Social Bar

Popunder

Thursday, November 20, 2025

KI AGENG GETAS PENDOWO

 KI AGENG GETAS PENDOWO




Beliau adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjalanan berdirinya Dinasti Mataram Islam. 


Ki Getas Pendowo terlahir dengan nama  Raden Depok. 

Beliau adalah putra sulung  dari Raden Bondan Kejawan dengan Ibu Dewi Nawangsih (Putri Ki Ageng Tarub dengan Ibu Dewi Nawang Wulan). Jadi Ki Ageng Getas Pendowo adalah Cucu dari Raja Brawijaya V raja terakhir Kraton Majapahit. Dalam darahnya juga mengalir darah Raden Tumenggung Wilwatikta ayahanda Sunan Kalijaga, karena Ibu Ki Ageng Tarub II adalah putri dari Raden Tumenggung Wilwatikta. Begitu pula ayahanda Ki Ageng Tarub II adalah Syech Maulana Maghribi


Ketika kecil, beliau adalah sosok yang pendiam dan pemalu, ketika remaja beliau senang sekali menyendiri di hutan dan gunung. Raden Depok memperoleh pendidikan dasar dari ayahandanya, setelah remaja orang tuanya memasukkan Raden Depok ke pesantren Sunan Kalijaga yang masih terhitung sebagai Eyangnya. Ketika selesai belajar di pondok pesantren Sunan Kalijaga,  beliau memperdalam ilmu dan menjadi murid Sunan Mojogung di  Gunung Jati di Cirebon, Beliau diberi nama oleh Sunan Mojogung di Gunung Jati, Kyai Abdullah. 

disamping sebagai murid Sunan Mojogung Gunung Jati Beliau juga diambil sebagai menantu oleh Sunan Mojogung.

Setelah lama belajar dan tinggal di Pesantren Sunan Mojogung, Raden Depok /  Kyai Abdullah pulang ke Tarub dan tinggal di Getas Pendowo menjadi pemimpin dukuh juga menyebarkan agama Islam hingga kemudian beliau dijuluki dengan nama Ki Ageng Getas Pendowo.

Beliau adalah Priyayi yang sangat hebat,  berwibawa kharismatik. Beliau adalah sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa, juga sederhana.Selama hidupnya Ki Ageng Pendowo adalah seorang yang tekun dalam beribadah dan menyiarkan agama Islam. Disamping itu Beliau suka bertapa meditasi dan laku prihatin disela sela kegiatan Beliau dalam bertani. 

Beliau dalam keseharian adalah seorang yang sederhana dan suka bersedekah. Hasil panen yang diperoleh tidak dinikmati sendiri tetapi dibagi bagikan kepada yang membutuhkan supaya mereka juga bisa merasakan hidup layak. 

 

Putra Putri Ki Ageng Getas Pendowo :

1. Ki Ageng Selo ( dari Putri Sunan Mojogung Gunung Jati ). Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Henis, Ki Ageng Henis menurunkan Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Pemanahan menurunkan Panembahan Senopati (Raja Mataram I)


2. Nyai Ageng Pakis

3. Nyai Ageng Purno

4. Nyai Ageng Kare

5. Nyai Ageng Walen

6. Nyai Ageng Bokong

7. Nyai Ageng Adibaya


Makam Ki Ageng Getas Pendowo :

Ki Ageng Getas Pendowo dimakamkan daerah Kelurahan Kuripan Kecamatan Purwodadi, Grobogan. Letaknya di sebelah utara Kelurahan Kuripan Kecamatan Purwodadi (Jln. A. yani Purwodadi lebih kurang 1 Km)



Sumber Referensi :

- Ditulis oleh K.R.T Koesrahadi S Jayaningrat, Repost postingan JSM tahun 2018, 2022, 2023, Jejak sejarah Mataram













Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram





Kisah Ki Ageng Suryomentaram yaitu Sang Pangeran yang Menanggalkan Tahta Demi Menjadi Manusia Seutuhnya.


Bayangkan seorang pangeran dari jantung Kesultanan Yogyakarta, cucu seorang patih besar, dan putra dari Sultan Hamengkubuwono VII yang justru memilih meninggalkan kemewahan istana demi memahami makna sejati kehidupan.

Itulah Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf Jawa yang tak hanya berpikir, tapi mengalami langsung hidup sebagai rakyat jelata. Dari kegelisahan batin hingga pencarian makna, perjalanan hidupnya menjadi legenda tentang kejujuran rasa dan kesederhanaan jiwa.


