Social Bar

Popunder

Wednesday, September 10, 2025

JANGAN BERDEBAT DENGAN BERKARAKTER KELEDAI !

 JANGAN BERDEBAT DENGAN BERKARAKTER KELEDAI !





Pepatah "jangan berdebat dengan keledai" sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana tidak ada gunanya terlibat dalam perdebatan atau argumen dengan seseorang yang keras kepala atau tidak mau mendengarkan alasan.

Buang-buang waktu terburuk adalah berdebat dengan orang bodoh dan fanatik yang tidak peduli tentang kebenaran atau kenyataan, tetapi hanya kemenangan keyakinan dan ilusinya.

Ketika berhadapan dengan kebodohan yang keras kepala, diam adalah pilihan yang cerdas. Kedamaian dan ketenangan jauh lebih berharga daripada memenangkan perdebatan yang tidak akan pernah selesai.


Kisahnya ?

Keledai berkata kepada harimau, "Rumput itu berwarna biru."

Harimau menjawab, "Tidak, rumput itu warnanya hijau."

Diskusi memanas, dan keduanya memutuskan untuk membawa masalah itu ke depan si Raja Hutan.

Mereka menghadap singa, si Raja Hutan. Sebelum mencapai tempat singa duduk di singgasananya, keledai mulai berteriak, "Yang Mulia, benarkah rumput itu warnanya biru?"

Singa menjawab, "Benar, rumput itu berwarna biru."

Keledai bergegas dan melanjutkan, "Harimau itu tidak setuju denganku dan menentang serta menggangguku. Tolong hukum dia."

Raja kemudian menyatakan, "Harimau ini akan mendapatkan hukuman."

Keledai itu pun melompat dengan riang dan melanjutkan perjalanannya, puas dan mengulangi, "Rumput itu warnanya biru."

Harimau menerima hukumannya tetapi bertanya kepada singa, "Yang Mulia, mengapa Anda menghukumku? Lagipula, rumput itu warnanya hijau."

Singa menjawab, "Memang rumput itu warnanya hijau."

Harimau bertanya, "Lalu, mengapa Anda menghukumku?"

Singa menjawab, "Itu tidak ada hubungannya dengan pertanyaan apakah rumput itu warnanya biru atau hijau. Hukumannya adalah karena tidak mungkin makhluk pemberani dan cerdas sepertimu membuang-buang waktu berdebat dengan keledai lalu datang dan menggangguku dengan pertanyaan itu."


---

Pemborosan waktu terburuk adalah berdebat dengan orang bodoh dan fanatik yang tidak peduli dengan kebenaran atau kenyataan, tetapi hanya kemenangan keyakinan dan ilusi mereka.

Jangan pernah membuang-buang waktu untuk argumen yang tidak masuk akal.

Ada orang yang tidak peduli seberapa banyak bukti yang kita berikan, tidak mampu memahami, dan yang lain dibutakan oleh ego, kebencian, dan dendam.

Yang mereka inginkan hanyalah menjadi benar, meskipun sebenarnya tidak.

Ketika ketidaktahuan berteriak, kecerdasan terdiam.

Kedamaian dan ketenangan Anda lebih berharga.



Monday, September 8, 2025

Mengubah sisi lemah menjadi sumber kekuatam (Carl Jung)

 Mengubah sisi lemah menjadi sumber kekuatam

(Carl Jung)





Psikolog Carl Jung pernah mengatakan, “Di balik kelemahan seseorang, sering tersembunyi kekuatan yang belum disadari.”

Artinya, kelemahan bukan untuk ditutupi, tapi bisa diolah jadi potensi. Banyak tokoh besar yang membuktikannya dari atlet, pengusaha, hingga pemimpin.

1. Kenali kelemahanmu dengan jujur

Jangan sibuk menutupinya. Saat kamu jujur pada diri sendiri, kamu tahu titik mana yang harus diperbaiki. Itu langkah awal perubahan.

2. Ubah cara pandang

Kelemahan sering lahir dari perspektif. Contoh: pemalu bisa jadi unggul dalam mendengarkan. Alihkan fokus dari kekurangan ke kelebihan tersembunyi.

