan oleh PII cabang Yogyakarta dan bapak Imam Suhadi S.H.–selaku anggota DPR RI–yang mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir.

Memang bagi beliau itu tiada berarti apa-apa tetapi bagi kita yang masih hidup, juga bagi generasi yang mendatang, hal itu akan berarti besar: berupa kesan bahwa kita adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Dua tahun sudah kita kehilangan beliau, kehilangan seorang pemimpin yang patut untuk digugu dan ditiru. Dan bagi keluarga besar UII kepergian beliau merupakan kehilangan seorang bapak, seorang pelopor pendiri universitas Islam tertua di bumi tercinta ini.

Semoga Allah SWT akan memberikan tempat di sisi-Nya sebagaimana Dia menempatkan seorang syuhada. Aamiin.


Penulis : 

MUHIBBAH/Harun Al-Rasyid
Pengalih media: HIMMAH/Zalsa Satyo Putri Utomo dan Pranoto


Kendaraan Kerajaan Pembesar Majapahit

 Kendaraan Kerajaan Pembesar Majapahit




Gunakan Kereta Kencana Berhias Emas, Kereta kencana yang ditarik hewan memiliki peran penting dalam menunjang mobilitas pejabat Kerajaan Majapahit. Dengan ’’kendaraan dinas’’ yang diberi hiasan sedemikian rupa itulah, raja dan para pembesar melawat ke daerah kekuasaan.


Eksistensi sarana transportasi darat era Majapahit terdokumentasi dalam banyak catatan sejarah. Seperti perjalanan rombongan Raja Hayam Wuruk yang menaiki pedati dari ibu kota di Trowulan, Mojokerto, ke Lumajang pada 1359. 

Perjalanan ini didokumentasikan Mpu Prapanca dalam Kitab Negarakertagama. ’’Hayam Wuruk dan para menteri menaiki kereta yang mempunyai lambang berbeda-beda,’’ tutur Pamong Budaya Pertama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim Tommy Raditya Dahana.


Perjalanan darat itu melibatkan iring-iringan ratusan pedati bertenaga gajah, kuda, dan sapi. Perjalanan itu berlangsung selama 10 minggu atau 2,5 bulan dan melewati 210 desa dengan luas cakupan wilayah mencapai 15 ribu mil persegi.


 Tommy menjelaskan, kereta yang ditarik hewan perkasa itu dirakit dengan kokoh. Hal ini untuk menyesuaikan fungsinya dalam menopang beban berat hingga ratusan kilogram serta perjalanan jauh selama berbulan-bulan. Bagian yang tak kalah penting dari pedati pejabat kerajaan adalah rangkanya. Tulang kereta terbuat dari kayu dengan penguat logam. ’’Material besi ini juga terdapat pada roda kayu terpasang di kedua sisi,’’ tuturnya.


Layaknya plat nomor kendaraan di era sekarang, pedati masing-masing pejabat juga dibedakan.Tommy mengungkap, kereta raja biasanya hanya ditarik dengan gajah atau kuda. Kendaraan milik Raja Hayam Wuruk yang jumlahnya tak terhitung memiliki tanda buah maja di kedua sisinya. ’’Lambang ini menjadi pembeda kereta raja dengan para bawahannya,’’ tandasnya.


Sebagaimana gambaran dalam Negarakertagama, kereta kencana yang dinaiki raja berbentuk tandu lebar yang lapang. Kendaraan mewah ini dihiasi nuansa keemasan lengkap dengan permata mutu manikan. Sedang tudung kajangnya diberi tirai tenun gringsing yang berperada emas.


Ciri-ciri ini setidaknya berbeda dengan pedati milik para pejabat tinggi. Misalnya, kereta pasukan Majapatih Gajah Mada yang memiliki lambang tumbuhan pulutan serta kereta milik Ratu Pajang Bergambar matahari yang bergemerlapan. Sementara itu, simbol lain didapati pada kereta Ratu Lasem yang berlukiskan banteng putih. Adapun Ratu Daha memiliki kereta bertanda bunga daha dengan latar keemasan,sedang kereta rombongan Ratu Kahuripan dihiasi taburan bulatan bercorak merah dan putih.




Sunday, February 23, 2025

Megawati Coba Barter Perkara Hasto dengan Ikut Retret, Absurd ! Oleh : Andre Vincent Wenas

 Megawati Coba Barter Perkara Hasto dengan Ikut Retret, Absurd !

Oleh : Andre Vincent Wenas

Ditulis ulang oleh POINT CENTER 


Foto: Andre Vincent Wenas, MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.


Tiba-tiba muncul berita bertajuk, “Muncul Isu Penangguhan Penahanan Hasto Ditukar Retret, Pengacara: Bukan Bahasan Kami” (DetikNews, Minggu, 23 Feb 2025 pukul 21:39 WIB). Fenomena ini membuktikan satu hal penting, bahwa PDIP-lah yang selama ini melakukan politisasi hukum. 


Memang beredar isu penangguhan (penundaan) keikutsertaan retret kepala daerah kader PDIP itu mau ditukar dengan persetujuan penangguhan penahanan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. 


Kalau benar, permintaan atau persyaratan pihak PDIP ini sangatlah absurd. 


Menurut pengertiannya kata absurd itu adalah suatu kata sifat yang berarti tidak masuk akal, mustahil, konyol, atau menggelikan. Absurd berasal dari kata Latin absurdus yang artinya "di luar batas" atau "tidak masuk akal". 


Kasus Hasto yang ditahan KPK adalah sesuai aturan untuk diproses lebih lanjut. Tim hukum PDIP sudah dipersilahkan untuk mengajukan keberatan atau tindakan lain sepanjang berada dalam koridor aturan yang berlaku. 


Tapi rupanya teguran Gus Dur dulu terhadap Megawati masih berlaku sampai sekarang, “…kepemimpinan Megawati tidak menghargai kedaulatan hukum melainkan penyelesaian politik.” 


Menurut uraian DetikNews, isu mengenai pertukaran retret kepala daerah kader PDIP dengan penangguhan penahanan Hasto itu beredar di sosial media. Dalam kabar beredar itu, disebutkan kepala daerah akan diijinkan bergabung ke retret pada Senin, 24 Februari 2025 setelah penahanan Hasto ditangguhkan. 


Kalau benar demikian ini merupakan skandal yang amat sangat memalukan dan amat melecehkan supremasi hukum. Terminologi yang sering diucapkan oleh Hasto sendiri, yaitu politisasi hukum. 