Dari Pangeran Menjadi Ki Ageng

Sebelum dikenal sebagai Ki Ageng Suryomentaram, ia bergelar Pangeran Surya Mataram. Namun, suatu hari ia melihat kenyataan hidup petani yang bekerja keras di bawah terik matahari dan hatinya terguncang.

Ia lalu memutuskan meninggalkan gelar kepangeranan, turun dari singgasana, dan memilih menjadi “orang biasa.”

Ia berkelana ke berbagai tempat yaitu Kroya, Purworejo, Parangtritis, Gua Langse, hingga Gua Semin. Di perjalanan itu, ia bekerja sebagai pedagang batik, petani, bahkan kuli penggali sumur.


Ketika utusan kraton menemukannya, ia tengah menggali sumur di Kroya. Mereka memintanya pulang ke istana. Ia menurut, tapi hatinya tetap gelisah.

Apalagi ketika kakeknya, Patih Danurejo VI, dicopot dari jabatan dan ibunya dipulangkan. Tak lama kemudian, istrinya meninggal dunia.

Sejak saat itu, ia benar-benar memilih meninggalkan istana kali ini untuk selamanya.


Menjadi Petani, Menjadi Guru Jiwa

Di daerah Bringin, Salatiga, ia hidup sederhana sebagai petani. Tapi dari sanalah lahir ajaran kebatinan yang kelak dikenal sebagai “Kawruh Begja” yaitu ilmu kebahagiaan sejati.

Ki Ageng Suryomentaram tidak mencari kebenaran dari kitab atau guru, melainkan dari dirinya sendiri. Ia menjadikan rasa sebagai laboratorium, dan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan.

Hasil renungannya ia tuangkan dalam tulisan, ceramah, dan dialog, sering kali hanya di hadapan orang-orang yang datang mencarinya.

Ia tampil apa adanya, bercelana pendek, bersarung, berkaos lusuh. Tapi dari kesederhanaan itu, keluar kebijaksanaan yang dalam.


Filsafat Rasa: Manusia dan Keinginan

Menurutnya, manusia hanya bisa memahami orang lain jika terlebih dahulu memahami dirinya sendiri. Dari pengamatannya, ia menemukan bahwa rasa setiap manusia sejatinya sama, semua ingin hidup dan lestari.

Namun yang membuat manusia menderita adalah keinginan. Ia membaginya menjadi tiga wujud:

1. Semat — harta, kecantikan, kesenangan, kemewahan.

2. Drajat — kemuliaan, kehormatan, status sosial.

3. Kramat — kekuasaan, pangkat, dan jabatan.


Ketiganya adalah jebakan yang membuat manusia lupa pada hakekat dirinya.


Sebagai gantinya, ia menawarkan falsafah hidup yang terkenal hingga kini: NEMSA (6-SA), yakni:


Sakepenake (senyaman-nyamannya),

Sabutuhe (secukupnya),

Sacukupe (seperlunya),

Samesthine (sewajarnya),

Sabenere (sebenarnya).



Ajaran “Aja Dumeh”

Dari segala kebijaksanaannya, satu ajaran paling abadi ialah “Aja Dumeh” yaitu jangan sombong, jangan merendahkan orang lain karena jabatan atau kekuasaan.

Bagi Ki Ageng, semua manusia setara di hadapan kehidupan. Tidak ada raja, tidak ada rakyat, yang ada hanyalah manusia dengan rasa yang sama.



Sang Raja Tanpa Tahta

Ki Ageng Suryomentaram mungkin menanggalkan gelar pangeran, tapi justru di situlah ia menjadi “raja yang sesungguhnya.”

Raja yang memerintah bukan dengan kuasa, melainkan dengan kebijaksanaan rasa.

Sang Real Raja Jawa yang menemukan kemuliaan bukan di istana, tapi di ladang, di peluh, dan di hati manusia.



Kisah Kadilangu dan Sadyakala ning Majapahit (Bhre Lasem)

 Kisah Kadilangu dan Sadyakala ning Majapahit (Bhre Lasem)






Lasem mempunyai dua pelabuhan, regol di timur dan kairingan di barat. Penguasa (Bhre) Lasem adalah adik Hayam Wuruk yaitu Rajasa Duhita Indudewi bersuamikan Bhre Metahun Pangeran Sumana yang bergelar Rajasawardhana. Babad Lasem menyebut keduanya berputra Pangeran Badrawardhana berputra Pangeran Wijayabadra berputra Pangeran Badranala berputra Wirabaja dan Santi Badra. Santi Badra berputra Santi Kusuma atau Pangeran Sahid. Nama terakhir yang dikenal dengan sebutan Panembahan Kadilangu atau Sunan Kalijaga ini adalah keturunan langsung dari Bhre Lasem. 