3. Belajar perlahan dari kelemahan itu

Bukan berarti harus jadi “ahli” di situ, tapi cukup tingkatkan sedikit demi sedikit. Konsistensi lebih penting daripada hasil instan.

4. Manfaatkan kekuatan lain untuk menutupi kelemahan

Misalnya, kalau kamu kurang pandai bicara di depan umum, gunakan kemampuan menulis untuk menyampaikan ide.

5. Cari mentor atau panutan

Belajar dari orang yang pernah lemah di hal sama, tapi berhasil bangkit. Mereka biasanya punya trik yang lebih realistis.

6. Jadikan kelemahan sebagai motivasi

Banyak orang sukses justru termotivasi karena pernah diremehkan. Energi dari rasa “kurang” itu bisa jadi bahan bakar besar untuk maju.

7. Rayakan setiap kemajuan kecil

Mengubah sisi lemah butuh waktu. Jangan tunggu hasil besar dulu untuk merasa bangga—apresiasi langkah kecilmu. Itu yang bikin kamu terus kuat.


Kesimpulan:

Kelemahan bukanlah akhir, tapi pintu menuju kekuatan baru. Semua tergantung bagaimana kamu melihat dan mengolahnya.



Thursday, September 4, 2025

JAZĀ’IR AL-JĀWI : JEJAK NUSANTARA DI MATA DUNIA LAMA

 JAZĀ’IR AL-JĀWI : 

JEJAK NUSANTARA DI MATA DUNIA LAMA





Dalam naskah-naskah Arab klasik, kita menemukan satu nama yang merangkum seluruh kepulauan ini : Jazā’ir al-Jāwi (Kepulauan Jawa).

Nama ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan refleksi dari bagaimana dunia Arab memandang bangsa kita: satu kesatuan budaya maritim yang besar dan terpandang.

Mereka menyebut kita Banī Jāwi  (anak-anak Jawi) tak peduli apakah kita berasal dari Jawa, Sumatra, Bugis, Makassar, atau bahkan Kepulauan Maluku.

Nama “Jawi” menjadi payung identitas yang menaungi keberagaman kita. Bahkan hingga hari ini, jemaah haji Indonesia masih dipanggil Banī Jāwi di tanah Hijaz.

Lebih dari sekadar nama, istilah ini menandakan relasi panjang sejarah dan perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara.

Contohnya, dalam perdagangan kemenyan: bangsa Arab menyebutnya lubān Jāwi (kemenyan Jawa), meski pohonnya tumbuh di Sumatra.

Dari sinilah istilah Latin benzoe berasal bukti bagaimana dunia mengambil penamaan dari cara Arab melihat wilayah kita.


Dalam kitab al-Kāmil fī at-Tārīkh karya Ibnu al-Atsīr, disebutkan bahwa Banī Jāwi adalah keturunan Nabi Ibrahim AS.

Sebuah klaim yang tentu menarik, namun bukan tanpa dukungan. Sebab dalam studi genetika modern, seorang profesor dari Universiti Kebangsaan Malaysia menemukan bahwa DNA masyarakat Jawi mengandung 27% varian Mediterranean , varian genetik yang juga ditemukan pada bangsa Arab dan Bani Israil, keturunan Ibrahim.


Ini bukan sekadar fakta biologis. Ini adalah narasi antropologis, bahwa jejak Ibrahimiyah bisa jadi telah mengalir jauh, melintasi gurun dan samudera, lalu berlabuh di tanah basah nan hijau ini, bernama Nusantara.

Sejak dahulu, para pelaut kita dikenal tak hanya membawa rempah, tapi juga pengetahuan, akhlak, dan hikmah. Mereka bukan sekadar pedagang, tapi penyambung nadi peradaban.

Maka jangan heran, jika hingga kini, para pemimpin dari kawasan Jazā’ir al-Jāwi  siapapun mereka, apapun sukunya, masih berasal dari akar-akar tua yang dulu disebut Banī Jāwi.

Karena sejarah tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menyamar dalam nama, dalam darah, dan dalam cara kita berdiri menatap dunia.


Maka, menyebut diri sebagai “Jawa” bukan sekadar menyatakan asal, tetapi mengakui warisan : warisan Ibrahim, warisan samudera, warisan bangsa yang tak pernah tunduk kecuali pada hikmah.