Walau pun secara formal saat dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail mengaku tidak tahu menahu mengenai kabar tersebut. Katanya tim hukum Hasto tidak ikut-ikutan saat membicarakan soal retret kepala daerah di Magelang. 


Entah ke arah mana permintaan penangguhan penahanan Hasto ini ditujukan. Apakah minta Presiden Prabowo agar cawe-cawe soal penahanan Hasto ini, atau ke KPK? Atau ke Jokowi? Tidak jelas, karena memang semakin ngawur. 


Yang jelas Megawati memang ngamuk dan ngambek, sampai akhirnya mengeluarkan surat nomor 7294/IN/DPP/II/2025 perihal Instruksi Harian Ketua Umum. Surat instruksi yang terbit usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. 


Di surat itu Megawati meminta kepala daerah yang telah berangkat menuju retreat untuk berhenti hingga adanya perintah selanjutnya. Surat tertanggal 20 Februari 2025 tersebut langsung ditandatangani oleh Megawati sendiri. 


Aneh juga, biasanya Hasto atau Megawati yang selalu berseru-seru mengenai pelanggaran menyangkut politisasi hukum, sekarang malah mereka sendiri yang memolitisasi perkara hukum. 


Kasihan sebetulnya para kepala daerah dari PDIP yang masih terombang-ambing di sekitaran Akademi Militer Magelang. Ibaratnya sudah sangat dekat lokasi tapi tidak bisa masuk ke lokasi. 


Mereka keleleran di warung kopi (café) sekitaran situ. Akhirnya diakomodasi di kantor DPD PDIP Yogyakarta. Mereka seperti anak-anak SD yang dihukum kepala sekolah tidak boleh masuk kelas. Lalu nongkrong di sekitaran pagar sekolah. 


Kader-kader PDIP yang ada di dalam dan sudah ikut retret sejak awal maupun mereka yang masih disetrap di luar komplek Akmil Magelang sama-sama seperti orang linglung ketika ditanya wartawan. 


Ada yang masih mau menjawab walau jawabannya sumir, ada yang malah tidak mau menjawab sama sekali. Bungkam, silence is golden pikirnya. 


Menurut Wamendagri Bima Arya, mereka yang ikut retret full sejak awal bakal dapat sertifikat kelulusan. Sedangkan yang absen dan baru ikut nanti hanya dapat sertifikat tanda kepesertaan. 


Begitulah drama absurd penundaan keikutsertaan retret dengan drama penangguhan panahanan Hasto. Apakah sudah jelas keterkaitannya kedua kasus itu? Tentu tidak. 


Namanya juga absurd, alias tidak masuk akal, mustahil, konyol dan  menggelikan. Silahkan bingung. 


Jakarta, Senin 24 Februari 2025

Andre Vincent Wenas, MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.








In 2015, a routine construction project in Borujerd, Iran, led to the unexpected discovery of an ancient aqueduct system hidden beneath the remnants of a historic castle. This sophisticated network of clay pipes and pottery vessels showcased a remarkably advanced understanding of water management. The system is believed to date back to the Sassanian period (224-651 AD), though some experts suggest it could be even older. The materials and techniques used in the aqueduct indicate a high level of engineering skill, challenging our perceptions of ancient technology.

 In 2015, a routine construction project in Borujerd, Iran, led to the unexpected discovery of an ancient aqueduct system hidden beneath the remnants of a historic castle.

This sophisticated network of clay pipes and pottery vessels showcased a remarkably advanced understanding of water management.

The system is believed to date back to the Sassanian period (224-651 AD), though some experts suggest it could be even older.

The materials and techniques used in the aqueduct indicate a high level of engineering skill, challenging our perceptions of ancient technology.





Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :

Pada tahun 2015, sebuah proyek konstruksi rutin di Borujerd, Iran, menghasilkan penemuan tak terduga berupa sistem saluran air kuno yang tersembunyi di bawah sisa-sisa kastil bersejarah. Jaringan pipa tanah liat dan bejana tembikar yang canggih ini menunjukkan pemahaman yang sangat maju tentang pengelolaan air. Sistem ini diyakini berasal dari periode Sassania (224-651 M), meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa sistem ini mungkin lebih tua lagi. Bahan dan teknik yang digunakan dalam saluran air menunjukkan keterampilan teknik tingkat tinggi, yang menantang persepsi kita tentang teknologi kuno.




Albert Einstein's life advice in a letter to his son, Eduard : “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.”

 Albert Einstein's life advice in a letter to his son, Eduard : “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.”





Albert Einstein's life advice in a letter to his son, Eduard : “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.”

Saturday, February 22, 2025

Pernikahan bung Tomo dengan sulistina di kediaman mempelai wanita Lowokwaru Malang, 19 Juni 1947

 Pernikahan bung Tomo dengan sulistina di kediaman mempelai wanita Lowokwaru Malang, 19 Juni 1947




Pernikahan bung Tomo dengan sulistina di kediaman mempelai wanita Lowokwaru Malang, 19 Juni 1947.

Friday, February 21, 2025

Legalitas Pemerintah

 Legalitas Pemerintah




Legalitas pemerintah adalah asas yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam negara hukum. 


Tujuan asas legalitas Melindungi hak asasi manusia, Menegakkan keadilan, Memberikan kepastian hukum, Membatasi kekuasaan pemerintah, Membangun kepercayaan masyarakat. 


Asas legalitas dalam berbagai bidang hukum :

- Dalam hukum tata negara, asas legalitas berarti penyelenggaraan negara dan pemerintahan berdasarkan konstitusi. 

- Dalam hukum administrasi negara, asas legalitas berarti pejabat menjalankan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

- Dalam hukum pidana, asas legalitas berarti tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan ketentuan pidana dalam undang-undang. 


Dasar asas legalitas di Indonesia

Di Indonesia, asas legalitas bersandar pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan : Negara Indonesia adalah negara hukum. 


Penjelasan :

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelaskan bahwa :

- Indonesia adalah negara hukum. Artinya, segala aspek kehidupan di Indonesia, termasuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, harus didasarkan pada hukum yang berlaku. 

- Konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum

- Setiap warga negara Indonesia terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

- Pemerintah harus menghormati hak-hak individu. 


Pemerintah harus melaksanakan tugas kenegaraan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. 