Kenapa Sunan Kalijaga sering dipahami berasal dari Tuban? Masalah berpangkal dari ayah Sunan Kalijaga, Santi Badra yang dikenal dengan sebutan Tumenggung Wilwatikta menikah dengan Putri Sukati, anak perempuan Arya Adikara dari Tuban yang tidak lain adalah Syekh Bejagung asal Champa. Adik putri Sukati yaitu Raden Ayu Teja yang menikah dengan Syekh Abdurahman atau Arya Teja kemungkinan menguasai pelabuhan Lasem timur yaitu pelabuhan regol yang otomatis dipegang pihak Tuban. Adapun Adipati Lasem dipegang oleh kakak dari ayah Sunan Kalijaga yaitu Pangeran Wirabraja sedangkan Santi Badra menjadi Syahbandar atau Dhang Puhawang pelabuhan Lasem barat di Kairingan. 


Adipati Lasem Pangeran Wirabraja menikah dengan Nyai Maloka putri Sunan Ampel menurunkan Pangeran Wiranegara yang menggantikannya sebagai Adipati Lasem. Nyai Solikhah putri Pangeran Wiranegara dijodohkan dengan Jin Bun yang dikenal sebagai bajak laut dari Teluk Menco yang banyak ditumbuhi tanaman glagah yang berbau langu. Santi Kusuma berhasil menaklukan sang bajak laut Jin Bun dan menjadikanya seorang bintara. Santi Kusuma selanjutnya dikenal dengan sebutan Panembahan Glagah Langu. Kelak Glagah Langu mengalami penghalusan kata menjadi Glagah Wangi sedangkan Panembahan Glagah Langu menjadi Kadilangu (Apakah terkait dg jabatannya sebagai Kadi atau penghulu masjid Demak?) 


Ketika Pangeran Wiranagara (ayah mertua Jin Bun) wafat jabatan Adipati Lasem digantikan oleh istrinya, Nyai Malokah yang mengangkat adiknya, Raden Makdum Ibrahim untuk membantu memimpin Lasem sambil menyebarkan islam di Bonang Binangun yang kelak dikenal dengan Sunan Bonang yang terhitung sebagai paman dari Jin Bun. 


Ketika Pangeran Santibadra dipanggil ke Keraton Majapahit untuk menjalankan tugas negara selama 10 tahun lamanya, jabatan Dhang Puhawang di Lasem diserahkan kepada putra sulungnya, yaitu Pangeran Santi Puspa, kakak dari Santi Kusuma (Sunan Kalijaga). Walaupun jabatan Adipati Lasem dipegang oleh Nyai Malokah, namun dalam praktiknya Pangeran Santi Puspa yang memiliki pengaruh kuat dalam menjalankan roda pemerintahan di Lasem. 


Ketika Nyai Malokah wafat, maka jabatan Adipati Lasem secara otomatis diambil alih oleh kakak Kalihaga yaitu Pangeran Santi Puspa. Setelah Pangeran Santi Puspa menjabat sebagai Adipati Lasem, Sunan Bonang kembali ke Tuban. Sementara Santi Kusuma belajar agama islam kepada kakek dari ibu di Tuban yaitu Sunan Bejagung yang memberinya nama islam Pangeran Sahid. 


Sepertinya Demak membangun kekerabatan dengan keluarga Lasem (Pangeran Wiranegara) dan Tuban (Arya Adikara) selain tentunya dengan Tidunan (Pate Orub) dan Jepara (Pate Onus) serta berbagi kekuasaan bersama dengan tetap membangun relasi positif dengan Gresik (Sunan Giri) dan Ampel (Sunan Ampel) di Surabaya. Sedikit demi sedikit kelompok muslim ini melakukan penetrasi budaya pesisir-egaliter ke pedalaman yang mengalami involusi dan pembusukan budaya dari dalam. 