Tuesday, September 2, 2025

Karomah Mbah Mundzir Kediri

Karomah Mbah Mundzir Kediri 




KH. Mundzir adalah pengasuh pondok pesantren “Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari” Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur.


Sebagai Kyai kharismatik atau disegani oleh masyarakat, KH Mundzir mempunyai beberapa karomah,antara lain :

1. Si kecil yang perkasa

Perilaku masa kecil Kyai Mundzir wajar-wajar saja, sebagaimana anak kecil pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau nganeh-nganehi, yang di dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata khorikul ‘adah, pernah suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong / mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. 

Rasa heran dan takjub itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi satu orang dewasapun umumnya belum kuat untuk mengangkatnya, namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah memainkanya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahlianya.


2. Bisa terbang

Polah tingkah yang tidak wajar terjadi sampai Kyai Mundzir tumbuh dewasa. Dikisahkan oleh seorang teman dekat beliau yang saat nyantri di pesantren semelo perak jombang, yaitu seorang santri yang sekarang tinggal di dusun Sido Warek Jombang. Kyai Mundzir seorang santri yang gemar ziarah ke makam-makam para wali, sebagai teman dekat santri tadi di ajak ziarah ke pesarean Mojo Agung, Jombang. 

Seperti biasanya perjalanan itu dilakukan dengan berjalan kaki. Namun kiranya ada yang luar biasa dalam perjalanan kali ini, karena sebelum berangkat Kyai Mundzir berpesan kepada teman akrabnya tersebut untuk tidak tolah toleh dan selalu melihat punggung beliau selama perjalanan nanti. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, teman Kyai Mundzir merasa seakan akan melewati suatu kawasan yang banyak ditumbuhi rerumputan yang tinggi dan lebat, kang santri pun penasaran, tumbuhan apakah yang kiranya kadang menyambar di tubuhnya itu. 

Saking penasarannya, sambil berjalan kang santri tadi sesekali memetik beberapa helai daun atau rumput, dan ia sempat memasukan daun itu ke dalam saku bajunya. Perjalananpun akhirnya sampai, setelah keperluan ziarah dan lainya selesai, Kyai Mundzir mengajak pulang seperti biasanya. Setelah sampai di kamar santri tadi segera mengambil daun yang ada dalam sakunya untuk dilihat. Namun alangkah terkejutnya kang santri tadi, karena ternyata bukan rumput yang di temukan dalam sakunya melainkan daun kelapa yang masih muda. Setelah menyadari apa yang baru saja terjadi, sambil menerawang, santri tersebut bergumam “lha aku iki la’ diajak gus mundzir lewat duwure wit klopo”.


3. Memanggil pucuk pohon bambu

Di suatu daerah Jombang, saat Kyai Mundzir sedang melaksanakan riyadhoh, dan sebagaimana biasa, hari itupun diisi dengan terus menerus sholat. Kebetulan di tempat itu, ada seorang santri yang bisa di bilang nakal, dan ia mengetahui bagaimana disiplinya Kyai Mundzir menjaga kebersihan. Di saat beliau sedang menunaikan sholat, santri tadi sengaja berniat ngerjai/njarag, dengan cara pakaian beliau yang di jemur di depan mushola sebagai lap. 

Hal itu ternyata diketahui oleh beliau, karena itu setelah salam, beliau langsung mencuci pakaian tersebut dan kembali menjemurnya lagi, melihat hal itu, santri tadi ternyata mengulangi lagi perbuatan tersebut, lagi-lagi beliau tahu, dan mencuci serta menjemurnya lagi, dan selanjutnya kembali sholat. Namun saking nakalnya santri tadi belum puas, lalu mengulanginya sekali lagi. Saat itulah, setelah sholat, beliau mencuci pakaian tersebut, namun kali ini di jemur dengan cara yang ”nyleneh”, bagaimana tidak, usai mencuci pakaian tadi, beliau melambaikan tangan seakan memanggil pucuk pohon bambu yang berada di depan mushola, dan anehnya pula bambu itu seolah paham, karena tiba-tiba bambu itu merunduk dan selanjutnya berdiri tegak kembali, setelah jemuran pakaian beliau di titipkan pada pucuknya.


Lahul Fatihah..