Barangsiapa melanggar norma hukum, maka dapat dijatuhi sanksi atau dituntut oleh pihak yang berwenang. 


Ciri-ciri negara hukum di Indonesia :

- Memiliki sistem ketatanegaraan yang sistematis.

- Sumber hukum di Indonesia adalah Pancasila.

- Seluruh aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan, dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.


UUD 1945 sebagai konstitusi negara :

UUD 1945 merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat segala hal mengenai penyelenggaraan negara. 



Artikel : POINT Center


Thursday, February 20, 2025

Universitas Brawijaya (UB) Melakukan Kerja Sama Dengan Berbagai Pihak Bidang Budaya

 Universitas Brawijaya (UB) Melakukan Kerja Sama Dengan Berbagai Pihak Bidang Budaya


https://pointcenter9.blogspot.com/2025/02/universitas-brawijaya-ub-melakukan.html


Universitas Brawijaya (UB) telah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam bidang budaya, seperti dengan Bank Jawa Barat (BJB), Tianjin Foreign Studies University (TFSU), dan National University of Singapore (NUS). 

Kerja sama dengan Bank Jawa Barat (BJB) 

FIB UB dan BJB menjajaki kerja sama strategis untuk mengembangkan Rumah Budaya Indonesia (RBI).

RBI diharapkan menjadi pusat riset budaya dan bahasa yang mendukung berbagai inisiatif akademik dan ekonomi kreatif di Malang Raya.

Kerja sama dengan Tianjin Foreign Studies University (TFSU) 

UB dan TFSU bekerja sama mendirikan RBI di Tianjin, Tiongkok.

RBI di Tianjin diharapkan memperkaya dan meningkatkan pemahaman budaya antara Indonesia dan Tiongkok.

UB dan TFSU juga berencana mengembangkan program pembelajaran bahasa dan pusat tes Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).

Kerja sama dengan National University of Singapore (NUS) 

FIB UB dan NUS bekerja sama dalam digitalisasi warisan kebudayaan Kota Malang.

FIB UB menjadikan digital humanities sebagai center of excellence.

Kerja sama ini diharapkan dapat mempererat hubungan dan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok, serta memperkaya dan meningkatkan pemahaman budaya antara kedua negara. 


KLIK DISINI  :
https://www.tempo.co/internasional/universitas-brawijaya-akan-buka-rumah-budaya-indonesia-di-tianjin-cina-60588



Tanya jawab mencari kebenaran (infomasi valid) :

[19/2, 08.24] R. Tri Priyo Nugroho: Assalamualaikum warahmatullahi
Selamat pagi
Salam sejahtera selalu
[19/2, 08.24] R. Tri Priyo Nugroho: Derek perso
Tentang Lembaga kemasyarakatan Universitas yg berkerja sama dengan masyarakat.
Infonya universitas Brawijaya Malang kerja sama dengan organisasi dunia, seperti Unisco mengajak masyarakat menggali budaya & peradaban Nusantara.
Kemarin ada wartawan senior (67th), mengajak sy untuk membuat artikel sesuai reportase di lapangan.

Mohon sharing tentang hal itu ?
Suwun
[19/2, 08.25] R. Tri Priyo Nugroho: Adakah info program mengaten  ?
🙏🙏🙏
[19/2, 08.26] R. Tri Priyo Nugroho: Menawi leres wonten dalem tertarik dari penulisannya
[19/2, 08.32] Indarwanto Sadi Kusnomo Phd Malang (Hikmatologi): Wa'alaikumussalam ww
Mohon maaf saya sudah purna tugas dari UB sejak akhir 2023.

Monggo di googling di laman Fakultas Ilmu Budaya atau Wakil Rektor UV Bidang Kerjasama tks🙏🙏🙏
[19/2, 09.00] R. Tri Priyo Nugroho: Nggih matur nuwun
Informasinipun
🙏🙏🙏


[19/2, 06.35] R. Tri Priyo Nugroho: Assalamualaikum warahmatullahi
Selamat pagi
Salam sejahtera selalu
[19/2, 06.36] R. Tri Priyo Nugroho: Derek perso
Tentang Lembaga kemasyarakatan Universitas yg berkerja sama dengan masyarakat.
Infonya universitas Brawijaya Malang kerja sama dengan organisasi dunia, seperti Unisco mengajak masyarakat menggali budaya & peradaban Nusantara.
Kemarin ada wartawan senior (67th), mengajak sy untuk membuat artikel sesuai reportase di lapangan.

Mohon sharing tentang hal itu ?
Suwun
[19/2, 06.36] R. Tri Priyo Nugroho: 👍🙏🤝
[19/2, 08.29] Sapta: Wa'alaikumsalam.
Barangkali Mas Try bisa coba akses melalui web nya UB dulu, biar jelas.
Ngapunten, maturnuwun 🙏
[19/2, 08.29] R. Tri Priyo Nugroho: Siap

Cerita Panji (Kisah yang menyebar dari Jawa Timur hingga Thailand)

 Cerita Panji (Kisah yang menyebar dari Jawa Timur hingga Thailand)





Tarian panji yang disuguhkan Sanggar Asmoro Bangun Kedungmonggo dari Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu membuat ratusan hadirin di Kota Tua Jakarta, terpaku.

Meski tak semua paham dengan bahasa Jawa, gerakan lincah para penari yang diiringi gamelan membuat para penonton betah menyaksikan. Tarian tersebut merupakan bagian dari Festival Sastra ASEAN, ALF 2017, yang di dalamnya menampilkan Festival Budaya Panji. Menurut Tri Handoro, pemimpin Sanggar Tari Asmoro Bangun, kepada BBC Indonesia, tokoh utamanya adalah Raden Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggala dan Dewi Sekartaji alias Dewi Galuh Candra Kirana dari Kerajaan Kediri.

“Kisah-kisah Panji itu umumnya menceritakan pengembaraan Panji menemukan Dewi Sekartaji. Namun, dalam pengembaraan itu berkembang setidaknya 15 cerita. Intinya adalah roman, kisah percintaan.



Sejak era Majapahit

Kumpulan cerita Panji sejatinya dituturkan sejak jaman Kerajaan Majapahit. Seiring berjayanya kerajaan itu, cerita Panji pun menyebar ke berbagai daerah.

Cerita Panji populer sejak abad ke-13 kemudian menyebar ikut dengan Majapahit ke Bali, Lombok, dan Sulawesi Selatan. Cerita itu lalu menyeberang ke Malaysia. Di sana namanya hikayat. Kemudian cerita itu sampai ke Thailand, namanya Inao.