Babad Lasem menceritakan keadaan Majapahit sebelum kehancurannya : 


"Pelangi Majapahit berubah suram, keterkenalan, kharisma para pejabat dan wibawa raja berangsung berkurang, pemerintahan semrawut ruwet, gonjang-ganjing, pejabat pemerintahan tidak ada yang hatinya tentram, saling memfitnah. Rakyat kecil semua prihatin, mengalami kekurangan pangan, kesusahan karena maling, begal, pembunuhan merajalela pada malam hari, sangat menghawatirkan. Banyak pejabat yang tidak mau memikirkan penderitaa rakyat, yang ada hanyalah mengumbarkan kemurkaan, kesenangan, main, madat, main perempuan, makan enak sambil bebas membangun rumah megah sehingga menebang pohon-pohon besar yang berakibat pada banjir besar dan bobolnya tanggul sungai berantas yang memenuhi tegalan, sawah dan tanah pedesaan dengan air bah yang tidak mudah dipulihkan" 


Labad Lasem menceritakan secara detail serangan Girindrawardhana yang menganut ajaran Hindu Trantayana ke Majapahit. Patih Kertadinaya yang menganut agama Rasul dan Tumenggung Warak Jabon yang menganut Tatrayana tidak sanggup menahan serbuan Girindrawardhana. Bhre Kertabumi meloloskan diri dengan menyamar sebagai sramana budha, berkepala gundul, mengenakan jubah  kuning meninggalkan Majapahit diam-diam tetapi tidak disebutkan kemana arah tujuan kepergiannya. Adapun Santi Badra pulang kembali ke Lasem dengan menyamar sebagai santri islam. Dari uraian ini diketahui bahwa para tokoh agama Majapahit dilindungi dari hukum perang sehingga bebas meninggalkan medan laga yang merupakan wilayah para ksatria. 


Babad Lasem menyebutkan dua tokoh pembesar agama Budha yaitu Dang Hyang Asthapaka yang berasal dari Champa dan tinggal di Taman Banjar Mlathi Lasem yang telah meramalkan akan kejatuhan Majapahit akibat merosotnya moral pejabat Majapahit. Bersama koleganya Dang Hyang Nirartha kedua pendeta ini dikenal sebagai pembaharu moralitas masyarakat Majapahit, tetapi realitas kehidupan politik berjalan sebaliiknya. Babad Dalem mengisahkan pasca prahara di Majapahit Dang Hyang Nirartha berlayar ke Bali mendarat di desa Kapurancak pada 1489 di era pemerintahan Dyah Ranawijaya. 


Babad Lasem mengsahkan serangan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang menyebabkan banyak penduduk yang disiksa dan dibunuh, mereka mencari persembunyian dan perlindungan di pusat-pusat pendidikan islam. Serangan ke Mahapahit ini titi balik sejarah perkembangan pondok-pondok pesantren yang tumbuh pesat menggantikan wanasrama-mandala, kedewaguruan dan keresiyan yang telah eksis sebelumnya. 


Babad Lasem juga mengisahkan banyaknya penduduk Majapahit yang memeluk agama islam secara sukareka karena agama "pesisir" ini dianggap lebih simpel dan tidak memberatkan pelakunya. 


"Sebab pranatan lan sipate agama anyar sing lagi sumebar kuwi: "ora kakehan ragad, ora kakegan sajen, ora kakegan puja mantra sing nglantur dawa, ora kakehan leladi bekti marang dewa-dewa, ora ana  tata cara sing ngrekasakake raga, mbrasta kasta lan nyuwak panglengkara, sayuk rukun nglungguhi tata krama." 


Dikisahkan sesampainya di Lasem, Santi Badra menjadi Brahmana sampai akhir hidupnya mengajarkan ilmu Indriya Pra Asta kepada para pendeta Kanung dengan menciptakan buku pegangan "Pustaka Sabda Badrasy" yang mengajarkan kedamaian hidup. Beliau menghabiskan sisa usianya dengan bertapa di gunung Argopura sampai wafatnya pada 1449 Saka atau 1527 M. Dan Sunan Kalijaga menjadi saksi peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak dengan menjaga keselarasan ajaran lama dan ajaran baru, sesuai namanya yang menjaga dua arus sungai.






‎SILSILAH SUNAN PAKUBUWANA II ‎(Dari Trah Sunan Kudus)

 ‎SILSILAH SUNAN PAKUBUWANA II

‎(Dari Trah Sunan Kudus)




‎A. Sèh Jumadil Kubra

‎Syech Jumadil Qubra menikah dengan :

‎I. Nama Siti Patimah Kamarumi, putri  Sultan Ngabdul Hamid  ing nagara Ngêrum, menurunkan :

‎1. Maulana Sultan Tajudin Ahmadil Kubra Kalifatul Nurul Mulki, ing nagara Mêkah.

‎2. Maulana Sultan Mukyadin Mukhamadil Kubra Kalifatul Mulki iya ing nagara Mêkah.

‎3. Siti Rakimah, krama olèh Sultan Mahmud, ing nagara Ngêrum.

‎4. Maulana Abu Amat Iskak Imamul Pasi, dadi imam pase ana tanah Malaka.

‎5. Maulana Abu Ngali Ibrahim, (Maulana Ibrahim Asmara)

‎6. Siti Thobiroh

‎II. Nama Siti Patimah Makhawi, putri Sèh Jakpar Sadik, ing nagara Mêkah, menurunkan:

‎1. Sèh Samsudin.

‎2. Sèh Samsuta Baris.

‎3. Sèh Ngarif, krama olèh Siti Murtasiyah.

‎4. Sèh Rasid.

‎5. Sèh Kasan Ngali.

‎6. Sèh Kasan Bêsari.

‎7. Sèh Ibrahim Astari.

‎8. Sèh Ngabdulah Ansari.

‎9. Siti Jenab, krama olèh Sèh Iskak Ibnu Junèt.

‎10. Sèh Ngabdulah Asngari.

‎11. Sèh Mustah

‎12. Sèh Kaltum.

‎13. Sèh Subli.

‎14. Sèh Ngulwi.

‎15. Sèh Katim.

‎16. Siti Katimah.

‎B. Maulana Ibrahim Asmara

‎Maulana Ngabdul Ngali Ibrahim awalnya bertempat tinggal di Jeddah kemudian pindah ke Campa, dan menjadi Iman di daerah Asmara hingga dikenal dengan nama Maulana Ibrahim asmara.

‎Beliau memiliki dua istri :

‎I. Garwa sêpuh , Siti Sarifah menikah ketika di Jeddah menurunkan :

‎1. Sayid Ngaliyil Gebar.

‎2. Sayid Khasan Asngadi.

‎3. Sayid Samadingari.

‎4. Sayid Ngalinakit,

‎II. Garwa kedua, Dewi Sasanawati, Putri Raja Kiyan dari nagari Campa.

‎Dewi Sasanawati memiliki kakak yang dinikahi oleh Prabu Brawijaya V dari Negeri Majapahit yang bernama Dewi Andharawati

‎Ketika Raja Kiyan wafat, Maulana Ibrahim Asmara diangkat menjadi Raja dinegeri Campa dengan gelar Sultan Sirajjudin.

‎Menurunkan :

‎1. Sayid Ngali Murtala , tinggal di Tanah Jawa ing Garêsik, bergelar Raja Pandhita Ngali Murtala, menikah dengan putri Arya Baribin, ing Madura, menikah lagi dengan putri Arya Teja ing Tuban.

‎2. Sayid Ngali Rahmat, dadi wali ajêjuluk Sunan Katib, adêdalêm ana ing Ngampèldênta, tanah Surabaya kemudia dikenal dengan nama Sunan Ngampèldênta.

‎C. Sunan Katib, ing Ngampèldênta

‎Sunan Ngampeldenta memiliki dua istri dan satu garwa selir:

‎I. Nyai Agêng Bela, putri Arya Danu, ing nagara Majapait, keponakan  Arya Teja ing Tuban. Menurunkan :

‎1. Ratu Fatimah, menikah dengan Pangeran Ibrahim, ing Karang kemuning tanah Japara, setelah suaminya wafat Ratu Fatimah bertapa di Gunung Manyura, kemudian dinikah  olèh Kalifah Kusèn, putran Sèh Wadi ing Jeddah, Nyai Agêng Manyura kemudian tinggal di  Ngampèldênta

‎2. Nyai Agêng Ratu, menikah dengan Pangeran Kalipah, kang jumênêng Sunan Ratu, adêdalêm ing Girigajah kadhaton, Sunan Ratu adalah putra Sèh Iskak atau Sèh Walilanang, Sèh Walilanang putra Maolana Abu Amat Iskak , Maulana Abu Amat Iskak  putra  Sèh Jumadil Kubra.