Penyebaran kisah panji ke mancanegara sejak berabad lalu diamini Nooriah binti Mohamed, peneliti budaya Jawa dari Universitas kebangsaan Malaysia.

Menurutnya, berdasarkan teks sejarah Melayu atau the Malay Annals, penyebaran kisah Panji ke Tanah Melayu dimungkinkan berkat perkawinan Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah, dengan putri raja dari Majapahit.

Sekarang ini masih ada keturunan Jawa di Malaysia. Mereka meneruskan budaya dan bahasa dari leluhurnya. Dalam hal ini, cerita Panji menjadi tradisi verbal yang diteruskan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.

Jejak cerita Panji di sejumlah daerah dapat ditelusuri melalui naskah-naskah kuno. Peneliti naskah-naskah ini adalah Roger Tol dari Universitas Leiden, Belanda.

Dia mengatakan terdapat lima manuskrip cerita Panji di Perpustakaan Negara, Malaysia; satu naskah di Perpustakaan Kamboja; 76 naskah di Perpustakaan Nasional, Indonesia; dan 250 naskah di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Naskah-naskah ini ditulis dalam bahasa setempat. Di Indonesia, misalnya, ada dalam bahasa Bugis, Jawa Kuno, Aceh. Kemudian bahasa Khmer di Kamboja dan bahasa Melayu di Malaysia. Yang tertua kami temukan itu dari tahun 1725, bahannya daun lontar.



Ingatan kolektif dunia

Festival Panji ini digagas Kementerian pendidikan dan Kebudayaan untuk mempopulerkan kumpulan cerita Panji yang mengisahkan percintaan dan peperangan pada era Kerajaan Kediri di Jawa Timur. Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia dan negara-negara lain untuk mengajukan naskah Panji ke lembaga UNESCO untuk dijadikan ingatan kolektif dunia.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, adalah salah seorang yang ditunjuk Kemendikbud untuk mengegolkan upaya tersebut. Dia mengatakan upaya itu turut disokong pemerintah Malaysia, pemerintah Kamboja, Universitas Leiden, dan Perpustakaan Nasional Inggris atau British Library.

Kami berharap naskah Panji dijadikan Ingatan Kolektif Dunia. Keputusannya Oktober mendatang. Di sini tidak ada negara yang mengklaim Panji itu miliknya.


Saat Indonesia dan sejumlah negara hendak menjadikan Cerita Panji sebagai Ingatan kolektif dunia, nyatanya khalayak tak banyak mengetahui kisah tersebut. Ini mendorong seorang pria bernama Dwi Cahyono membangun Museum Panji di Kabupaten Malang, Jawa Timur, selama tiga tahun terakhir.

Dia mengaku telah menghabiskan Rp30 miliar untuk mewujudkan impiannya.

Selain museum, saya ingin nanti ada tempat pertunjukan tari dan topeng Panji. Saya juga berencana membuat desa yang menggambarkan kehidupan Majapahit, lengkap dengan rumah-rumah serta aktor yang berbusana era Majapahit.



Tuesday, February 18, 2025

LOUE DJING TIE (Chino Meindring) Master Pendekar Kungfu Tanah Jawa Tempo Doeloe

 LOUE DJING TIE (Chino Meindring)

Master Pendekar Kungfu Tanah Jawa Tempo Doeloe 





Mindring yaitu jasa pembiayaan berupa jual beli secara kredit atau cicilan yang dapat diangsur sesuai kesepakatan kedua belah pihak biasanya dapat dibayarkan harian, mingguan dan bulanan. Praktik mindring memiliki 2 jenis objek transaksi yang ditawarkan yakni barang dan uang.


Kisah Pengembaraan Louw Djing Tie, Sang Pendekar Kungfu Tanah Jawa

Pada abad ke-19, pernah hidup seorang pendekar kungfu yang disegani di Pulau Jawa bernama Louw Djing Tie. Dia menguasai ilmu kungfu langsung dari para pendekar shaolin negeri Tiongkok. Walaupun ilmunya tinggi, dia dikenal rendah hati sehingga disegani baik kawan maupun lawan.


Di pusat Kota Parakan, sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, terdapat sebuah rumah tua yang besar. Di halaman rumah itu, tergantung sebuah sansak yang terlihat “memar” di banyak bagiannya.


Memasuki ke bagian dalam, terdapat berbagai macam senjata seperti toya, golok, tombak, dan trisula. Tak jauh dari dinding tempat senjata-senjata itu dipajang, terpampang foto seorang laki-laki tua dengan baju dan topi baret tua yang tak lain adalah pemilik senjata itu. Dia adalah Louw Djing Tie, seorang pendekar kungfu asal negeri Tiongkok yang mengembara ke Tanah Jawa pada abad ke-19.


Di Tanah Jawa, dia menjadi pendekar yang cukup disegani dan mendirikan sebuah perguruan kungfu. Lantas bagaimana sepak terjang Louw Djing Tie sebagai pendekar kungfu Tanah Jawa?


Louw Djing Tie lahir di Kota Haiting, Provinsi Hokkian, Tiongkok pada tahun 1855. Sejak kecil, Djing Tie sudah dikenal sebagai anak yang keras dan pemberani. Hampir tiap hari dia terlibat perkelahian dengan anak-anak sebayanya.


Beranjak dewasa, ia mulai berlatih kungfu pada salah satu perguruan di desanya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, ia dikirim ke Biara Shaolin di Songshan. Di perguruan inilah, kemampuan kungfu Djing Tie menjadi luar biasa. Bahkan ia sanggup mengalahkan dan membunuh seekor macan.


Merasa masih kurang ilmunya, ia kemudian berguru pada Biauw Tjin, seorang bhikku yang tinggal di Bukit Kouwshan. Dari sang guru, ia diajari cara menggunakan tenaga dalam dan tenaga luar. Ia juga belajar cara menggunakan benda-benda di sekitar menjadi senjata rahasia yang mematikan seperti melempar uang dan jangka, meniup jarum dan kacang hijau hingga menancap di sasaran, hingga tipu muslihat menggunakan selendang.


Karena suatu perbuatan hukum, Djing Tie melarikan diri dari Tiongkok ke Singapura. Di sana ia tinggal di sebuah toko dan mengajari kungfu para pegawai toko. Hanya beberapa bulan tinggal di Singapura, ia memutuskan untuk pergi ke Jawa. Di pulau Jawa ia menyambung hidup dengan cara berdagang mulai dari Batavia, Semarang, hingga pindah ke Kendal, dan akhirnya ke Ambarawa.