‎II. Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja ing Tuban, menurunkan:

‎1. Ratu Jumantên, menikah dengan Sultan ing nagara Dêmak Bintoro . Ratu Jumantên  bergelar  Ratu Panggung.

‎2. Ratu Jumêrut, menikah dengan Kyai Ageng bata putra  Arya Pamot ing Tuban, Ratu Jumêrut kemudian bernama Nyai Agêng Tuban.

‎3. Ratu Wêrdi,  bergelar Ratu Mas Taluki, krama olèh Pangeran Kalipah Kaji Ngusman, putra  Raja Pandhita Ngali Murtala ing Garêsik, Pangeran Kalipah Kaji Ngusman,kemudian  bertempat tinggal ing Pulau Moloko, Ratu Mas Taluki berganti gelar nama Nyai Agêng Moloko, kemudian pindah bertempat tinggal ing Tuban, bertapa di Gunung Danaraja.

‎4. Ratu Wilis, bergelar Ratu Mas Saruni, krama olèh Pangeran Kalipah Nuraga, adik Pangeran Kalipah Kaji Ngusman, ketika Pangeran Kalipah Nuraga tinggal di Tandhês, Ratu Mas Saruni kasêbut nama Nyai Agêng Tandhês.

‎5. Pangeran Makdum Ibrahim, nama Sunan Wadat Anyakrakusuma, bertempat tinggal  ing Bonang, bergelar Sunan Bonang.

‎6. Pangeran Musakèh Mukhamad, nama Sunan Mufti, bertempat tinggal di Darajat, bergelar  nama Sunan Derajat , bertempat tinggal di Cirebon hingga wafatnya.

‎III Garwa selir

‎Dari Garwa Selir menurunkan:

‎1. Sèh Sahmut, nama Pangeran Tumras, adêdalêm ing Sapanjang, kasêbut nama Pangeran Sapanjang.

‎2. Sèh Kanjah, nama Pangeran Tumampêl, adêdalêm ing Lamongan, kasêbut nama Pangeran Lamongan.

‎3. Sèh Randhêh, nama Pangeran Orang Ayu, adêdalêm ana ing Wanakrama, kasêbut nama Pangeran Wanakrama.

‎4. Nyai Agêng Mandara.

‎5. Nyai Agêng Amadarum.

‎6. Nyai Agêng Suwiyah.

‎D. Nyai Agêng Manyura

‎Menurunkan:

‎1. Nyai Agêng Sampang, menikah dengan Kyai Agêng Sampang, putra  Lêmbupêtêng ing Madura.

‎2. Nyai Agêng Manyuran, krama olèh Sunan Ngudung, putra Kalifah Kusèn dari putrinya Arya Baribin, ing Madura, 

‎3. Pangeran Manyura.

‎E. Nyai Agêng Manyuran

‎Menurunkan : 

‎1. Sunan Kudus.

‎F. Sunan Kudus

‎Sunan Kudus menikah tiga kali :

‎I. Putrane Kyai Agêng Kalipodhang,

‎II. Putrane Adipati Têrung,

‎III. Putrane Adipati Kêndhuruan, pêputra wolu:

‎I. Menikah dengan putri Kyai Kalipodhang:

‎Menurunkan:

‎1. Nyai Agêng Pambayun.

‎2. Panêmbahan Kali, bertempat tinggal ing Păncawati, Dêmak, bergelar Panêmbahan Păncawati, setelah Sunan kudus beliau menggantikan kedudukannya bergelar Panêmbahan Kudus.

‎3. Pangeran Pakaos

‎4. Pangeran Gêgênêng,

‎II. Menikah dengan putri Adipati Têrung:

‎Menurunkan:

‎1. Pangeran Palembang.

‎III. Menikah dengan putri Adipati Kêndhuruan

‎Menurunkan:

‎1. Ratu Makoja, nama Ratu Sakosar, menikah dengan Pangeran Silarong.

‎2. Adipati Sujaka.

‎3. Pangeran Prada Binabar.

‎G. Panêmbahan Kudus

‎Menikah dengan trah Giri menurunkan:

‎1. Pangeran Kudus.

‎2. Pangeran Dêmang, sumare ing Kadhiri.

‎3. Radèn Ayu Panêmbahan, menikah dengan Panêmbahan Madura, putraJaran Panolih ing Madura.

‎4. Radèn Urawan, Panêmbahan Urawan, putra Panêmbahan Madiun.

‎H. Pangeran Dêmang

‎Pangeran Demang putri  Panêmbahan Wilasmara ing Kadhiri, berputra tiga orang:

‎1. Pangeran Mêmênang.

‎2. Pangeran Rajungan

‎3. Pangeran Kandhuruan.

‎I. Pangeran Rajungan

‎Pangeran Rajungan menikah dengan Kyai MajaAgung III pêputra:

‎1. Pangeran Sarêngat

‎ Oleh Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat, marang ing Kartasura, nalika ana kraman Trunajaya, Pangeran Sarêngat banjur ditandur dadi pangeran ana ing Kudus, banjur kasêbut nama Pangeran Kudus.

‎J. Pangeran Kudus

‎garwa dari trah Adipati Têrung, berputra:

‎1. Mas Jawa, setelah dewasa bernama Radèn Suradipura, kemudian menggantikan kedudukan ayahanda bergelar  Pangeran Kudus II

‎2. Mas Jawi, bergelar Radèn Adipati Sumadipura ing Pathi.

‎K. Radèn Adipati Sumadipura ing Pathi

‎pêputra lima:

‎1. Radèn Ayu Jayasêtika ing Kudus.

‎2. Radèn Bagus Yata, bergelar Radèn Adipati Tirtakusuma ing Kudus.

‎3. Radèn Bewak, banjur nama Radèn Martakusuma, menjadi Adipati ing Pathi, nama Radèn Adipati Mêgatsari, menurunkan  Ratu Kadipatèn Permaisuri Sunan Amangkurat IV

‎4. Radèn Ayu Cêndhana, menikah dengan Pangeran Cêndhana, putra Pangeran Natapraja ing Kadilangu.

‎5. Radèn Bagus Lêmbu, nama Radèn Martapura, ngalih nama Radèn Martakusuma, menurunkan Radèn Ayu Pandhansari, garwa Panêmbahan Purbaya, pêputra Kangjêng Ratu Mas, garwa dalêm Sunan Pakubuwana  II.

‎L. Radèn Adipati Tirtakusuma ing Kudus 

‎Menurunkan enam putra :

‎1. Kangjêng Ratu Kêncana, garwane Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Amangkurat, kasêbut nama Kangjêng Ratu Agêng.

‎2. Radèn Ayu Wirasari, menurunkan Radèn Wiratmêja, kang kaparingan nama Radèn Mêgatsari.

‎3. Radèn Martanăngga, Ayahanda Radèn Arya Hendranata.

‎Raden Arya Hendranata menikah dua kali :

‎3.1. GRAy Rambe putri Sunan Amangkurat IV dari Mas Ayu Rondonsari. Setelah bercerai dengan Raden Arya Hendranata menikah dengan Adipati Danureja I, Patih Kraton Yogyakarta

‎3.2. Kangjeng Ratu Maduretna putri Sunan Amangkurat IV dari Kangjeng Ratu Kencana

‎4. Radèn Martakusuma, Ayahanda Radèn Martapura: Paridan.

‎5. Radèn Ayu Ănggakusuma, Ibunda Radèn Suwandi, Raden Suryanagara.

‎6. Radèn Wangsèngsari, Ibunda Radèn Wăngsakusuma ing Pathi

‎M. Kangjêng Ratu Kêncana, garwane Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Amangkurat IV

‎Setelah putranya naik tahta bergelar Kangjêng Ratu Agêng.

‎Menurunkan putra tiga :

‎1. Radèn Ayu Pambayun, seda timur.

‎2. Gusti Raden Mas Prabasuyasa setelah naik tahta bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana II.

‎3. Kangjêng Ratu Madurêtna.

‎N. Gusti Raden Mas Prabasuyasa setelah naik tahta bergelar Ingkang Sinuhun Pakubuwana Kangdjeng Susuhunan Pakubuwana II.





‎SUSUHUNAN PAKUBUWANA II

‎Beliau terlahir di Kraton Kartasura pada Selasa Pahing 23 Syawal 1634 atau tanggal 8 Desember 1711 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa. Beliau adalah putra dari Susuhunan Amangkurat IV dengan Garwa Permaisuri Kanjeng Ratu Kencana (putri dari Bupati Kudus, Raden Adipati Tirtokusumo)

‎Tanggal 10 Juni 1726 bertempat di Kraton Kartasura, RMG Prabasuyasa menikah dengan RAy Sukiya, putri dari paman beliau yaitu Gusti Panembahan Purbaya. Kelak RAy Sukiya diangkat sebagai permaisuri dan bergelar Kanjeng Ratu Mas 

‎Sepeninggal sang ayahanda yaitu Susuhunan Prabhu Amangkurat IV , BRMG Prabhu Suyasa atau BRMG Prabasuyasa yang saat itu berusia 15 tahun  dinobatkan sebagai Raja Kraton Kartasura pada hari Kamis Legi 16 Besar 1650 Jawa atau 15 Agustus 1726 M.