Di Ambarawa, Djing Tie mendirikan perguruan kungfu secara diam-diam. Saat itu, pemerintah kolonial melarang adanya perguruan bela diri. Di Ambarawa, dia sempat terlibat pertarungan dengan belasan serdadu yang berhasil ia kalahkan dengan tangan kosong.


Dari Ambarawa, ia pindah ke Wonosobo, lalu pindah ke Parakan. Selama masa-masa itu, ia sering kali terlibat pertarungan dengan para jagoan bela diri asal Tionghoa lainnya. Di Parakan misalnya, ia ditantang seorang guru kungfu yang disegani, The Soei, yang dikenal sangat kuat, memiliki tubuh tinggi besar, dan tenaga dalam yang hebat.


Djing Tie menerima tantangan The Soei. Dalam pertarungan itu, mereka sepakat tidak menggunakan senjata tajam untuk menghindari diri dari cedera. Mereka pun menggunakan kuas yang ujungnya diberi tinta untuk menandakan bagian tubuh mana saja yang berhasil diserang.


Kedua jagoan kungfu ini saling menyerang dengan sangat cepat. Beberapa kali ujung kuas Djing Tie berhasil mengenai daerah berbahaya di tubuh The Soei. Namun demi menjaga harga diri The Soei, Djing Tie sengaja tidak membuat tanda tinta di tubuh musuhnya. Justru ia membiarkan The Soei membuat tanda tinta di tubuhnya.


Soei yang merasakan sendiri keahlian kungfu Djing Tie kagum terhadap kerendahan hatinya. Pertandingan dinyatakan imbang. Namun The Soei menjadi sangat hormat pada kehebatan Louw Djing Tie.


Di Kota Parakan, Djing Tie membuka sebuah perguruan kungfu bernama Garuda Mas. Banyak orang yang berbondong-bondong tertarik menjadi muridnya. Namun sepeninggal Djing Tie, perguruan itu bubar.


Louw Djing Tie meninggal pada tahun 1921 di usianya yang ke-66 tahun. Meskipun perguruannya yang di Parakan bubar, namun murid-murid Djing Tie tersebar di seluruh Jawa dan mendirikan perguruan kungfu-nya sendiri-sendiri, salah satunya Perguruan Kungfu Garuda Emas Semarang yang ketuanya masih keturunan Louw Djing Tie.


Sumber referensi : 

- sahabatsilat.com

- Hiomerah.com

- Wikipedia.org

- Merdeka.com

PRO & KONTRA MAKAM SYEKH BENTONG (NDORO PAYUNG) DI GRESIK

 PRO & KONTRA MAKAM SYEKH BENTONG (NDORO PAYUNG) DI GRESIK




Di Gresik ada makam yang masih dalam perbincangan. Makam tersebut terkenal dengan nama Makam Ndoro Payung yang lebih diartikan dulunya itu adalah makam seorang Bangsawan yg selalu di payungi/dihormati ketika  berjalan. Kalo kita melihat nisannya cukup besar yg terbuat dari batu andesit. Jenis nisan tersebut biasanya utk menandai kalangan bangsawan atau bahkan keturunan raja.


Konon makam Ndoro Payung adalah maka  Syekh Bentong atau Syekh Bantiong (Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat) adalah seorang saudagar muslim sekaligus seorang ulama, Syekh Bentong putra Syekh Quro, putra Syekh Yusuf Siddik yang masih putra Syekh Jamaluddin Akbar al-Husain, datang dari Tiongkok bersama armada angkatan laut Kekaisaran Tiongkok dalam misi persahabatan. 


Dan sebelahnya adalah makam istrinya yaitu Siu Te Yo, ia mempunyai seorang puteri diberi nama Siu Ban Ci. puteri inilah yang diperistri oleh Prabu Brawijaya V Kertabumi Raja Majapahit. Dari perkawinannya dengan Siu Ban Ci, memperoleh putera yang diberi nama Jin Bun oleh Kakeknya. Jin Bun alias Praba alias Raden Hasan alias Raden Fatah.

Walahu'alam bishawab..





KONTROVESI MAKAM SYEKH BENTONG (NDORO PAYUNG) DI GRESIK

Di Gresik ada makam yang masih dalam perbincangan. Makam tersebut terkenal dengan nama Makam Ndoro Payung yang lebih diartikan dulunya itu adalah makam seorang Bangsawan yg selalu di payungi/dihormati ketika  berjalan.


Tetapi konon makam Ndoro Payung adalah maka  Syekh Bentong atau Syekh Bantiong (Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat) adalah seorang saudagar muslim sekaligus seorang ulama, Syekh Bentong putra Syekh Quro, putra Syekh Yusuf Siddik yang masih putra SyekhJamaluddin Akbar al-Husain, datang dari Tiongkok bersama armada angkatan laut Kekaisaran Tiongkok dalam misi persahabatan.


Pada tahun 1416 M, armada angkatan laut Tiongkok mengadakan pelayaran keliling, atas perintah Kaisar Cheng-Hu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam seorang muslim. Dalam rombongan armadanya, terdapat seorang Ulama Islam bernama Syekh Hasanudin berasal dari Campa, bermaksud berdakwah di Jawa. Dalam pelayaran menuju Majapahit, armada Cheng Ho singgah di Pura, Karawang. Ketika armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Hasanudin atau Syekh Quro dan pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang bernama Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.


Syekh Bentong selanjutnya tinggal di Gresik menjadi Saudagar dan da’i sampai meninggal. Dari istrinya Siu Te Yo, ia mempunyai seorang puteri diberi nama Siu Ban Ci, puteri ini yang diperistri oleh Prabu Brawijaya V Kertabumi Raja Majapahit. Dari perkawinannya dengan Siu Ban Ci, memperoleh putera yang diberi nama Jin Bun oleh Kakeknya. Jin Bun alias Praba alias Raden Hasan alias Raden Fatah selanjutnya menjadi Senapati Jin Bun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sajidin Panatagama menjadi Sultan Demak pertama.


Penemuan makam Ndoro Payung atau diduga makam Syekh Bentong memang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut agar bisa terkuak kebenarannya.


Walahu'alam bishawab..








Sunday, February 16, 2025

Petirtaan Sumberbeji Ngoro Jombang kolam pemandian keluarga raja sejak era Mpu Sindok hingga Kadiri & Majapahit.

 Petirtaan Sumberbeji Ngoro Jombang kolam pemandian keluarga raja sejak era Mpu Sindok hingga Kadiri & Majapahit.









Mpu Sindok adalah keturunan Maharaja Sanjaya pendiri Medang/Mataram di Jawa Tengah dan merupakan buyut dari Maharaja Airlangga pendiri Panjalu/Kadiri.


Pu Sindok atau Maharaja Isyana memindahkan Ibu Kota Kerajaannya dari bhumi Mataram (sekitar Prambanan Yogyakarta) ke Jawa bagian Timur di Tamwlang/Tambelang Jombang berlanjut ke Watugaluh/Megaluh Jombang (Prasasti Turyyan 929 Masehi & Prasasti Nganjuk Ladang 937 Masehi).




Prasasti Turyyan berada di Dukuh Watugodeg, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen Kabupaten Malang Jawa Timur. Prasasti ini berukuran tinggi 130 cm, lebar 118 cm, dan tebal 21 cm. Prasasti ini berisi bahwa pada bulan Śrawana tanggal 15 Śuklapaksa tahun 851 Śaka (24 Juli 929 Masehi), Dang Atu pu Sahitya, seorang dari Desa Kulawara, telah memohon kepada Sri Maharaja Rake Hino dyah Sindok Sri Isanawikramadharmatunggadewa (Mpu Sindok), agar diberi hadiah tanah untuk mendirikan suatu bangunan suci. Permohonan itu dikabulkan raja, dan diambilkan sebidang sawah di Desa Turyyan yang menghasilkan pajak sebesar 3 suwarna emas.


Pajak yang dihasilkan Desa Turyyan setahun adalah 1 kati dan 3 suwarna emas; yang 3 suwarna itulah yang dianugerahkan kepada Dang Atu. Ditambah lagi dengan sebidang tanah tegalan di sebelah barat sungai dan tanah di sebelah utara pasar Desa Turyyan.


Tanah yang di sebelah barat sungai itu untuk tempat mendirikan bangunan suci, dan penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari Air Luah; sedangkan tanah di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 suwarna emas itu, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya dijadikan sawah untuk tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.


Tanah pemberian ini sekarang menjadi wilayah di sebelah barat sungai dan di sebelah utara Pasar Turen. Di dalam prasasti ini juga disebutkan tentang pengaturan pajak dan perintah kerja bakti untuk membuat bendungan. Sisa pembangunan bendungan masih dapat ditemukan di Sungai Jaruman yang terletak di sebelah barat pasar Turen sekarang.


Dari bendungan ini dibuatkan saluran menuju ke tegalan di sebelah barat sungai. Saluran ini oleh masyarakat setempat disebut sebagai Kali Mati. Sedangkan nama desa (wanua) Gurung-gurung, sekarang menjadi Dusun Urung-urung yang terletak di Kelurahan Bakalan Krajan, Kecamatan Sukun, Kota Malang.


Sejarah Kota Solo, Mengapa Kota Surakarta Disebut juga Kota Solo.

 Sejarah Kota Solo, Mengapa Kota Surakarta Disebut juga Kota Solo.




Kota Surakarta, yang juga dikenal dengan nama Solo, memiliki sejarah panjang yang menarik mengenai asal-usul kedua nama tersebut. Nama "Surakarta" secara resmi digunakan ketika Paku Buwono II mendirikan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1745 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat pemberontakan. Nama ini diambil dari kata "Sura" yang berarti berani dan "Karta" yang berarti makmur, mencerminkan harapan agar kerajaan ini menjadi pusat kekuasaan yang berani dan makmur.


Namun, seiring berjalannya waktu, kota ini lebih dikenal dengan sebutan "Solo." Asal usul nama Solo konon berasal dari nama sebuah desa kecil bernama "Sala" yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, lokasi di mana keraton baru dibangun. Nama desa Sala ini kemudian berkembang menjadi "Solo" dan menjadi sebutan populer di kalangan masyarakat lokal. Selain itu, nama Solo lebih mudah diucapkan dan terdengar akrab di telinga rakyat dibandingkan dengan Surakarta yang terkesan lebih formal dan aristokratis.


Penggunaan dua nama ini terus berlangsung hingga sekarang. Secara administratif dan dalam dokumen resmi, kota ini tetap disebut Surakarta. Namun dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam budaya populer dan pariwisata, nama Solo lebih sering digunakan. Inilah yang membuat Surakarta unik sebagai kota dengan dua nama yang memiliki makna sejarah dan budaya yang mendalam.



Saturday, February 15, 2025

Ilmu Sejati

 Ilmu Sejati


https://pointcenter9.blogspot.com/2025/02/ilmu-sejati.html



Ahli ilmu yang sejati tidak hanya menyampaikan Al-Haq semau hati, akan tetapi ia juga mempertimbangkan apakah Al-Haq yang ia sampaikan sekarang dapat berdampak baik ?

Kita mungkin sering kali menjumpai orang-orang yang merasa telah berilmu sampai-sampai merasa apa yang ia sampaikan adalah yang paling haq (paling benar) karena yang ia sampaikan bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun janganlah terlalu gegabah menyampaikan sesuatu meskipun yang ia sampaikan berupa dalil Al-Qur’an dan hadis sahih. 

Bukan di situ letak permasalahannya, akan tetapi letak permasalahannya adalah sudah tepatkah apa yang ia sampaikan ? 

Apakah sesuai sasaran ?


Pertanyaan tadi setidaknya bisa menjadi hal yang perlu dipikirkan ulang apabila hendak menyampaikan suatu yang dianggap haq.

Coba kita telaah ulang, bagaimana teladan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan yang haq dari lisannya. Karena Rasulullah adalah seorang ahli ilmu sejati.

Rasulullah ketika menyampaikan segala sesuatu atau menjawab pertanyaan yang sedang dibingungkan oleh para sahabat, maka Rasulullah menjawab dengan tepat dan sesuai sasaran.

Ahli ilmu yang sejati itu tidak hanya menyampaikan haq semau hati, akan tetapi ia juga mempertimbangkan apakah Al-Haq yang ia sampaikan sekarang dapat berdampak baik atau buruk bagi yang mendengar.