‎Pada masa pemerintahan Beliau Kraton Kartasura pernah mengalami berbagai pergolakan salah satunya " Geger Pecinan " yang mengakibatkan rusaknya Kraton dan hilangnya wahyu kedaton yang membuat Susuhunan Pakubuwana II memerintahkan untuk memindahkan pusat Kraton Kartasura, akhirnya terpilih Desa Sala sebagai pusat Kraton dan setelah Kraton berdiri dinamakan " Kraton Surakarta Hadiningrat "  Peristiwa pindahnya kraton dari Kartasura ke desa Sala pada hari Rabu Pahing 14 Sura 1670 Jawa atau 17 Pebruari 1745 M. 

‎Jadi Susuhunan Pakubuwana II adalah Raja Mataram Kartasura yang terakhir juga Pendiri Kraton Surakarta Hadiningrat. Sekaligus Cikal Bakal berdirinya Kota Surakarta.

‎Susuhunan Pakubuwana II wafat pada hari Minggu Kliwon 11 Sura 1675 Jawa atau 21 Desember 1749 dan dimakamkan di Astana Laweyan Surakarta karena situasi saat itu tidak memungkinkan beliau dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri Yogyakarta. Setelah situasi mulai tenang, pada masa pemerintahan Susuhunan PB III , jenasah Sunan PB II dipindahkan ke Astana Pajimatan Imogiri di area Kedaton Pakubuwanan.

‎Para putra putri Susuhunan Pakubuwana II :

‎1. GKR Timoer 

‎2. KRAy Sekar Kedaton

‎3. KGPH Prabu Anom Priyambada

‎4. GRAj Suwiyah

‎5. BRMG Suryadi kelak jadi Sunan PB III

‎6. GRAj Patimah

‎7. GRM Pinten

‎8. GRAY Puspokusumo

‎9. GRAj Senthi

‎10. GRM Goto 

‎11. GRM Budiman

‎12. GRAy Puspodiningrat

‎13. GRAy Kaliwungu

‎14. GRAy Sosrodiningrat

‎15. GRM Prenjak

‎16. GRAy Pringgodiningrat

‎17. GPH Puruboyo

‎18. GRM Supomo

‎19. GPH Balitar

‎20. GRM Samsir

‎21. GPH Danupoyo

‎22. GRM Kendhu

‎23. GRAy Djungut Manduraredja

‎(Oleh : KRT Sajid Jayaningrat)

‎Al Fatihah  kagem alusipun poro leluhur 

Tuesday, November 11, 2025

Kraton Surakarta Hadiningrat - Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat - Pura Mangkunegaran - Pura Pakualaman

Kraton Surakarta Hadiningrat 

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat 

Pura Mangkunegaran 

Pura Pakualaman






Ternyata gini jadinya 4 istana Trah Mataram disandingkan dalam 1 frame, dokumentasi.



1. Kraton Surakarta Hadiningrat


2. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat


3. Pura Mangkunegaran


4. Pura Pakualaman

Tuan Rondahaim Saragih Garingging gelar Raja Raya Namabajan(1828–1891)

 Tuan Rondahaim Saragih Garingging gelar Raja Raya Namabajan(1828–1891) 




Tuan Rondahaim Saragih Garingging gelar Raja Raya Namabajan(1828–1891) adalah penguasa Partuanan Raya yang dijuluki Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Napoleon der Bataks atau Napoleon-nya orang Batak, karena perlawanannya hingga akhir hayat terhadap upaya penaklukan Raya oleh Belanda. Partuanan Raya tercatat tidak pernah takluk kepada Belanda pada masa pemerintahan Tuan Rondahaim Saragih Garingging. Barulah pada tahun 1901, sepuluh tahun setelah waf4tnya Tuan Rondahaim, Partuanan Raya takluk kepada pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu, Partuanan Raya dipimpin oleh putra Tuan Rondahaim yang bernama Sumayan gelar Tuan Kapoltakan Saragih Garingging.

Pada 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional Indonesia.