Mari kita lihat contoh teladan Rasulullah dalam hadis berikut ini:


عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعاذٌ رَدِيفُهُ عَلَى الرَّحْلِ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ يَا مُعَاذُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثَلَاثًا قَالَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا

Dari Qatadah berkata, telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunggang kendaraan sementara Mu’adz membonceng di belakangnya. Beliau lalu bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Beliau memanggil kembali: “Wahai Mu’adz!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Hal itu hingga terulang tiga kali, beliau lantas bersabda: “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, tulus dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya neraka.” Mu’adz lalu bertanya, “Apakah boleh aku memberitahukan hal itu kepada orang, sehingga mereka bergembira dengannya?” Beliau menjawab: “Nanti mereka jadi malas (untuk beramal).” Mu’adz lalu menyampaikan hadits itu ketika dirinya akan meninggal karena takut dari dosa.” (HR. al-Bukhari)

Lihat dialog Nabi dengan Muadz. Nabi memberitahukan kepada Muadz bahwa barangsiapa mengucapkan kalimat syahadat, maka Allah akan mengharamkan neraka baginya (masuk surga). Mendengar itu lalu Muadz meminta izin untuk menyampaikan kebenaran tersebut dan sekaligus ingin menyampaikan kabar gembira tersebut kepada para sahabat.  Lalu lihat jawaban mengejutkan Nabi, Nabi menjawab “Jangan! Nanti mereka malas dalam beramal”.

Terlihat bahwa seorang ahli ilmu sejati tidak serta merta menyampaikan kebenaran dengan semau hati. Akan tetapi ia mengukur terlebih dahulu, apa dampak dari hal yang ia sampaikan. Hadis di atas menjadi contoh bahwa kebenaran harus disampaikan dengan melihat situasi dan kondisi yang tepat, meskipun yang ia sampaikan berupa kebenaran dan bahkan kabar gembira sekalipun.


Itu sebagai contoh pertama. Mari kita lihat lagi kasus lain dalam hadis berikut :


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Shafwan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah dari keluarga Ibnu Al Azraq bahwa Al Mughirah bin Abi Burdah dan ia dari Bani Abd Ad Dar, mengabarkan kepadanya bahwa dia telah mendengar Abu Hurairah berkata; Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata; “Wahai Rasulullah, kami naik kapal dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ia (laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud)

Mari kita ulang lagi cerita dalam hadis di atas, bahwa ada salah seorang sahabat yang merupakan seorang pelaut bertanya kepada Nabi untuk mencari tahu solusi fikih. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kami ini kalau berlayar di laut hanya bisa membawa air yang layak untuk diminum itu sedikit, kalau kami gunakan air minum tersebut untuk berwudhu maka kami akan kehausan (tidak bisa minum), kira-kira apa solusinya untuk kami wahai Rasulullah? Kemudian Nabi menjawab, “Air laut itu suci dan halal bangkainya.”

Coba kita analisis kalimat dari jawaban Nabi “Air laut itu suci dan halal bangkainya”, mengapa Nabi menjawab sampai menyebutkan kesucian air laut serta status bangkai? Padahal sahabat tidak menanyakan hukum kesucian air laut, dan sama sekali tidak menanyakan masalah bangkai.

Ternyata dari situ Nabi telah memahami kondisi sang penanya tadi bahwa kebutuhan si penanya (si pelaut) itu tidak hanya pada air wudhu atau air minum saja, akan tetapi ia juga membutuhkan makanan. Maka apabila si penanya suatu waktu mengalami kondisi kehabisan makanan, maka bangkai di laut itu dapat menjadi solusi jika tidak menjumpai satu makanan pun.

Dari situ juga terlihat sosok ahli ilmu yang sejati, yakni Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila seseorang bertanya kepada Nabi, maka Nabi akan mengukur orang tersebut agar apa yang ia sampaikan memang bisa memberikan dampak positif kepada sasaran.

Mirisnya, sering kali kita menjumpai orang-orang di zaman sekarang yang merasa berilmu sangat menggebu-gebu dalam menyampaikan Al-Haq yang ia yakini. Tidak bisa mengukur dan menimbang secara jernih al-haq yang ia sampaikan. Bukannya mendapatkan hasil yang positif, justru sebaliknya malah dampak negatif yang dihasilkan. Maka dari itu, bijaksanalah dalam menyampaikan segala sesuatu.



Jalan Penuntut Ilmu Sejati

“Ada yang sedang seperti menyendiri tapi nyatanya dia tidak sendiri, dia sedang asyik bercengkrama dengan semesta yang membuatnya menjadi tiada, duduknya menghamba, duduk dalam danau air mata …”.

Penggalan lirik lagu salah seorang penyair dengan nuansa filosofis satu ini cukup mewakili kisah seorang hamba yang sedang menunggu kekasih hatinya. Dalam kesendiriannya kala itu, yang umumnya orang menyebut sebagai kegiatan kontemplasi, ia bak menunggu pesan cinta dari sang Kekasih.

Sejujurnya ia sendiri pun sebenarnya tidak tau pasti pesan seperti apa yang akan diterima dalam uzlahnya kali itu. Kesabarannya mulai terobati sesaat setalah kekasihnya mengirim utusannya untuk menyampaikan pesan cinta.

Pesan cinta yang membuat satu dunia menjadi indah, cerah, terang benderang seperti sapuan cahaya matahari pagi yang lembut lagi menenangkan. Pesan romantis yang telah membuat sekujur tubuhnya menggigil itu adalah iqra’ . pesan itu telah sampai kepada sosok laki-laki terbaik yang pernah hidup di atas bumi ini, ia adalah Abdullah.

Kekasih Allah yang berhasil menjadi pelita bagi seluruh alam. Pesan “iqra’ ” atau “bacalah” dari Allah kepada Abdullah, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjadi peta kehidupan bagi umat manusia menuju sebuah tujuan abadi yang menentramkan, yaitu jalan menuntut ilmu pengetahuan.

Jalan yang sering kali sepi namun akan mengantarkan pada tempat ternyaman. Sebab jalan ilmu akan mengantarkan pada jalan iman, dan jalan iman akan membawa pada jalan amal. Di penghujung jalan amal itu manusia akan diizinkan mencicipi nikmat tera’ala, nikmat perjumpaan dengan Sang Khaliq dan memandang-Nya.[1]


 

Jalan Yang Diberkahi

Keutamaan belajar diamini segenap umat manusia terutama bagi umat muslim.


اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.”[2]

Akan tetapi dalam perjalannya manusia kerap kali tergelincir atau tersandung batu-batu kekhilafan. Rintangan yang umumya dihadapi seseorang dalam proses belajar adalah kesalahan dalam menentukan tujuan.

Niat yang harusnya diperuntukkan bagi Allah semata sering kali justru bertujuan pada hal kecil yaitu perihal duniawi yang fana dan sementara. Misalnya ada segolongan orang yang terjebak dalam kepentingan hawa nafsunya, yaitu menuntut ilmu untuk menumpuk harta kekayaan, berbangga diri dengan pangkat atau jabatan duniawi semata.[3]

Ini adalah keselahan mendasar dan paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Ia melupakan bahwa  dalam proses menuntut ilmu hanya ada dzat esa yang patut dijadikan tujuan, yaitu Allah swt. Ialah sumber dari ilmu pengetahuan dan yang harusnya menjadi tujuan setiap penuntut ilmu sejati.

Sebab tujuan menuntut ilmu itu adalah untuk semakin menanamkan cinta pada Allah dalam hati, mengokohkan akidah dalam jiwa, dan mengakarkan tauhid pada Allah swt, Tuhan yang dari-Nya kita berasal serta kepada-Nya kita kembali.


 ….  اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُا

“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama…” (QS. Al-Fatir: 28)



Kemurnian Hati

Pondasi utama dalam setiap amal adalah niat yang murni dan Ikhlas lillahi ta’ala. Niatlah yang akan membedakan nilai sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan sebatas untuk mendapatkan tujuan-tujuan keduniawian hanya akan memberikan hasil yang bertahan sampai di dunia saja.

Sementara pekerjaan yang dilakukan sebagai bentuk ibadah mentaati Allah maka balasannya akan Allah berikan dalam bentuk kebaikan dunia dan akhirat.[4] Oleh karena niat letaknya di dalam hati dan tidak ada sesuatu yang perubahannya lebih cepat dari berbolak-baliknya hati, maka seorang penuntut ilmu sejati hendaknya selalu menjaga keikhlasan niatnya semata-mata karena Allah saja dan tidak mendua hati pada tujuan semu dan fana.


 

Mendekati-Nya

Hendaknya penunut ilmu memiliki sifat bertakwa kepada Allah. Sebab ketakwaan seorang hamba adalah jalan utama mencapai pemahaman. Seperti yang difirmankan Allah di dalam al-qur’an surah al-Baqarah ayat 282:


وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ 

(Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu).

Takwa menurut Yusuf al-Qardawi adalah menjalani apa yang telah diisyaratkan Allah swt serta menjauhi segala apa yang dilarang-Nya dan Allah memerintahkan orang muslim untuk bertakwa sebelum perintah lainnya.[5]

Penuntut ilmu sejati yang cerdas memahami bahwa ilmu itu sumbernya dari Sang ‘Alim Yang amat mencintai hamba-Nya yang bertakwa, berharap hanya pada-Nya. Patut disayangkan saat seorang penuntut ilmu sibuk kesana kemari mempelajari ilmu namun di saat yang sama Ia melupakan Sang Pemilik Ilmu itu sendiri.


 

Tenang Tanpa Masalah 

Dalam beramal shalih seorang muslim hendaknya bersungguh-sungguh mengerjakannya, begitu pun penuntut ilmu sejati hendaknya mengerahkan segenap kesungguhannya dalam proses belajar yang dijalani.

Akan tetapi kesungguhannya itu tidak lantas menjadi dalih menuding Allah agar mendapatkan hasil sesuai ekspekstasinya. Tugas penuntut ilmu sejati hanya sebatas berikhtiar dengan maksimal adapun hasilnya merupakan hak pemilik ilmu untuk memberikan seberapa banyak yang dikehendakinya.

Menjadi barang pasti bahwa Allah tidak sedikitpun mendzalimi hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Dia juga yang benar-benar memahami kapasitas kebutuhan seorang hamba yang sesuai maslahat hidupnya dan orang sekitarnya, maka tenangkan hati dengan meyakini bahwa Allah Yang Maha Mengetahui hidup seorang hamba pemahaman-Nya jauh melebihi pemahaman hamba itu terhadap dirnya sendiri.



Syukur Untuk Lebih

Penuntut ilmu sejati tidak boleh menjauhkan diri dari rasa Syukur kepada Allah. Sebab dimampukan Allah untuk bisa merasakan proses belajar saja itu sudah merupakan nikmat tak terhingga.

Bayangkan betapa Allah telah memberi keistimewaan luar biasa bagi penuntut ilmu degan dijadikannya seluruh alam mendoakan seseorang yang belajar. Sesungguhnya rasa syukur mampu menjadikan yang sedikit terasa banyak dan yang sederhana terasa Istimewa.

Bersyukur tidak mendatangkan apa-apa kecuali tambahan nikmat dari Allah swt seperti yang telah dijanjikan-Nya di dalam Al-qur’an, yaitu bagi mereka yang bersyukur akan Allah tambahkan nikmat-nikmat lainnya.



Penutup

Seseorang yang memutuskan meniti jalan ilmu hendaknya memulai perjalanan mulia itu dengan meluruskan niat dalam hati untuk membuat Allah Ridha. Sadar akan tujuan menuntut ilmu untuk mendekatkan diri pada Allah swt adalah benteng yang akan menyelamatkan dari tujuan-tujuan duniawi semata.

Sebagai hamba yang telah mempelajari dan mendapatkan ilmu memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan dan mengajarakannya. Ilmu yang didapatkannya adalah pemberian dari Allah dan hendaknya dikembalikan ke jalan Allah dengan cara mengamalkan dan mengajarkan supaya lebih banyak orang yang merasakan manfaat dari ilmu tersebut.

Ilmu yang didakwahkan itu akhirnya akan mengantarkan orang-orang yang mempelajarinya kepada sumber ilmu yang satu yaitu Allah. Dengan begitu gema tauhid semakin kuat suaranya ke berbagai lini kehidupan. Wallahu a’alam bi ash-shawwab.


 



Sumber Referensi :

[1] Syed Muhmmad Naquib Al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam

[2] (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

[3] Imam Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, (Darul Minhaj, 2004), h. 64

[4] Hadits ‘Arbain Nawawi, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim

[5] Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Berinteraksi dengan al-Qur’an, terj. Karthur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar:2003), h.16-19



POINT CENTER